Monday, December 20, 2004

Menjadi Ibu

Publikasi: 23/12/2002 12:41 WIB

eramuslim - "Menjadi Ibu". Ketika SMP dan SMA dulu, selalu itu yang saya tulis pada saat saya mengisi lembar biodata. Untuk teman, untuk guru sekolah, untuk lembaran Osis, Rohis dan lain-lain. Semuanya. Dimana saja, yang menyediakan isian kolom cita-cita.

Tentu saja banyak yang heran. Teman-teman berkomentar ”Cita-cita, kok menjadi Ibu. Kamu kan perempuan! Sudah pasti, tanpa dicita-citakan, suatu saat kamu akan menjadi seorang ibu!”. Ada juga yang bertanya ”Apa maksudnya cita-cita menjadi Ibu?”. Bahkan ada yang meledek ”Cita-cita kok menjadi Ibu. Cita-cita tuh menjadi dokter, insinyur, guru, dan lain-lain”. Ada lagi yang menyindir ”Udah pengin kawin ya? Kok, pengin jadi ibu rumah tangga?”.

Dan kemudian, dengan senang hati dan panjang lebar saya menerangkan apa maksud cita-cita Menjadi Ibu. Menjadi (seperti) Ibu (saya). Itulah maksudnya. Itulah cita-cita saya.

Kenapa?
Pasti, pertanyaan seperti itu pun kembali meruyak. Apa istimewanya Ibumu sehingga kau ingin menjadi sepertinya? Mengidolakannya di saat para remaja lainnya mengidolakan para selebritis dan sejenisnya? Apakah Ibumu seorang wanita karier yang sukses? Bukan, bukan! Ibu saya bukan siapa-siapa.

Ibu saya bukan wanita karier, bukan pula -apalagi- selebrities. Tapi kesibukannya melebihi wanita karier. Ibu saya bisa mengerjakan apa saja. Dari pekerjaan rumah tangga (termasuk yang biasanya dikerjakan kaum laki-laki seperti membenahi genteng), mengurus warung kecil di rumah, mengurus sawah, mengurus ayam, bebek, angsa, dan kambing peliharaan kami, bahkan membuat batu-bata. Dulu Ibu saya juga sempat bekerja di konveksi dan mengambil jahitan. Semua itu dilakukannya, utama sekali untuk membantu ekonomi keluarga, karena Bapak yang cuma guru SD di kampung. Selain itu juga untuk membantu keluarga besar Ibu dan sebagai bentuk kemandirian ibu. Beliau memang tidak suka berdiam diri.

Ibu saya bukan aktivis, tapi aktivitasnya juga luar biasa. Ia rajin ‘rewang’ jika ada tetangga yang punya hajat. Ia juga rajin membantu jika ada tetangga yang meninggal, sakit, maupun lahiran. Ibu rajin hadir ke pengajian Yasinan, juga pengajian aisiyah yang diselenggarakan di tingkat kecamatan. Namun, meski aktif di masyarakat, ibu saya tak pernah bergosip, padahal di kampung kami gossip hampir merupakan 'keniscayaan’ seorang perempuan. Termasuk di warung sayur kecil kami, yang tetangga sering mampir namun lebih banyak bergosipnya daripada berbelanja. Karenanya, ibu dicintai oleh semua orang, saudara maupun tetangga.

Ibu saya tidak pandai memasak resep-resep umum apatah llagi resep modern. Tak ada kue, cake dan makanan-makanan enak lainnya. Tapi semua yang dimasak ibu lezat. Sering dulu saya bertanya nama masakan yang dibuat ibu. Tapi ibu menjawab tidak tahu, karena memang tidak ada namanya. Masakan itu beliau buat dari bahan yang apa adanya, yang kami miliki di dapur kami.

Ya, ibu memang kreatif. Kondisi kami yang berkekurangan tak pernah membuat kami ingin masakan dan kue-kue modern, karena ibu bisa membuat makanan-makanan lezat, meskipun tanpa alat dan bahan memadai. Hingga kami tidak tumbuh menjadi anak yang suka jajan, makanan yang dibuat ibu sudah cukup bagi kami.

