Menimang Cucu Menimbang Masa Depan
Oleh : Ahmad Tohari
Senin, 17 Januari 2005
Habis Shalat Subuh, jalan-jalan pagi sambil membopong cucu; saya merasa seperti pohon tua, tapi keluar tunas. Saya pohonnya, si cucu tunasnya. Terasa ada gairah hidup yang menggeliat kembali. Segar, gembira, penuh harapan. Celoteh cucu yang tidak karuan terdengar sebagai kicau burung di atas pohon. Apalagi ketika seorang teman yang kebetulan berpapasan langsung kasih komentar. Dia gatal mulut ketika melihat saya menimang-nimang cucu.
''Sama anak bisa abai, tapi sama cucu? Itu ulah kebanyakan kakek.'' ''Ya, semasa jadi ayah, kedewasaan saya kan belum matang. Ego masih tinggi, lagi pula harus pontang-panting cari nafkah. Jadi, maklum dong kalau dulu saya tidak banyak waktu untuk anak.''
''Ah bisa saja. Itu alasan yang lemah. Mau tahu alasan yang kuat?'' tanya teman saya sambil sama-sama jalan.
''Apa itu?''saya balik tanya.
''Di bawah alam bawah sadar, seorang ayah sebenarnya berseteru terhadap anak-anaknya. Kedua pihak --ayah dan anak-anak-- bersaing memperebutkan ibu. Dari sisi ini, memang ada persaingan kepentingan antara ayah dan anak. Sedangkan terhadap cucu, ente tidak dapat merebut ibunya. Karena ibu si cucu adalah anak ente sendiri. Iya kan?''
''Ah, ente pinter ngarang.'' Kami tertawa. Pagi memang masih dingin dan segar. Pulang jalan pagi, si cucu yang masih ngoceh tak karuan saya serahkan kepada ibunya. Saya sendiri duduk di beranda sambil melihat lalu lintas di depan rumah yang mulai ramai. Tapi aneh, pikiran saya tetap lekat pada cucu yang sudah tidak di pangkuan saya lagi. Tiba-tiba muncul pertanyaan; mau hidup di zaman seperti apakah dia kelak? Mau berhadapan dengan situasi dan kondisi seperti apakah bocah yang bermata bening tanpa dosa itu nanti?
Jujur, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan yakin. Bahkan meramal saja pun susah. Dan saya kira, ini sudah gejala umum. Artinya, bukan hanya saya yang merasa tidak menentu ketika berpikir tentang nasib cucu di masa depan. Saya kira, perasaan skeptik ini lahir dari situasi dan kondisi nyata yang ada sekarang ini.
Tapi untuk jatuh ke sikap yang pesimistik, ya nanti dulu. Kita tidak akan lupa sikap ini dekat dengan rasa putus asa yang tidak dibenarkan oleh iman kita. Ya, orang beriman tidak akan berputus asa dan rahmat Allah. Jadi, meskipun tidak bisa dengan yakin menjawab pertanyaan yang tadi, setidaknya saya bisa mengandaikan perikehidupan cucu saya (dan cucu semua orang), taruhlah lima belas tahun ke depan.
Cucu tercinta waktu itu sudah duduk di SMA. Karena kehidupan bernegara dan bermasyarakat sudah berubah menjadi baik sekali, cucu saya tidak perlu lagi bayar SPP. Gurunya bergaji dan berkompetisi tinggi, sarana sekolahnya lebih dari memadai. Mereka difasilitasi untuk berkembang, bukan dicetak menjadi manusia tertentu sesuai selera dan kemampuan gurunya. Hal ini dimungkinkan setelah ada kesadaran kolektif mutlaknya pendidikan bagi pembangunan masyarakat yang beradab dan bermartabat.
Kesadaran itu pula yang telah menyadarkan bangsa ini bahwa korupsi dengan segala bentuk dan manifestasinya adalah setan yang sesungguhnya. Setan itu akan menghancurkan kehidupan masyarakat sampai ke tingkat individu seperti cucu saya dan cucu semua orang. Untung, dalam pengandaian saya, lima belas tahun ke depan korupsi sudah bersih dari bumi Indonesia. Uang hasil eksplorasi bumi, air dan udara Indonesia semua masuk ke kas negara dan ditasarufkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Utang luar negeri bisa dibayar sebab tidak dicolong pejabat, dan sangat produktif. Hukum dan hak asasi manusia sudah tegak. Kekuasaan sudah dipahami dan dilaksanakan sebagai amanat demokrasi, karena seperti halnya korupsi budaya feodalistik sudah bersih dari bumi Indonesia.
''Pak, ini cucumu sudah dimandikan. Sana dibawa jalan-jalan lagi," perintah anak perempuan saya persis gaya ibunya. Anehnya, saya kok seneng-seneng saja. Si cucu saya ambil lagi. Dia berkicau lagi seperti burung-burung di pepohonan di waktu pagi. Dan saya tatap matanya. O, bening bukan main. Di sana ada citra amanat Allah yang harus saya tunaikan. Mengupayakan tanaman masyarakat yang tertib-efektif, membangun jiwa bangsa yang produktif dan bermoral, mengembangkan karakter yang cerdas dan beriman. Hanya dengan itu semua para cucu kelak hidup bahagia lahir-batin. O, para kakek. Lihat mata bening cucu-cucu kita. Masihkah kita akan terus lalai?
-----------------
Sumber : Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home