Saturday, December 18, 2004

Sepenggal Sore di Tangerang

Oleh : Zaim Uchrowi

Jumat, 05 Maret 2004

Sore sekitar pukul 17.00, di sebuah pertigaan di Tangerang barat. Para pekerja pabrik baru bubaran. Orang-orang kantoran juga sedang pulang. Para pekerja angkutan tengah di puncak gairah untuk menawarkan jasanya. Dari deretan pabrik-pabrik itu, ribuan orang menghambur.

Omprengan berpelat hitam antre memanjang menunggu penumpang. Begitu pula motor-motor ojek. Beberapa becak juga tak ingin tersingkir dalam persaingan itu. Para pedagang kaki lima, mulai minuman hingga jepit rambut, ikut memikukkan suasana. Debu mengepul bersama dengan asap-asap knalpot. Puntung rokok, plastik-plastik, dan beragam sampah lain berserak tak terhindarkan.

Ribuan pekerja itu bergerak. Sebagian menumpang omprengan yang parkirnya mengambil sepertiga jalan. Sebagian menggunakan motor, lengkap dengan raungan knalpotnya. Beberapa mengayuh sepeda. Lebih banyak lagi yang berjalan kaki hingga di jalan raya. Sampai di persimpangan, bertemulah mereka semua. Truk trailer, bus, truk-truk kecil, bus mini antarkota, angkot, mobil pribadi, omprengan, motor, sepeda, gerobak, dan segala bentuk pejalan kaki.

Sudah 20 tahun menyetir mobil, jarang saya menghadapi situasi yang membuat gamang nyali. Tapi, sore itu luar biasa. Tiba-tiba diri merasa seperti kelinci kecil yang akan terlumat oleh trailer raksasa. Kaki juga harus sigap menginjak rem agar tak menabrak angkot yang selalu berhenti mendadak. Di depan mata, ibu muda yang menggandeng anaknya seperti akan terjepit. Motor-motor pun menyelinap tanpa sabar. Di tengah pikuk sore, semua terasa begitu akrab dengan maut.

Lihatlah kerumunan pekerja itu. Mereka meninggalkan kampung masing-masing untuk menggapai masa depan. Mereka ingin bebas dari lilitan kemiskinan yang menjeratnya. Yang mereka peroleh juga kehidupan yang jauh dari sejahtera. Mereka mungkin bisa bergaya dengan jeans, juga lipstik, bahkan sebagian dengan telepon genggam. Namun, mereka harus terus bergelut dengan hidup yang sangat keras, mulai dari di tempat tinggal, di jalan, hingga tempat kerja. Mereka bahkan tak akan pernah lagi mendapatkan tempat lega yang membuatnya dapat menghirup udara segar, serta membiarkan angin menari-nari pada wajah. Dalam keadaan seperti itu, bukan trailer melainkan kualitas hiduplah yang akan menggilas masa depan mereka.

Potret buram seperti ini bukan hanya ada di sekitar pertigaan di Tangerang barat itu, juga di ratusan titik lain di negeri ini. Di sekitar Bekasi, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, hingga Kudus atau Solo. Potret buram lainnya tampak jelas di bangsal-bangsal rumah sakit di berbagai kota yang saat ini tengah dipenuhi oleh para pasien korban demam berdarah. Juga pada ratusan ribu pecandu narkoba yang 70 persen pengguna jarum suntik di antaranya telah mengidap virus hepatitis, dan bahkan HIV.

Potret-potret seperti itu tentu sulit ditemui di negara tetangga seperti Malaysia, apalagi Singapura.

''Bupati, gubernur, presiden, juga anggota DPR mikir nggak ya soal begitu?'' tanya seorang kawan. Saya cuma tersenyum. Ia lebih tahu jawabannya. Yang saya tahu, pada hari-hari seperti ini yang terbaik adalah menjernihkan hati sendiri.
Jernih hati akan dapat menuntun bangsa ini menemukan pemimpin terbaiknya. Pemimpin yang tak semata memiliki kapasitas untuk membuat dan menjalankan program menyejahterakan masyarakat. Lebih dari itu adalah pemimpin bernurani, serta ikhlas dalam melangkah.

Pemimpin seperti itulah yang akan dapat mengubah sore semrawut di Tangerang (dan banyak tempat lain) itu, menjadi sore yang membahagiakan semua.

--------------------
sumber : Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home