Friday, December 17, 2004

Saat Adjie dan Reza Mengantar Anak Bersekolah

Setiapkali melihat Adjie Massaid dan Reza Artamevia mengantar dan menunggui anak mereka bersekolah, siapa yang menduga situasi menjadi amburadul seperti sekarang.

Pada masa-masa sebelum prahara perkawinan Adie dan Reza menjadi isyu nasional seperti sekarang, keduanya adalah orang tua murid yang dianggap teladan di sebuah playgroup di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Teladan karena selalu menemani anak mereka dan menjadi hiburan buat para pengantar anak lainnya, baik orang tua mau pun para pengasuh anak.

Keduanya pun tampil dengan gaya masing-masing di sekolah. Reza adalah tipikal ibu-ibu yang mengantar anaknya  bersekolah.  Tetap tampak glamor dan tahu diperhatikan. Namun mata Reza dengan mudah menyambar kiri kanan dan menyapa orang-orang yang kebetulan dikenalnya.

Setiapkali datang, ibu muda ini selalu masuk ke dalam ruang kelas anaknya. Karena masih playgroup, anak memang masih berhak ditemani orang tua atau pengasuhnya. Di dalam pun Reza tetap dengan tipikal ibu-ibu mdua yang mengantar anak. Mata memperhatian kiprah putrinya, Aaliyah di dalam kelas dan sesekali memberi instruksi agar putrinya memberi perhatian terhadap perintah para guru.

Namun setiapkali ada kesempatan, Reza pasti sibuk berbincang dengan ibu-ibu yang lain. Topiknya -apalagi kalau bukan- soal perkembangan anak-anak. Reza bercerita tentang kebandelan anaknya. Atau pun tentang keinginan suaminya untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dengan pengantar berbahasa Inggris. Saat itu samasekali tidak ada kesan kegetiran. Yang ada hanya kebahagiaan dan kebanggaan seorang ibu.

Dan pada saat pulang pun Reza selalu menyeret perhatian. Bukan melulu sosoknya yang bening dan gemerlap. Namun juga bunyi sepatunya saat menuruni tangga sekolah anaknya tersebut. Keramaian ini ditambah dengan caranya menegur sapa orang-orang yang kebetulan dikenalnya.

Lain lagi dengan gaya Adjie. Biasanya bapak satu ini mengantar anak dengan gaya casual. T-shirt dengan celana jeans atau pun celana selutut. Namun seperti sang ibu, Adjie juga kerap berada di dalam ruang kelas mengamati tingkah laku dan  keterlibatan anaknya dalam proses pembelajaran. Namun adakalanya, Adjie memilih menunggu di luar ruang kelas dan hanya duduk tepekur. Bila seperti ini, maka ia akan membuat semua penunggu menjadi "salah tingkah" baik untuk sekadar memeperhatian atau ragu-ragu untuk duduk di sebelahnya.

Pada saat usai sekolah baru terlihat perbedaan Adie dan Reza. Adjie biasanya langsung mengambil anaknya dari kelas untuk pulang, sambil berkata,"Come...come... go home... Aaliyah.’ Pada saat itu saya baru tahu pengucapan nama anaknya itu adalah A:lai:yah.

Mungkin Anda bertanya untuk apa "ordinary things" seperti di atas diangkat menjadi suatu tulisan? Perkembangan kasus Reza-Adjie belakangan ini sepertinya sudah over-exposed atau di luar proporsi. Persoalan sudah merembet atau dirembetkan di luar persoalan inti -perceraian dan perebutan anak- sehingga seolah menjadi suatu soap opera atau telenovela in real life. Kata teman saya, perkembangannya menjadi absurd seperti cerita "Return to Eden" serial TVRI pada 1980-an. Tentang Auntie Jilly, masih ingat kan?

Semoga saja penggelembungan masalah ini tidak akan mempengaruhi kedua puteri mereka, Zahwa dan Aaliyah tadi.  Bagaimana pun mereka terpaksa terlibat, apalagi dengan adanya isyu ancaman pengemboman rumah tinggal atau penculikan terhadap diri mereka.

Biarlah persoalan pelik ini diselesaikan secara dewasa oleh orang-orang tua mereka. Dan biarlah juga mereka tetap mengenal sosok kedua orang tua sebagai figur yang selalu menyenangkan seperti setiapkali mengantar mereka ke sekolah.

(Tjahjo Sasongko)

cay@kompas.com
 
-----------------
Sumber : Kompas.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home