Monday, April 06, 2009

Menghitung Hari Menghisab Diri



Oleh Haedar Nashir

Masih percayakah Anda kepada para wakil rakyat? Publik berhak gundah ketika menyaksikan anggota parlemen alih-alih menunaikan mandat rakyat sepenuh jiwa raga, malah didera korupsi dan skandal moral. Sekadar berumah di atas klaim rakyat, tidak untuk rakyat.

Hari ini hingga 9 April 2009, pertaruhan politik bangsa sedang menentukan detak jantungnya sendiri. Apakah pemilu kali ini berbuah positif terpilihnya wakil rakyat yang berkhidmat sepenuh jiwa raga untuk bangsa dan negara.

Atau, sekadar  mendaur ulang oligarki kekuasaan elite politik yang radar batin dan pemihakannya tak pernah serius mengurus nasib rakyat. Hanya menghasilkan politisi pencinta diri dan partai sendiri sambil mengembangkan hobi lama: bolos sidang dan muhibah ke luar negeri.

Empat hari ke depan bagi para calon anggota legislatif di seluruh persada Tanah Air masih tersisa waktu untuk berkontemplasi. Dalam suasana tenang tanpa ingar-bingar kampanye yang memacu adrenalin hasrat kuasa dan kepura-puraan, tepat sekali untuk mengasah rohani dan berikrar pada diri sendiri.

Bila perlu, bersumpahlah atas nama Tuhan untuk menunaikan amanat rakyat, yang pertanggungjawabannya melintasi ranah dunia-akhirat.

Pesta pora elite
Di zaman Yunani Kuno, ribuan tahun yang lampau, rakyat tidak begitu mudah memercayakan aspirasinya kepada para wakilnya di parlemen. Di dewan Ekklesia, sekitar 40.000 warga Athena ikut menyuarakan kepentingannya secara langsung tanpa perwakilan.

Rakyat dijunjung tinggi hak dan martabatnya di negara polis tertua itu. Sepuluh kali dalam setahun, penduduk Athena memang menyuarakan aspirasi, nasib, dan kepentingannya secara langsung. Mereka enggan menyerahkan keputusan-keputusan penting yang menyangkut nasibnya kepada orang lain, hatta kepada yang ahli sekalipun di lembaga perwakilan.

Setelah Athena jatuh dan lahir Sparta, kekuasaan bergerak dari demokrasi ke rezim kekuasaan yang sentralistik. Suara rakyat pun diwakilkan dan lahirlah oligarki kekuasaan yang didominasi kaum elite.

Ribuan tahun setelah itu demokrasi lahir kembali di Barat dalam wujudnya yang canggih. Lembaga politik perwakilan menjadi pilihan dengan basis suara rakyat yang dibangun dengan prosedur-prosedur yang rumit dan rasional. Lahir institusi parlemen yang melembagakan aspirasi rakyat di jalur legislatif, selain kelembagaan eksekutif dan yudikatif yang efektif. Pemilihan presiden dan wakil presiden atau perdana menteri secara langsung bahkan menjadi model univerasl yang membuana.

Demokrasi prosedural saat ini, termasuk di negeri ini, telah mencapai puncak kejayaannya. Setelah reformasi, Indonesia tergolong ke dalam negara yang berada di papan atas dalam kesuksesan berdemokrasi. Rakyat sungguh tinggi partisipasinya dalam pemilihan umum. Pesta demokrasi lima tahunan sejak 1999 bahkan terbilang sukses dalam pelaksanaannya kendati di sana-sini masih tersisa praktik-praktik kecurangan dan manipulasi. Terpilihnya parlemen yang sangat berkuasa (legislative heavy) dan presiden serta wakil presiden yang dipilih langsung merupakan prestasi tersendiri bangsa ini.

Namun, kini rakyat mulai cemas dan kehilangan asa. Selama euphoria demokrasi yang luar biasa itu, seolah mekar pula pesta pora perilaku aji mumpung elite politik. Kekuasaan yang dominan di tubuh parlemen membuat para penghuninya seolah bebas berperangai semau gue. Bebas untuk tidak hadir rapat atau tidur lelap ketika rapat. Kebal terhadap kritik seakan menjadi lembaga tak kenal salah. Bahkan, untuk melindungi dirinya, mereka masih ingin membikin tameng baru yang bernama imunitas anggota legislatif. Padahal, tanpa perisai kekebalan pun mereka sungguh sudah serbakebal dalam segala hal.

Tanpa wakil
Herbert Spencer tak mau percaya pada parlemen. Sosiolog kenamaan itu memandang tak perlu lembaga pemerintahan ketika rakyat bisa mengurus dirinya dengan baik. Negara milik rakyat tanpa pemerintahan seperti itu tentu dipandang utopia. Namun, pesan utamanya ialah kebebasan rakyat untuk menentukan dan mengurus nasibnya sendiri merupakan harga yang tak bisa ditawar dalam negara demokrasi.

Ketika diwakilkan, sejatinya siapa pun yang diberi mandat harus sepenuh jiwa raga memperjuangkan dan mewujudkan kehendak rakyat secara total.
Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, ''Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi, lalu diwakilkan kepada orang lain, selain saya.''

