Kesaksian Spektakuler
Kesaksian Ketua PP Muhammadiyah Syafii Ma'arif dan Fred Burks dalam sidang Ustad Abubakar Ba'asyir mengungkapkan kembali kemunafikan Amerika Serikat
Oleh
Fauzan Al-Anshari *)
Hidayatullah.com, Selasa, 18 Januari 2005
Sidang ketiga belas (13/1) kasus dugaan terorisme terhadap Ustad Abubakar Ba'asyir ini sungguh sangat menarik. Pasalnya, Tim Pembela berhasil menghadirkan saksi meringankan (adecharge) yang sangat signifikan, Yakni Prof.Dr. Syafii Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Fred Burks, Mantan penerjemah di Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat (AS).
Kesaksian Pak Syafii atas intervensi pemerintah AS terhadap kasus Ust Abu ini sebenarnya sudah ditulisnya sendiri di rubrik Resonansi HU Republika (13/4/04) ketika ia diminta langsung oleh Dubes AS di Jakarta Ralph L Boyce (28/3/04) atas perintah Washington agar melobi Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Kapolri supaya Ust Abu tetap ditahan sebelum pemilu Dilangsungkan (5/4/04). Untuk kepentingan itu pihak Dubes menyiapkan semua Fasilitas yang dibutuhkan. Namun, Pak Syafii langsung menolak dengan tegas permintaan tersebut, kendatipun dia sendiri tidak sepaham dengan visi Dan misi perjuangan Ust Abu. Pak Syafii minta agar pemerintah AS Menghormati keputusan Mahkamah Agung (MA) yang akan membebaskan Ust Abu pada 30 April 2004. Pak Syafii tidak rela dirinya menjadi kacung AS.
Adapun kesaksian Fred Burks (lahir 20/2/58), mantan penerjemah Deplu
AS pada pertemuan presiden George W Bush dan presiden Megawati di Gedung Putih (19/9/01) sepekan setelah tragedi WTC 11-9 juga melansir sendiri kesaksiannya di koran The Washington Post (9/12/04). Kemudian kesaksianFred dielaborasi oleh majalah Gatra edisi 1 Januari 2005.
Kesaksiannya di persidangan sebenarnya hanya mengulang apa yang pernah dia katakan di kedua media tersebut. Diantaranya, Fred menyebut adanya negosiasi Tingkat tinggi, di mana Amerika minta Indonesia menyerahkan Ust Abu ke Tahanan Amerika sebagaimana penyerahan Umar Al-Faruq (5/6/02). Tetapi Megawati menolak permintaan itu, dengan alasan Ust Abu dikenal luas di Indonesia sehingga bisa menimbulkan instabilitas politik dan agama yang tidak sanggup dipikulnya, kecuali jika opini publik mendukung langkah itu.
Fred juga berkata bahwa tiga pekan sebelum bom Bali (12/10/02) ada pertemuan rahasia di rumah kediaman pribadi Megawati (16/9/02) yang dihadiri oleh Ralph L Boyce, dubes AS untuk Indonesia, Karen Brooks (Direktur Asia National Security Council), seorang perempuan agen CIA yang diperkenalkan sebagai utusan khusus presiden Bush, dan Burks sendiri, sedangkan Megawati hanya sendirian. Dalam pertemuan 20-an menit itu si agen CIA berkata bahwa pemerintah Amerika minta agar Ust Abu diserahkan ke Amerika karena terkait jaringan Al-Qaeda.
Penolakan Megawati membuat agen CIA justru mengancam: "Jika Ba'asyir Tidak diserahkan ke Amerika sebelum Konferensi APEC (enam minggu setelah pertemuan itu) maka situasi akan bertambah sulit. Utusan khusus Bush itu tidak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan "situasi akan bertambah sulit" tersebut. Pertemuan pun bubar. Bom Bali pun meledak (12/10/02).
Burks berkata: "Peristiwa itu memberi alasan yang diperlukan Megawati sehingga Ba'asyir ditahan sampai sekarang, meskipun dia (Mega) tidak menyerahkannya ke Amerika.
Dan karena mayoritas korban adalah warga Australia (88 orang, ingat sejarah dibentuknya Densus 88), peristiwa itu juga membuat pemerintah dan rakyat Australia mendukung perang melawan terorisme, padahal mereka sebelumnya enggan.
Pengakuan Fred ini dilakukan untuk menghentikan penipuan oleh Amerika terhadap masyarakat Indonesia" (Gatra, 1/1/05).
Kedua kesaksian ini jelas telah mengkonfirmasi asumsi yang selama ini diyakini oleh Ust Abu, bahwa penangkapannya secara paksa dari RS PKU Muhammadiyah Solo (28/10/02), penahanan dan persidangan pertama atas dirinya, penangkapan paksa kedua kalinya dari Rutan Salemba (30/4/04), dan penahanan serta persidangannya kedua benar-benar merupakan order pemerintah AS. Untuk itu pemerintah AS mengucurkan "carrot" sekitar US$ 657 sebagai balas budi atas penzaliman terhadap ulama sepuh ini. Uang dolar itulah yang digunakan polri diantaranya untuk membeli kendaraan dinas, membangun pusat pelatihan anti-teror di Semarang, dan
Membangun gedung Detasemen Khusus (Densus 88) 33 tingkat di halaman Polda Metro Jaya yang aroma KKN-nya sangat menyengat itu.
Kesaksian Fred juga akan membuka tabir misteri peledakan bom Bali yang menewaskan 200-an orang serta menahan lebih 200-an aktivis muslim
Sebagai tertuduh pelaku tindak pidana terorisme. Bom Bali itu juga telah menjadi pintu masuk bagi kepolisian Australia (ASIO dan AFP) ke jantung Polri melalui kedok kerjasama memerangi terorisme.
Bom Bali juga telah menebas leher demokratisasi di Indonesia dengan keluarnya UU Anti-Terorisme no. 15 tahun 2003 yang memberi wewenang mutlak kepada Satuan Tugas Khusus (Satgassus) untuk menangkap pelakunya dan membongkar jaringan apa yang dinamakan Jamaah Islamiyah (JI), organisasi yang dianggap paling bertanggungjawab di balik bom Bali yang amirnya didakwakan kepada Ust Abu.
Sungguh tidak pernah terlintas dalam benak saya sebelumnya akan ada seorang warga negara Amerika yang sangat profesional dan berani membongkar kedok kebohongan dan kemunafikan rejim Amerika di Indonesia.
Namun, seiring perjalanan waktu ternyata Allah SWT memberikan pelajaran yang berharga kepada bangsa Indonesia, menyusul teguran keras berupa gempa dan gelombang tsunami di Aceh. Semoga bangsa ini semakin berani mengakui kesalahan sendiri dan bertobat dari perilaku pengkhianat terhadap kedaulatan bangsanya demi mengejar segepok dolar yang tak berharga sama sekali dan hanya akan menjadi api yang berkobar-kobar di dalam perut pemakannya di neraka kelak.
Akhirnya, dalam surat elektroniknya (email) kepada saya sebelum tiba Di Indonesia, Fred menulis: "...Semoga kesaksian saya berguna dalam Mengungkap apa yang terjadi di belakang layar. Saya ikut berdoa semoga kebenaran
Akan diketahui oleh semua pihak." (29/12/04). Amin, Sir!
*). Penulis adalah Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia)
----------------
Sumber : Hidayatullah.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home