Kegelisahan Jepang
Laporan : Arys Hilman
Ketika ia datang, pemilik toko buku itu kontan gelisah. ''Anak itu lagi ...,'' katanya dengan nada putus asa. Lalu kepada pegawainya ia berisyarat agar mengeluarkan sang anak dengan segala upaya.
Anak itu bernama Sinchan. Ya, ia tokoh kartun terkenal asal Jepang itu. Dalam salah satu kisah, ia hadir sebagai pengunjung tetap sebuah toko buku yang kehadirannya selalu memicu masalah. Menurut perhitungan si pemilik, omzet toko selalu anjlok setiap kali Sinchan datang.
Segala upaya telah dikerahkan. Sinchan bertahan. Saat rasa putus asa si pemilik toko kian memuncak, serombongan anak-anak datang dan menanyakan sebuah judul buku. Pemilik toko mengatakan tidak mengenal judul buku itu. Namun, tiba-tiba Sinchan menyela, lalu menunjukkan setumpuk buku yang ia simpan dalam laci toko: buku karangan dia sendiri.
Pembaca, Sinchan hanyalah cerita kartun buat orang dewasa yang kadung menjadi santapan anak-anak di tanah air. Walaupun cuma rekaan, kisah di toko buku adalah cermin kehidupan nyata bangsa Jepang. Inilah bangsa yang amat menggandrungi buku. Sehingga, anak-anak pun sudah membuat buku sendiri.***
''Saya juga tidak mengerti, mengapa bangsa Jepang begitu suka membaca,'' kata Yamamoto Hiroko, asisten khusus bidang informasi dan kebudayaan Kedubes Jepang di Jakarta, suatu ketika. Di negerinya, 65 ribu judul buku terbit setiap tahun, puluhan juta eksemplar koran lahir setiap hari.
Di negeri itu, orang-orang selalu memasukkan buku ke dalam tas sebelum meninggalkan rumah. Mereka kemudian membacanya saat menanti di stasiun, di dalam kereta, atau dalam kendaraan umum lainnya.
Jepang melampaui negara mana pun di dunia dalam hal kebiasaan membaca. Dibandingkan dengan Amerika Serikat, misalnya, Jepang pun unggul. Jumlah penduduk di negeri sakura ini hanya setengah warga negeri paman sam, tapi jumlah toko buku di kedua negara ini sama.
Toko-toko buku dan perpustakaan di negeri ini menyaingi supermarket dalam banyak hal. Mereka ada di mana-mana, termasuk di stasiun-stasiun dan mal, juga buka hingga larut malam. Tachiyomi, membaca sambil berdiri di toko buku tanpa membeli, adalah aktivitas lumrah di Jepang. ***
Restorasi Meiji memicu Jepang untuk menjadi bangsa pembaca. Mereka meraup sebanyak mungkin informasi lewat buku untuk mengejar kemodernan Barat. Setelah Perang Dunia II, dorongan kian kuat. Pemerintah membangun perpustakaan di mana-mana. Lalu pembangunan jaringan rel kereta api kian melecut kebiasaan membaca. Warga Jepang menghabiskan waktu di kereta dan stasiun dengan melahap bacaan.
Namun, sebuah kegelisahan melanda negeri itu kini. Nilai penjualan buku, menurut sebuah lembaga penelitian penerbitan, ternyata merosot sejak 1997. Penurunan paling tajam terjadi pada buku-buku sastra kontemporer, sastra klasik, dan karya-karya nonfiksi di bidang kemanusiaan dan ilmu sosial.
Angka penurunan memang tidak begitu besar, sekitar tiga persen. Namun tetap mencemaskan. Hasil sigi Yomiuri Shinbun menunjukkan bahwa ''orang yang tidak membaca satu buku pun bulan lalu" melonjak hampir tiga kali lipat dari jumlah pada 1980-an dan 1970-an.
Pemandangan di atas kereta dan stasiun pun menunjukkan perubahan. Dulu, hanya ada tiga pilihan saat berada di atas kereta: tidur, mengobrol, atau membaca. Kini, banyak aktivitas baru: bermain game, mengirim dan membaca SMS, mengirim dan membaca e-mail, menelepon, atau berselancar di internet.***
Kegelisahan menyangkut budaya baca terjadi di mana-mana. Penerbit Mizan menulis bahwa kegelisahan serupa juga menimpa Bill Clinton saat menjadi presiden AS. Perasaan Clinton terganggu setelah data statistik menunjukkan bahwa 40 persen anak Amerika umur delapan tahun tidak bisa membaca sendiri.
Maka, sang presiden meluncurkan program ambisius, America Reads Challenge. Tujuannya, ''Untuk membentuk sejuta warga negara sukarelawan sebagai tutor, dan menjamin bahwa setiap anak bisa membaca sendiri di kelas tiga.''
Kegelisahan juga terjadi di Belanda. Wartawan Hilversum, L Murbandono Hs, mengungkapkan polemik tentang berkurangnya minat baca di negeri kincir angin itu. Lahir tudingan bahwa televisi telah merenggut hasrat anak-anak untuk membaca, sekaligus berarti memicu pemiskinan intelektualitas.
Menurut laporan mutakhir Biro Perencanaan Sosial Budaya, SCP, anak-anak Belanda membaca buku, termasuk komik, rata-rata cuma empat menit tiap hari. Sedangkan untuk menonton televisi, mereka meluangkan waktu paling kurang 1,5 jam setiap hari. Dengan begitu, waktu untuk televisi sekitar 20 kali waktu untuk membaca.
Bagaimana dengan Indonesia? Kegelisahan serupa cukup tua di negeri ini. Goenawan Mohammad mengibaratkan bangsa ini hanya melangkahi dunia pustaka. Setelah lama menikmati dunia visual, antara lain lewat pewayangan, bangsa kita langsung melompat menuju dunia visual baru: televisi. Dunia baca terlewatkan.
Tak aneh, pada 2002, akses masyarakat kita terhadap surat kabar hanya 2,8 persen. Sekolah dasar yang memiliki perpustakaan cuma 1 persen (SLTP 16 persen, SLTA 54 persen).
Jangan-jangan, kita perlu membangun jaringan kereta api yang luas dulu, untuk memicu budaya baca.
kalyara@yahoo.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home