Penggalan kalimat  itu diikrarkannya dalam pidato pelantikannya sebagai Khalifah menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Di kala malam tiba atau pada hari-hari yang dipilihnya, Amirul Mukminin yang dikenal cerdas, tegas, dan bersahaja itu selalu menelusuri rumah-rumah penduduk untuk mengetahui nasib rakyat yang dipimpinnya. Umar selalu hadir di tengah nasib rakyat kecil dan dhuafa yang harus dibela, selain mengurus negara dengan benar dan sepenuh pengkhidmatan yang luar biasa.

Jika para elite politik di negeri ini meniru pengkhidmatan Umar, lebih-lebih keteladanan Rasulullah dalam menjalankan fungsi khadim al-ummat atau pelayan rakyat, makmurlah Indonesia.

Para elite perlu belajar kepada George Washington. Ketika satu periode kekuasaannya telah berakhir, presiden Amerika Serikat itu memaklumatkan diri tidak maju lagi ke bursa pencalonan presiden untuk periode kedua. Padahal, dia sungguh sukses dan dielu-elukan rakyat agar memimpin kembali. Dia memilih menjadi negarawan ketimbang politikus. Berhenti tatkala sukses demi masa depan bangsa dan negara.

Mungkin, orang Indonesia akan berpikir sebaliknya. Alangkah baiknya manakala kemampuan yang luar biasa itu diabdikan untuk bangsa dan negara dalam periode berikutnya. Bila perlu, berkali-kali untuk menjadi wakil rakyat dan berada di pucuk pemerintahan tanpa harus berhenti. Jika Anda purna di DPR, banting setirlah ke DPD meski energi dan kinerja tak lagi mendukung karena dimakan usia senja. Bukankah tidak ada yang salah untuk berjabatan publik berkali-kali?

Memang, tak mudah menjadi negarawan. Apalagi, untuk memilih berhenti dari jabatan publik yang sarat pesona kuasa, fasilitas, materi, dan prestise.

Hisab amanat
Kita percaya dan menaruh asa jika di negeri ini masih menyimpan potensi-potensi elite politik yang ksatria laksana pahlawan dan negarawan. Politisi yang berikrar pada diri sendiri dan Tuhan untuk sepenuh jiwa raga menjadi pelayan rakyat. Menjadi garda terdepan pembela bangsa dan negara. Bukan politisi karbitan dan pengejar kursi kuasa belaka, yang hadir di panggung politik nasional sekadar untuk memperbaiki nasib dan nasab.

Lima tahun ke depan, negeri ini masih harus menanggung setumpuk beban. Utang luar negeri tahun ini saja berada di kisaran Rp 1.667 triliun dengan jumlah bunga yang harus dibayar Rp 101,7 triliun.

Memang, produk domestik bruto Indonesia di atas Rp 5.000 triliun, tetapi beban utang tetap berat karena harus dibayar. <I>Lagian<I>, bagaimanapun sebuah bangsa yang membangun ekonominya di atas beban utang yang besar tidak akan leluasa dan berketiak ular. Lebih-lebih ketika beban utang itu bersenyawa dengan persoalan-persoalan krusial bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, serta negara yang dilanda krisis dan salah urus.

Tapi, tak perlu cemas. Di negeri ini, semakin banyak orang merasa siap untuk mewakili rakyat dan memimpin Indonesia. Jumlah calon anggota legislatif yang bertarung di Pemilu 2009 dikabarkan menyentuh angka sebelas ribu. Elite yang siap menjadi calon presiden dan wakil presiden pun kian bermunculan, hatta untuk sosok yang sekadar bermodal senyum dan kharisma diri yang dipatut-patutkan sekalipun. Obral janji dan iklan diri pun tak kalah dahsyatnya hingga membesarkan asa rakyat. Semoga, semuanya selamat dan tidak jauh panggang dari api.

Padahal, di balik semua ikrar, janji, dan jabatan publik yang serbamudah dikomodifikasikan itu sesungguhnya tersimpan amanat dan pertanggungjawaban yang melampaui logika-logika lahiriah. Tapi, ketika janji tak sejalan dengan bukti, amanat tak ditunaikan, dan jabatan publik disia-siakan hanya untuk mengejar hasrat kuasa yang meluap-luap melebihi takaran sesungguhnya; ketika itulah Anda sedang berkontrak amanah dengan Tuhan.

Rakyat awam dan instrumen politik keduniaan secanggih apa pun boleh dimanipulasi, tetapi hisab Tuhan di Hari Akhir pasti terjadi. Sekali para pemimpin dan elite mengkhianati amanat rakyat, sabda Nabi akhir zaman, ketika itu haram bagi mereka surga. Akhirnya, ketika politik dan jabatan publik kehilangan berkah, banyak hal menjadi tak bermakna. Di dunia boleh berjaya, tetapi di akhirat jadi nestapa sepanjang masa.

(-)

Sumber : RepublikaOnline

1 Comments:

At 9:17 PM, Anonymous budut said...

salam kenallll

 

Post a Comment

<< Home