GNH
Minggu,20 Juni 2004
Alkisah, seorang mahasiswa Universitas Harvard berjumpa seorang diplomat di Jakarta. Perbincangan terjalin. Tapi, lama-kelamaan justru tawa serempak yang terus-menerus terdengar dari keduanya. Sang mahasiswa penyebabnya. Ia tak henti melontarkan cerita-cerita lucu alias jokes. Benar-benar selalu lucu, sampai sang diplomat akhirnya bertanya-tanya, ''Siapa sebenarnya mahasiswa ini?'' Siapa mahasiswa itu? Orang mengenalnya cukup dengan nama Yenni.
Ia putri Gus Dur, presiden keempat RI, presiden paling makmur akan jokes sepanjang sejarah. Sang diplomat bernama Randolph Mank. Ia adalah duta besar Kanada di Jakarta. Ia berdarah Jerman harap maklum kalau penampilan luarnya tampak serius. Ia cukup cermat mengamati karakter orang-orang Indonesia. Mank punya pandangan optimistis tentang negeri kita. Indonesia, katanya, bakal tetap menjadi pemimpin di wilayah Asia Tenggara, meski kini berada di papan bawah dalam hal pendapatan per kapitanya. Dalam hal sumber daya alam dan manusia, katanya, Indonesia tetap takkan pernah tertandingi. Berbincang dengan Mank, sambil makan siang di rumahnya Rabu lalu, melecut optimisme. Ia melihat perbedaan besar negeri ini 15 tahun lalu kala ia juga bertugas di Jakarta--dan saat ini.
Soal korupsi misalnya, ''Bahwa masalah ini masih saja terjadi, ya betul, tapi 15 tahun lalu siapa yang berani bicara soal pemberantasan korupsi,'' katanya. Betul pula, katanya, GNP (gross national product produk domestik kotor) Indonesia saat ini rendah. Tapi, katanya, ''Indonesia masih punya GNH yang tinggi.'' GNH! Mank rupanya ketularan Yenni. GNH yang ia maksud adalah gross national happiness! Kita memang bangsa yang selalu riang. Lihat saja, jadi juara korupsi, jaksa agung masih bisa tersenyum. Melihat bus berhenti dan mencari penumpang di perempatan jalan dan membuat macet, polisi masih bisa tertawa. Pemerintah pun tenang-tenang saja, kendati kabinet sudah rontok ditinggal awaknya. Sementara, anggota dewan masih sempat-sempatnya piknik ke luar negeri saat krisis kepemimpinan memuncak. Merekalah para penikmat kebahagiaan negeri ini. Mereka benar-benar penyumbang terbesar angka GNH kita.
Pada urutan berikutnya, berderet orang-orang seperti kita yang masih sempat menertawakan perilaku capres yang tersandung-sandung di pasar, yang masih menikmati gurauan serius tentang kandidat paling cantik dan keren, yang masih sempat berseru keras saat menyaksikan Euro 2004 di TV plasma. Kita juga masih bisa tersenyum mendengar para capres diusir dari kampus. Kita tertawa melihat poster-poster kreatif mereka; juga terkagum-kagum dengan kemerduan suara mereka di kaset-kaset dan TV. Kita, pokoknya, masih punya happiness seperti kata Mank, saat melihat pentas politik negeri ini. Tapi, sebenarnya ada sebagian warga negeri ini yang benar-benar defisit GNH. Mereka adalah anak-anak usia sekolah dasar yang tak bisa menikmati sumber daya kebahagiaan, sisa-sisanya sekalipun! Mereka tak bisa membayar SPP, mereka gagal UAN, mereka tak mampu ikut rekreasi bersama teman-teman sekelas. Mereka kemudian memilih bunuh diri. Mereka anak-anak kita. Mereka tiap hari menghiasi halaman-halaman media.
Kita mungkin telah lupa memberi mereka sedikit rasa bahagia. Lalu mereka menjadi pribadi-pribadi yang rapuh, yang memandang dunia dari sisi tergelap, tanpa sedikit pun harapan. Mereka miskin bukan saja dari sudut materi, tapi juga pilihan hidup. ''Saya anak yang tidak disayang orang tua. Ibu lebih menyayangi adik-adik, jadi lebih baik saya mati,'' kata Khodijah, bocah SD di Brebes, Jawa Tengah, seusai membakar diri. Ia tewas beberapa saat kemudian. Panjang, deretan anak yang berlaku serupa. Ada Aman yang meminum racun tikus karena malu tak mampu membayar uang UAN; ada Nazar yang menusukkan pisau ke perut karena orang tuanya bercerai; ada Nurdin yang menggantung diri karena kematian ibunya; ada Mevi yang menenggak obat nyamuk karena kecewa tak bisa menonton AFI setelah kalah berebut saluran TV dengan kakaknya. Televisi memberi mereka dunia yang amat suram--sekaligus mengajarkan cara terpendek mengakhirinya. Setiap hari anak-anak mendapat suguhan dunia yang tak ramah.
Dunia yang menakutkan. Dunia yang tak menawarkan sedikit pun kebahagiaan. Begitu banyak anak-anak jahat dalam sinetron-sinetron untuk mereka--lihat Bidadari. Begitu muram dunia tokoh idola mereka, sehingga setiap hari selalu penuh tangis--lihat Marshanda. Ada Ratapan Anak Tiri di masa lalu, yang ukuran suksesnya adalah air mata pemirsa, tapi film itu tak mampu semuram sajian sedih bertele-tele--hingga berbulan-bulan--sinetron anak-anak di masa kini. Kita perlu memberi anak-anak seperti mereka dunia yang lebih indah. Tak perlulah subsidi nilai UAN. Cukup, misalnya, sinetron yang menggembirakan, figur-figur yang tersenyum ramah, acara televisi yang membangun kepercayaan diri, atau lagu-lagu yang riang. Seperti kata Mank, GNH kita adalah modal yang besar. Ambillah hikmah dari ucapannya, bahwa kita mesti memberi ruang lebih luas bagi optimisme. Ruang lebih lebar bagi tawa (tapi, saya tidak sedang mengampanyekan Gus Dur, lho).(***... kalyara@yahoo.com )
(Arys Hilman)
---------------
Sumber : Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home