Wednesday, May 25, 2005

TELEPON

Di kamar Kiai Nadjib telepon berdering. Kiai tua yang
terkenal itu buru-buru mengangkatnya.

"Halo," sahut kiai.

"Assalamu 'alaikum Kiai," suara di seberang sana, yang kenal
baik dengan suara Kiai Nadjib.

"Wa'alaikum salam ...," sahut Kiai Nadjib

"Wah, saya senang mendengar ceramah Kiai tadi."

"Alhamdulillah," sahut kiai. "Anda siapa, kalau boleh tahu?"

"Salah seorang jemaah, Kiai."

"Alhamdulillah."

Kiai Nadjib baru saja pulang. Sejam yang lalu ia memberikan
ceramah di depan gabungan berbagai organisasi pemuda di
Kebayoran. Anak-anak muda yang bergairah menyerap ajarannya,
umumnya terpesona. Mereka menyimak. Sesekali tepuk tangan
terdengar. Ceramah kiai mengena di hati. Ia membahas makna
ayat "Orang yang Berselimut".

Teks dibahas sesuai dengan konteks zaman. Jarang, memang,
kiai yang membahas ayat itu dengan cara Kiai Nadjib tadi.
Umumnya, tiap bahasan dikaitkan cuma dengan situasi di zaman
Nabi, yang sudah lama lalu itu. Kiai Nadjib memberi
interpretasi bebas, berani, dan pas dengan konteks zaman
ini. Itu sebabnya anak-anak muda kagum atas ketangkasan
interpretasinya.

Bagi Kiai Nadjib, selimut itu memang sesuatu yang
menyenangkan. Selimut membuat orang merasa hangat. Mereka
yang memperoleh kehangatan, umumnya lelap tidur. Diam,
tenteram, nyaman. Ringkasnya, bungkam seribu bahasa. Tapi,
ini baru salah satu sisi dari interpretasinya tentang
selimut. Sisi lain: selimut itu bisa menelikung Bisa membuat
sulit bergerak. Bisa membikin gerah. Bisa membikin tak
berdaya.

Maka, perintah: "Wahai orang yang berselimut,
bangkitlah...," baginya tak lain dari perintah agar kita
membebaskan diri dari selimut yang membikin kita sumpek itu.
Kita sumpek secara ekonomi (karena kaki dan tangan ekonomi
kita "terserimpung"). Kita amat gerah secara politik, karena
dari segenap penjuru kita telah terkurung dan kemampuan kita
berpolitik lumpuh.

Kaum muda bungkem, kaum tua membisu, karena --sebagian--
ditutupi selimut hangat, dan sebagian karena terserimpung
selimut yang menyesakkan. Dan kita pun sumpek secara
kultural, karena kita tak berdaya membuka selimut. Dalam
dunia kultural, selimut pun menyesakkan. Sampai dunia
ide-ide pun tak lagi menjadi milik kita.

"Maka, bangkitlah wahai siapa saja termasuk kamu, anak-anak
muda yang merasa tertutup selimut ...," teriak kiai kita di
depan corong.

Anak-anak itu pun marem. Ceramah itu mereka rasakan sebagai
corak pencerahan. Ceramah seperti itu, dari siapa pun
datangnya, mereka anggap sejenis pembebasan. Ada rasa lega.
Ada tugas yang terasa terwakili. Ada beban yang setidaknya
telah terucapkan. Dan, secara psikologis, mereka merasa
"plong".

Dan kiai pun pulang. Dan telepon tadi berdering. Pembicaraan
telepon itu kemudian berlanjut.

"Saya senang atas interpretasi Kiai," suara di seberang sana
lagi.

"Alhamdulillah," sahut kiai.

"Tapi Kiai, sebaiknya kalau lain kali bicara selimut, ya
selimut saja. Tak usah disimbolkan macam-macam."

"O, begitu."

"Kita ngaji ya ngaji sajalah Kiai. Soal politik biar pihak
lain yang membahas."

"O, begitu."

"Pendeknya, Kiai tak usah ikut politik-politikanlah. Bina
saja anak-anak muda itu dengan rohani yang baik."

"Lho, Anda ini siapa?" tanya kiai heran.

"Saya salah seorang jamaah, Kiai. Seperti saya sebutkan
tadi."

Kiai Betawi yang cerdas ini tersenyum dalam hati. "Pakai
selimut juga gua akhirnya ...," pikirnya getir. Telepon
ditaruh.

Sebagai hasil teknologi, kedudukan telepon itu netral.
Artinya, ia bisa mendatangkan manfaat, tetapi bisa juga
menjadi "barang keparat". Ketika telepon berfungsi sekadar
"sebagaimana mestinya", yakni alat komunikasi, sebagai
pengantar pesan, ia menimbulkan manfaat. Sebaliknya, ketika
telepon berperan sebagai alat menyampaikan perintah-perintah
dan sejumlah larangan ini dan itu, telepon merupakan barang
keparat yang layak disesali kehadirannya.

