Thursday, May 28, 2009

Merajut Hidup di Lapangan Banteng



Jakarta itu tidak ramah pada orang susah. Tapi juga jantung ibukota yang punya daya tarik orang-orang desa. Sebagian meyakini, di Jakarta cari uang mudah. Meski banting tulang bermandi peluh, tapi Jakarta seakan menjanjikan. Orang rela meninggalkan kampung halaman, ladang dan sawah, hanya untuk merantau ke Jakarta.

Siang itu, di bawah rindang pohon di Lapangan Banteng dekat Masjid Istiqlal, Gang Senggol, Novita Sari menjajakan dagangan. Perempuan asal Ambarawa, Jawa Tengah itu, melengkapi daftar panjang para perantau yang mencoba mengubah nasib dengan menjajal ganasnya Jakarta. Meski tempat jualannya sempit, tapi ibu lima anak itu, membayar uang sewa Rp 600 ribu per bulan. Tidak ada atap, tak juga diberi dinding. Hanya lapak kecil dengan sandaran pohon.

Ita, demikian biasa dipanggil, menjual mie rebus, air mineral, dan kopi. Dia jualan ditemani empat anaknya yang masih kecil. Penghasilannya setiap hari tak lebih dari Rp 30 ribu. Ita jualan mulai pukul delapan pagi dan tutup pukul sembilan malam. Suaminya, Heru, seorang tukang sapu honorer di area Lapangan Banteng. Penghasilan juga tak memadai, bahkan hanya untuk mengontrak tempat tinggal.

Di bawah pohon itu, Ita dan keluarganya menghabiskan siang dan malam. Lepas pukul sembilan malam, Ita menggelar tikar di bawah pohon untuk tidur dengan suami dan anak-anaknya. Jika hujan mengguyur, mereka lari berteduh ke bawah tribun penonton di Lapangan Banteng.
"Kalau ngontrak, uangnya tidak cukup,"  akunya sembari melayani pembeli.

Beberapa bulan lalu, Ita terjebak utang. Mulanya, ia diajak temannya bergabung di sebuah yayasan yang melayani simpan pinjam. Tergiur kebutuhan, Ita pun meminjam uang Rp 500 ribu. Tahap pertama ia berhasil mengembalikan. Berikutnya pinjam lagi Rp 1 juta, kali ini Ita juga berhasil membayar. Ketika musim bayaran sekolah anak-anaknya, Ita diuji oleh anaknya yang sakit. Maka untuk membiayai bayaran sekolah dan pengobatan, Ita meminjam Rp 2 juta. Sayang, kali ini Ita gagal melunasi. Ia hanya mampu membayar bunganya saja.

"Sebenarnya saya malu minta-minta bantuan, tapi bagaimana lagi saya terlilit utang mas," terang Ita kepada LPM - DD.Saat ini, anak pertama Ita tinggal dengan neneknya di Ambarawa menyelesaikan sekolah SMP-nya. Sementara anak kedua sekolah di SD Jakarta. Anak ketiga putus sekolah. Sementara dua lainnya masih kecil.

Dengan hidup ala kadarnya, Ita hampir tak pernah mengeluh. Ada sedih tatkala malam hari melihat anak-anaknya tidur di bawah pohon. Apalagi jika musim penghujan, Ita merasa teriris hatinya. Tapi mengeluh juga tak menyelesaikan beban hidup. Maka, ia mengaku amat semangat jualan saat ini. Meski penghasilan tak seberapa, tapi dia dapat membantu suami.

Dalam kondisi serba sulit, Ita mengaku tak pernah ada cekcok dalam rumah tangganya. Semua seakan memaklumi, ini bagian dari ujian hidup yang harus dijalani. Tersirat pesan, biar siang malam berteduh di bawah pohon, jika keluarga tetap harmoni serasa menginap di hotel bintang lima. Atau, bak orang kaya yang camping di tanah lapang.****arswawening

(-)

Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home