Wednesday, March 18, 2009

Waras

Oleh: Arys Hilman

''Senang bisa jumpa lagi,'' ia menulis suatu ketika. ''Kita punya banyak kenangan bersama, sangat banyak malah, dan rasanya kita perlu berbagi kenangan itu. Siapa tahu bermanfaat.''Lima belas tahun lebih tak bertemu, saya tak menduga ia menjadi sangat aktif. Pesan-pesannya lewat jejaring sosial begitu bertubi-tubi. Saya cermati, temannya ribuan. Ia bisa bercerita apa saja tentang dirinya; dulu maupun kini.

Saya coba mengingat-ingat, ia dulu begitu pasif. Tidak ikut organisasi. Tidak pula punya banyak teman. Andai ia tak berupaya keras mengingatkan siapa dirinya, saya tetap akan lupa tentang dia. Aneh bahwa ia mengaku punya banyak kenangan bersama.''Ingat, aku satu-satunya temanmu yang punya Mercy,'' tulisnya. Pintar. Itulah ciri dia yang tak tertandingi, sampai kini.

Ia begitu terobsesi pada Manusia Kamar -nya Seno Gumira. Ia tergila-gila pada teknologi komunikasi dan bermimpi imajinasi Seno mewujud segera. ''Suatu saat kita akan seperti itu,'' katanya. Ia pun senang membaca kisah  hikikomori , anak-anak muda Jepang yang mengurung diri di kamar, menarik diri dari hubungan sosial, dan terhubung dengan dunia luar hanya dengan televisi dan alat komunikasi.

Tak ada keanehan saat perjumpaan maya itu terjadi setahun lalu. Ia tak ubahnya orang-orang lain yang senang bisa berjumpa teman lama dan membangkit-bangkitkan kenangan. Bedanya, sejak awal perjumpaan kembali itu, ia begitu aktif. Ia memasukkan begitu banyak foto dirinya dan bercerita segala hal yang tak sepenuhnya layak diceritakan.

''Ingat novel  Telepon karya Sori Siregar?'' tulisnya suatu ketika. ''Bayangkan, teknologi membantu kita untuk menjalin komunikasi tanpa perlu bertemu; teknologi juga yang membuat kita terasing, telepon memicu depresi dan keterasingan.'' Daud, tokoh dalam novel itu, terobsesi memakai telepon, menggunakannya untuk meneror orang-orang.

''Aku tak mau menjadi Daud,'' lagi-lagi ia menulis soal novel itu. ''Aku bukan teroris. Teknologi hanya berarti kalau untuk kebaikan.'' Ia juga mengkritik novel  Telegram . ''Putu Wijaya semestinya sadar, telegram adalah hal yang netral. Bagaimana bisa dia mengartikan kiriman telegram selalu sebagai kabar buruk? Apa salahnya kalau kita kirim kabar kelulusan lewat telegram?''

Sastra menjadi minatnya sejak dulu. Tapi, kini ia hidup dari keahlian di pasar uang. Melihat foto-foto yang ia pajang, ia tetap seperti dulu, tak kekurangan apa pun. Tetap necis. Bertampang kaya. Kelihatan pintar. Punya kendaraan-kendaraan kelas satu. Tinggal di sebuah bangunan yang lebih mirip villa daripada rumah. Satu saja yang agak janggal; ia selalu berpose sendirian.

''Aku bukan manusia kamar. Rumahku besar, jendela-jendela terbuka ke segala arah. Dari sini, aku bisa memandangi pepohonan, bukit di belakang rumah, dan kerlip lampu kota di malam hari.'' Tapi, ia menulis pula, ''Aku tak perlu ke mana-mana. Semua urusan pasar uang bisa aku lakukan dari sini. Jaringan internetku bagus. Aku berlangganan telepon satelit. Kabar dari seluruh dunia ada di layar TV. Ada empat antena parabola di atap rumahku.''

''Aku sudah lihat kantormu lewat citra satelit,'' kabar darinya mengagetkan saya suatu hari. ''Bangunan yang bagus, tapi tahukah kamu dulu bangunan itu dibikin buat tempat hiburan?'' Ia kemudian mengirimkan denah gedung kantorku dan gambar-gambarnya di masa lalu. ''Walaupun bagus, gedung kantormu bukan  masterpiece , si arsitek punya gedung lain yang lebih hebat,'' tulisnya. Ia pun berkisah tentang arsitek gedung itu dan apa saja karya-karyanya.

Ia marah saat sebuah penelitian menyatakan dampak buruk jejaring sosial bagi kesehatan jiwa; membuat terasing alih-alih memperbaiki hubungan. ''Mereka tidak tahu apa-apa soal IT,'' tudingnya kepada para peneliti. ''Mereka tak tahu bagaimana otak jenius Mark Zuckenberg dan Jonathan Abrams bekerja.''

Belakangan, ia lebih banyak marah-marah daripada bercerita tentang keadaan dirinya. ''Bukankah ketika membuka diri kepada dunia luar lewat internet, berarti aku sedang berkomunikasi?'' tulisnya. ''Adakah yang dunia tidak tahu tentang aku? Bukankah aku juga tahu banyak tentang kamu, tentang latar belakang keluarga kamu? Tak ada dinding lagi. Bahkan aku juga tahu siapa mereka, para peneliti itu!''

Ia menghujani kotak pesan saya dengan tulisan-tulisan. Ia penuhi beranda dengan foto-foto. Ia buat kelompok-kelompok virtual bernada hujatan. Ia semakin tak terkendali.Saya benar-benar terganggu. Tapi, saya pun heran mengapa ia merasa jadi sasaran para peneliti itu. ''Aku memang hidup sendiri. Tapi, apa yang salah dengan kehidupanku,'' tulisnya dengan nada marah.

Pekan lalu, ia mengirim hal yang tak terduga. ''Apakah aku waras?'' tulisnya. Saya membaca nada putus asa.''Tidak, kau tidak sakit. Kau tidak sakit,'' jawab saya, persis kalimat penghibur Simangunsong kepada Daud di  Telepon .

Saya terus berharap jawaban itu benar adanya. Sampai kemarin, ketika ia memenuhi halaman-halaman virtual dengan foto-foto diri; sedang mengacungkan tangan yang terkepal, dengan muka penuh raut kemarahan.Ia tak berpakaian sama sekali. 

kalyara@yahoo.com

(-)

Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home