Ibu bukan pula wanita berpendidikan tinggi. Bahkan SD pun beliau tidak lulus. Tapi ibu pintar dan dulu sering membantu saya belajar. Ibu juga bercita-cita tinggi untuk anak-anaknya. Sekolah anak-anak adalah nomor satu baginya. Ketika orang tua-orang tua lain membelikan anak-anaknya baju yang bagus-bagus, saya dan adik saya hanya mendapat baju-baju sederhana (namun tetap terawat rapi dengan seterika arang). Ketika anak-anak lain mendapat uang saku 100 rupiah sehari, kami hanya mendapat 50 rupiah. Tapi di lain pihak, saya tak pernah menunggak bayaran sekolah seperti teman-teman lainnya. Dan buku pelajaran dan perlengkapan sekolah saya cukup lengkap.

Ibu juga bukan wong agung keturunan ningrat, melainkan hanya wanita desa yang sederhana. Yang dibesarkan tanpa pendidikan etika dan unggah-ungguh jawa yang tinggi. Tapi beliau cukup mengerti bagaimana bersikap sesuai situasi dan kondisi. Make-upnya hanya bedak tipis dan lipstik murahan. Bajunya pun tak pernah dari bahan sutera atau bordir. Tapi beliau selalu rapi dalam kesederhanaannya.

Tentu saja, ibu saya juga memiliki banyak kekurangan, tapi rasanya kekurangan yang dimiliki ibu tak ada artinya dibanding segala ‘keluarbiasaannya’ di mata saya.

Kekaguman-kekaguman saya terhadap ibu sempat hilang. Bukan, bukan karena ibu tidak lagi seperti ibu yang dulu. Tapi lebih karena saya kemudian hidup jauh dari ibu, dan menjalani dunia kampus dengan berbagai aktivitas keislaman yang menyita seluruh kekaguman saya.

Namun kini, ketika saya kembali banyak berpaling kepada ibu. Ketika saya banyak memiliki waktu berinteraksi dengan ibu lagi, ibu saya masih tetap sehebat yang dulu. Bahkan makin hebat.

Beliau tetap pekerja keras, wanita karier yang kuat. Saat ini, ketika dua anaknya sudah tak lagi membutuhkan biaya, beliau tetap ke sawah, menjalankan warung, dan membuat batu-bata serta memelihara banyak ternak. Beliau tetap aktivis sosial yang baik, yang penolong, yang ringan tangan, tapi tak ringan mulut.

Ibu saya bahkan tetap tegar ketika beberapa waktu lalu badai menggoncang keluarga kami. Gosip dan goncangan yang menerpa tak membuatnya berubah. Bahkan, beliau tak pernah menunjukkan kesedihan di hadapan kami anak-anaknya, saat permasalahan itu merundung.

Dan yang paling berkesan, meskip pengetahuan agama Ibu minim, namun keyakinannya kepada Allah sedemikian kuat. Suatu hari, ibu saya berkata,” Nduk, ibu selalu berdo’a dan meminta pada Allah tiap habis sholat, semoga kamu mendapat jodoh yang sholeh dan sepadan denganmu. Dan ibu juga minta, semoga jodohmu orang dekat sini saja, agar kalau ibu pengin menengok kalian, ibu tak harus jauh-jauh ke Jakarta. Agar ibu cukup dibonceng bapak, karena ibu pasti mabok kalau naik bis atau mobil”.

“Ah, ibu yang realistis dong. Saya kan sudah tujuh tahun tinggal di Jakarta. Darimana jalannya saya mendapat jodoh orang sini?” jawab saya.

Ibu saya menjawab kalem, ”Lho, jodoh itu khan urusan Allah. Kita hamba-Nya boleh minta apa saja. Kalau Allah menghendaki, ora kurang jalaran (tidak kurang sebab)".

Duh, Ibu. Betapa kesederhanaanmu ternyata menyimpan samudera makna kehidupan yang dalam. Kini, jika saya mengisi lembar biodata lagi yang ada isian cita-cita, saya kembali mengisinya dengan mantap: Menjadi Ibu. (@az, kado hari Ibu untuk para wanita nan tegar penuh cinta)

Azimah Rahayu
(azi_75@yahoo.com)
---------------------
Sumber : eramuslim.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home