Di dalam dunia pers umpamanya, pesan telepon sering memiliki
konotasi tersendiri. Jika sebuah kejadian sensitif -- dan
kita memiliki amat banyak kejadian dengan kategori
"sensitif" seperti ini-- tak dibenarkan untuk diberitakan,
"permohonan" untuk tak diberitakan itu cukup disampaikan
lewat telepon. Dan pemimpin redaksi pun segera mafhum bahwa
ia tak bisa bertindak bebas sebagaimana arti kata itu.
Pemimpin redaksi pun punya selimut.

Dan ia lalu sadar, pers Pancasila tidak sama dengan pers
yang bukan Pancasila. Kita mengenal logika kebebasan pers
sendiri: bebas bertanggung jawab.

Sebuah media yang tak memahami persoalan ini boleh terus
bermimpi tentang segala yang ideal. Tetapi dengan cara itu
ia sebenarnya hanya berusaha memencilkan dirinya sendiri. Ia
hanya menempatkan dirinya dalam alam indah yang tak ada
dalam realita. Jika kemampuan kompromi tak ada padanya,
mungkin ia bahkan akan segera tutup kios.

Kelangsungan hidup pers kita sebagian besar memang
ditentukan oleh kemampuan pemilik dan pengelolanya untuk
tahu dan terampil membaca situasi. Sadar bahwa sensor dari
dunia lain yang bukan pers bisa setiap saat terjadi, sebagai
pribadi yang sudah matang, sudah dewasa, mereka selalu mampu
melakukan self-sensorship.

Jargon dakwah: "Sembahyanglah sebelum kau disembahyangkan",
dalam versi lain berlaku juga di dunia pers: "sensorlah
dirimu baik-baik sebelum kepadamu dikenakan sensor yang
mungkin akan lebih pedih rasanya".

Self-sensorship di kita, jadinya tak hanya menunjukkan arti
"kebebasan yang bertanggung jawab" melainkan juga cermin
"kepahlawanan" yang tumbuh dari bawah. Artinya tidak
direkayasa, tidak diberi petunjuk dan tidak pula repot-repot
diatur di dalam sebuah undang-undang. Selfsensorship adalah
partisipasi. Bahwa partisipasi itu mungkin muncul karena
ketakutannya sendiri, itu soal lain. Salah sendiri tidak ada
yang menakut-nakuti kok takut.

Tapi sungguh, ini adalah cermin rasa tanggung jawab dari
pihak pers terhadap stabilitas nasional.

Kesempatan bersaing terbuka luas antara pers bebas
(maksudnya pers swasta) dan pers yang dimiliki pemerintah,
dan sepenuhnya sadar bahwa ia memanggul tugas menyuarakan
kepentingan pemerintah. "Perlombaan" ini menggairahkan,
hingga tak jarang sebuah perusahaan pers swasta nampak lebih
jinak dibanding pers pemerintah.

Lebih-lebih ketika pers berkembang menjadi semakin besar,
dan semakin kuat. Ketika pertimbangan bisnis nampak lebih
utama, rasa ketergantungan pers terhadap pemerintah juga
menjadi semakin besar.

Orang bilang bahwa pers merupakan institusi yang dibutuhkan
oleh pemerintah. Institusi itu, dengan kata lain, harus ada.
Pemerintah tanpa pers akan menjadi sebuah rumah yang
kehilangan sebuah tiangnya.

Pers sebenarnya sebuah jembatan yang menghubungkan
pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah, dengan kata lain,
memerlukan pers. Pesan-pesan pembangunan disampaikan
pemerintah kepada masyarakat lewat pers. Hal-hal yang
menguntungkan pemerintah disampaikan kepada masyarakat juga
lewat pers.

Sebaliknya, aspirasi dan kritik terhadap pembangunan,
misalnya, juga disampaikan masyarakat lewat pers. Secara
teoretis pers bisa menjadi alat "mendewasakan", baik
masyarakat maupun pemerintah. Namun, dalam situasi di mana
komunikasi tak seimbang, ada pihak lebih kuat ada pihak
lebih lemah, otomatis ada yang harus kalah, atau mengalah.

Dan pesan telepon untuk pemimpin redaksi agar ini atau itu
tak usah dimuat, merupakan sebuah "saran" yang
"konstruktif". Terhadap hal-hal konstruktif seperti itu,
yang tujuannya memelihara stabilitas nasional, dus buat
kepentingan "segenap pihak", mengapa tak dituruti?


----------------------
Isnet.org - Mohammad Sobary, Matra/Edisi Khusus III/Agustus 1992

0 Comments:

Post a Comment

<< Home