Rabun Jauh
Oleh : Ahmad Tohari
Senin, 14 Februari 2005
Nasihat yang bagus bisa didapat di mana saja. Bahkan tanpa sengaja dari orang yang sosoknya tidak meyakinkan pula. Begitulah pengalaman saya Jumat lalu ketika dalam perjalanan singgah di sebuah masjid kecil yang penampilannya masih serba kuno. Khatibnya begitu bersahaja dan penampilannya ketinggalan zaman. Tapi dari khatib yang kelihatan tidak meyakinkan inilah saya mendapat nasihat yang sangat berharga. Benarlah kata Ali bin Abi Thalib RA: Dengarkan apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan.
Dalam khutbahnya sang khatib meriwayatkan percakapan antara dua orang mengenai kepemilikan terhadap uang. Orang I:+''Bila kamu punya uang sepuluh rupiah, kemudian yang sembilan rupiah kamu belanjakan untuk makan di warung dan yang satu rupiah kamu berikan kepada anak yatim, tinggal berapakah uangmu?'' Orang II:-''Ya habis, lah. Pertanyaanmu menghina. Saya bukan anak kecil.'' +''Saya tidak main-main. Dan ternyata jawabanmu memang jawaban anak kecil. Dan salah. Yang benar, engkau masih punya uang satu rupiah. Yakni uang yang engkau berikan kepada anak yatim. Uang itu akan tinggal abadi dan engkau akan bisa ketemu lagi nanti di akhirat. Sementara sembilan rupiah yang kamu belanjakan nasi di warung mungkin habis riwayatnya setelah membusuk di septic tank.''
Selanjutnya khatib menjelaskan, orang cerdas adalah mereka yang banyak menanam investasi jangka panjang. Tidak tertipu oleh keasyikan yang hanya berjangka pendek lagi pula palsu. Namun, masih menurut sang khatib, kebanyakan kita sudah lama terkena penyakit mata yang bernama rabun jauh atau miopia. Kita hanya bisa melihat dengan jelas benda-benda yang dekat. Sementara benda yang jauh cuma tampak samar atau tidak kelihatan sama sekali. Padahal kita mengerti yang jauh itu lebih baik, lebih abadi. Bahkan iman terhadap yang jauh itu, hari kiamat, selalu disatukan dengan iman terhadap Allah sendiri. Amantu billah wabil yaumil akhir. Namun, karena penyakit rabun jauh, kita lebih tertarik kepada yang kini dan di sini. Sedangkan hal yang ada di seberang kehidupan lahir ini, ah, bagaimana nanti saja.
Selama meneruskan perjalanan, khutbah khatib yang sederhana itu terus terngiang-ngiang di telinga. Terasa sekali kebenarannya, bahwa komitmen keimanan terhadap hari akhir sudah sangat merosot. Dan itulah rupanya penyebab utama kita menderita rabun jauh. Gejalanya memang muncul di mana-mana dalam berbagai bentuk dan manifestasinya. Orang yang benar-benar percaya terhadap eksistensi hari akhir tentu tidak akan melakukan korupsi atau menyuap, misalnya. Sebab, bagi mereka yang konsisten dengan keyakinan itu, jangankan korupsi dalam jumlah besar. Korupsi satu rupiah saja dia takut karena yakin akan menjadi masalah serius di akhirat. Dan sebaliknya.
Kini nyatanya Indonesia dengan jumlah penduduk mayoritas umat Islam sudah ditahbiskan sebagai negara terkorup ketiga di dunia. Malah ada seloroh. Sebenarnya bangsa Indonesia adalah bangsa terkorup pertama. Namun, karena tim penilai telah berhasil disuap (konon, menyuap pun merupakan keahlian kita) maka kita diberi imbalan menjadi terkorup ketiga.
Seloroh tidak ada gunanya. Bahkan bisa menyebabkan kita merasa tidak perlu berbuat sesuatu untuk mengobati kanker bangsa yang bernama korupsi itu. Namun, apakah sesuatu yang kiranya bisa menjadi terapi pengobatan kanker korupsi itu? Menurut sang khatib tadi, ialah keyakinan yang sungguh-sungguh terhadap adanya hari akhir! Keyakinan yang konsisten menjadi perilaku.
Tentu banyak orang bisa menerima nasihat ini. Jadi, mari kita obati mata kita yang sudah lama kena rabun jauh. Dan dokter yang paling punya kompetensi menyembuhkan penyakit mata hati itu adalah diri kita masing-masing.
----------------
Sumber : Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home