Titipan
Mohamad Sobary
WARGA Muhammadiyah, di manapun mereka berdomisili, dan apa pun profesi mereka, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, merasa berkewajiban menjaga sebaik-baiknya dan menjunjung tinggi dengan rasa hormat wasiat KH Ahmad Dahlan yang nadanya terasa menjadi seperti sebuah ajaran moral: "Kutitipkan Muhammadiyah kepadamu. Hidup-hiduplah Muhammadiyah. Tetapi, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah".
Dalam pelajaran ke-Muhammadiyah-an, wasiat ini menjadi filosofi yang mendasari gerak jiwa perserikatan itu. Muhammadiyah mengabdikan diri dalam kegiatan dakwah Islamiah dengan semangat rida dan ikhlas bekerja di jalan Allah, jihat fi sabilillah, buat menata hidup menjadi lebih baik.
Jelas, ia memberi sumbangan berharga pada pembentukan peradaban kita. Dan dalam pengabdian itu orang merasa berbesar hati justru karena sumbangan jasanya tak dibayar. Ini deposito di "bank" besar hari akhir yang bunganya aduhai…
Maka, kita pun-maksudnya anak-anak di kampung saya dulu-begitu bergelora jiwanya tiap menyanyikan lagu sambil latihan drum band: "Muhammadiyah siapa yang punya, Muhammadiyah siapa yang punya, Muhammadiyah siapa yang punya, yang punya kita semua…"
Sebenarnya ini cuma variasi dari lagu Mars PII (Pelajar Islam Indonesia) yang membuat jiwa anak-anak cepat menjadi dewasa dalam kancah perjuangan dakwah dan latihan kepemimpinan di surau-surau. Juga saat tablig akbar berlangsung.
Kami, anggota PII, juga anggota Muhammadiyah. Soalnya, di kampung jumlah orang tak begitu banyak. Tak mengherankan bila anak-anak, juga saya sendiri, ikut bergerak. Mungkin itu pula sebabnya Muhammadiyah lalu dianggap punya kita semua.
"Tetapi, benarkah Muhammadiyah milik kita?"
Mungkin benar, meskipun sebetulnya ada jawaban yang lebih pasti: Muhammadiyah itu sebuah titipan. Dan hanya titipan. Ia bukan hak milik.
Kita, para warganya, cuma menjaga amanah penting itu agar kita bisa merawatnya karena ia merupakan "kendaraan" operasional yang bagus, luwes, dan leluasa bergerak ke sana-ke mari buat melakukan syiar Islam. Ia begitu luwesnya hingga kadang tak kentara bila tiba-tiba ada yang menjadikannya kendaraan politik untuk meraih kedudukan istimewa bagi kepentingan pribadi.
"Bukankah itu jelas penyimpangan?"
"Betul, ini cerminan watak dan perilaku korup, atau culas, dan karena itu kita saling mengingatkan agar penyimpangan tak menjadi tradisi. Titipan yang kita terima harus dijaga sebab kini ia menjadi tanggung jawab kita."
Kita wajib menjaga titipan itu agar namanya tak tercemar dan citranya tak menjadi buruk. Selebihnya agar misinya tercapai.
***
DIAM-diam sejak masa pendidikan itu saya sendiri merasa sudah telanjur agak paham bahwa terhadap amanah kita diminta bertanggung jawab penuh, dunia-akhirat. Tiap kesanggupan membawa konsekuensi di pundak kita.
Tuhan membukakan tabir kehidupan pelan-pelan. Ilmu hikmah dibuka tahap demi tahap. Rahasia alam pun tersingkap di depan mata-juga di depan mata hati-bagian demi bagian. Kita diberi tahu sedikit rahasia hidup. Lama sesudah itu ditambah sedikit lagi. Dan hanya bila kita sering bertanya, muncul sedikit tambahan lagi. Tak ada yang serba mendadak.
Maka, kita pun sadar, apa yang sering kita anggap punya kita, sebenarnya bukan. Uang dalam dompet, yang kelihatannya mutlak milik kita, sering terbukti ternyata rezeki orang lain.
Kita cuma membawakannya. Kita sekadar perantara. Bisa saja orang lain memintanya karena sedang terdesak kebutuhan. Tetapi sering pula, entah mengapa, kita memberikannya.
Dan rezeki itu pun lalu bukan lagi milik kita. Di sana diam-diam ada pesan lembut, hampir tak terbaca, "rezeki orang jangan dimakan..."
Apa yang kita sangka milik kita ternyata bukan. Suami, istri, anak-anak manis, orangtua, mertua, sobat, guru, tetangga, rumah, lembu, domba-domba, atau kantor, dokumen, tabungan, dan jabatan, siapa bilang milik kita? Bukankah diri kita sendiri pun bukan pula milik kita?
Semua hanya titipan. Semua hanya bayangan. Semua lewat sementara. Semua bisa mati, hilang, atau habis masa berlakunya. Semua hakikatnya di luar kontrol kita. Lalu mengapa dalam politik, juga di kantor-kantor, kita mati-matian rebutan jabatan, seolah jabatan itu takhta suci yang bisa mengantar kita ke surga yang dijanjikan?
Mengapa sekarang hampir tiap orang merasa berhak, dan mampu, menjadi menteri? Mengapa orang lupa, jabatan itu amanah dari langit yang ditempeli pesan agar kewibawaannya dijaga dan kemuliaannya tak dinodai? Dan mengapa kita tak bisa membaca pesan halus: "Kutitipkan jabatan ini padamu. Gunakan ia untuk kemaslahatan publik. Dan jangan untuk dirimu sendiri?"
Di balik tiap jabatan ada tanggung jawab publik. Dan tak jarang, beratnya tanggung jawab membuat kita gelisah. Mungkin stres dan lelah. Kadang hidup terasa cuma berarti beban. Kita sering tampak unhappy.
Sering pula kita digugat rasa keadilan yang muncul tiba-tiba: Mengapa kebijakan ini makan korban? Mengapa yang jelas mencuri belum juga dijatuhi hukuman? Mengapa yang menggerogoti aset negara belum ditangkap polisi?
Ya, mengapa? Ini menarik. Dan lebih menarik bila kita tahu, bawahan kita sendirilah penghambatnya, hingga apa yang seharusnya bergulir ternyata mandek, yang seharusnya lincah ternyata lamban seperti gerak kura-kura.
Musuh terkadang begitu dekat, ia bahkan bawahan kita sendiri. Musuh? Mungkin bukan, tetapi jelas bukan kawan.
Demi tanggung jawab publik ia harus diganti. Memang tak enak, tetapi lebih tak enak, jelas tak adil, dan berdosa kita bila duri itu tak kita singkirkan.
Tuhan membuka tabir hidup pelan-pelan. Ilmu hikmah menetes sedikit demi sedikit. Pelan pula kita tahu: yang kita sangka milik, ternyata bukan, yang kita sangka kawan, ternyata lawan, yang seperti wali, ternyata pencuri, yang bicara keikhlasan, ternyata dendam, pembela kawan, ternyata cuma pemburu jabatan.
Tak diburu pun jabatan itu datang bila kita setia menjaga titipan, sebab, bukankah jelas, jabatan bukan milik melainkan semata cuma titipan? *
----------------------
Sumber : Kompas.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home