Monday, January 24, 2005

Al Shahida

Rabu,03 Nopember 2004

Al Shahida, begitu ia menyebut dirinya. Ibu rumah tangga ini sudah lama tinggal di London, Inggris. Di sini, Al Shahida berinteraksi dengan saudara-saudara Muslim dari berbagai bangsa, latar belakang sosial, dan juga para muallaf. Mereka sering bertemu, berbagi cerita, menjalin persaudaraan, dan saling memahami. Tali persaudaran itu sambung-menyambung, melewati wilayah negara dan suku bangsa. Mereka paham betul, sesama saudara ibarat satu tubuh. Satu bagian sakit, yang lain merasakan. Al Shahida dan teman-temannya merasakan, saudara-saudaranya, kaum dhuafa, di tempat-tempat pengungsian adalah tubuh mereka yang sakit. Mereka mengumpulkan pakaian bekas untuk kemudian dijual. Hasilnya, dikirim ke kaum dhuafa itu.


Al Shahida, begitu ia menyebut dirinya. Hampir sepekan sekali, keturunan Sunda-Palembang ini mengirim e-mail ke milis Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia. Ia bercerita tentang banyak hal, tentang nasib tragis Muslimin, tentang kesetiakawanan sosial, dan kegiatan Muslim di Inggris. Senin, 1 November, Shahida mengirim lagi e-mail ke ICMI. Menyentuh dan membuat saya begitu asing terhadap tragedi kemanusiaan di negeri sendiri. Ia bercerita tentang teman-temannya di Inggris dan Skotlandia menggalang dana untuk fakir miskin, anak-anak yatim, dan para pengungsi di Ambon. Mereka mengumpulkan zakat dan sedekah.


Jumat pekan lalu, melalui Gema Khadijah lembaga swadaya masyarakat, yang peduli pada kaum dhuafa di Ambon dana yang dikumpulkan itu dibelikan ratusan nasi kotak dan ayam goreng. Sebelum buka puasa, para dhuafa, anak-anak yatim, janda-janda miskin, dan para pengungsi, shalat Ashar dan mendengarkan ceramah tentang hikmah puasa. Mereka bergembira. ''Terbayang di khayal saya wajah-wajah ceria, duduk lesehan di atas tikar rafia, menanti dengan sabar. Rasanya ingin duduk bersimpuh bersama mereka, menyaksikan wajah-wajah bahagia,'' tulis Al Shahida.


Al Shahida, begitu ia menyebut namanya. Ia dan teman-temannya dalam hiruk-pikuk London, yang modern dan sekuler. Tapi, mereka punya hati, punya jiwa yang melayang ke langit-langit kaum dhuafa. Mereka seperti sekumpulan awan yang coba memayungi kaum dhuafa itu. Boleh jadi, dana yang terkumpul tidak seberapa, namun semangat kuat untuk meringankan beban saudara-saudara yang hidup dalam kekurangan itulah yang sangat patut dipujikan.


Di sini, sebagian dari kita pergi ke mal, mematut-matutkan pakaian yang berharga mahal. Berencana mengisi liburan panjang Lebaran ke daerah wisata atau luar negeri. Di sana, Ambon, Poso, Aceh, dan bahkan di pinggir-pinggir jalan yang setiap hari kita lewati, anak-anak yatim, fakir miskin, berupaya mendapatkan makanan. Mereka menyaksikan kita, namun mereka tak dapat berkata apa-apa.


Di daerah-daerah konflik, ada ribuan orang terdampar tanpa tahu apa lagi yang dapat mereka lakukan untuk menyambung hidup. Di sini, kita berbicara soal politik, terorisme, kesejahteraan, dan kesenjangan sosial, tapi kita tak berbuat apa-apa untuk orang-orang miskin. Di DPR, sebagian wakil rakyat mempertontonkan keserakahan merebut kekuasan yang semakin memuakkan.


Mereka mengatasnamakan rakyat, tetapi perilaku mereka jauh dari kepentingan rakyat miskin. Di London yang serba gemerlap, Al Shahida mampu meyakinkan saudara-saudaranya seiman dari berbagai bangsa untuk membantu kaum dhuafa. Kita di sini jangan-jangan sudah lupa masih ada penderitaan di sekitar kita. Bahkan, mungkin kita sudah malas memikirkannya. Padahal, sebagian dari kita paham betul bahwa dalam setiap harta yang dimiliki terdapat milik orang-orang miskin.


Setiap menjelang Idul Fitri, sebagian dari kita menghitung-hitung berapa yang harus dizakatkan, bahkan ada yang mendadak menjadi dermawan. Setelah itu, kita menunggu Idul Fitri berikutnya. Begitu selanjutnya, seakan orang-orang dhuafa itu hanya ada setahun sekali, setiap menjelang Idul Fitri. Kaum dhuafa tidaklah hidup setahun sekali. Mereka ada di depan mata kita dan mengais rezeki setiap hari.


Kemiskinan terkadang melemparkan mereka jauh dan tidak sedikit di antaranya pindah agama. Kita marah, mengutuk, dan menyesali rapuhnya keimanan mereka, namun kita lebih suka membeli pizza, mengganti handphone, vcd lagu terbaru, dan aksesoris mobil. Dari jauh, Al Shahida memeluk hangat saudara-saudaranya di tempat-tempat pengungsian. Di sini, kita membiarkan fakir miskin, anak yatim, dan para pengungsi kedinginan.


(Asro Kamal Rokan)
--------------------
Sumber : Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home