Tuesday, February 08, 2005

Zalim

Minggu, 06 Februari 2005

Ada orang bernama Dalim. Saya tidak tahu mengapa orangtuanya memilih nama itu. Mungkin ia tak tahu bahwa Dalim itu zalim, jahat: sesuatu yang sangat sensitif secara moral maupun sosial. Dan dilarang agama.

Nama anak harus dipilih yang baik dan tepat, karena di balik nama ada harapan dan doa-doa, semoga perilaku si anak semulia citra yang dikandung dalam namanya.

Nama juga memikul pesan ideologis. Termasuk ideologi keagamaan: Adil. Hakim. Arief. Bestari. Satyagraha. Rahman. Rahim. Rahmany. Rahimah. Ada begitu banyak nama baik. Ada begitu banyak sifat baik. Semua bisa dipilih.

Salah nama bisa bikin salah tingkah laku si anak. Dalim pun bisa bertingkah zalim pada diri sendiri, pada orangtua, pada istri, pada anak, pada mertua, pada teman-teman, pada kantor, pada profesi, pada agama dan masyarakat. Seperti Adil, atau Hakim, Dalim pun cerminan sifat.

Tapi tak dengan sendirinya nama menjadi sifat. Nama perlu diolah, dan dibentuk dengan bentukan sosial, maupun kultural. Mungkin lewat pendidikan, dan latihan-latihan, atau lewat jalan alamiah yang tak kentara sebagai sesuatu yang dirancang.

Pergulatan hidup sehari-hari, kesibukan di organisasi gerakan, latihan-latihan beramal, latihan tirakat, dan riadah di pesantren, bisa menjadi medan tempat sebuah nama, sebuah citra, atau ideologi, diolah dan dibentuk menjadi sifat, dan watak yang melekat pada nama, atau menyertai kelengkapan sebuah nama. Bung Adil itu sifatnya juga adil. Ini sekadar contoh.

Sebutan para sosiolog dan antropolog mengenai sesuatu yang bersifat "socially constructed", atau "culturally constructed", bisa termasuk pula nama baik yang mewujud menjadi sifat baik karena nama tadi tak berhenti pada ideologi, harapan, dan doa-doa, melainkan diteruskan pada tindakan nyata dalam mendidik dan memberi si bocah medan latihan yang sesuai dengan apa yang hendak dicapai.

Tapi dunia ini luas, kompleks, ruwet, dan juga aneh. Di mana-mana ada watak zalim dan kezaliman. Di balik tindakan dan watak itu mungkin ada tujuan ideologis atau politis. Tujuannya bisa mulia dan hebat. Tapi tak jarang, itu cuma gincu, dan kepalsuan.

Lewat jalan itu, kalau ia cari popularitas, ia cuma dapat popularitas murahan. Kalau ia cari jabatan, maka jabatannya juga cuma sesaat, dan tak nikmat. Tak bakalan nikmat. Lagi pula, ada yang dilupakannya: secanggih apa pun kezaliman, sekarang ini dengan mudah pelakunya ditangkap. Penegak hukum juga ikut canggih.

Tak ada kejahatan sempurna. Sehati-hati apa pun, kejahatan meninggalkan jejak dan alibi, dan bercak-bercak penanda. Minggu lalu kezaliman dilakukan, minggu ini ia diringkus polisi. Dua bulan lalu berbuat zalim, hari ini kasusnya disidangkan di pengadilan. Telak sekali.

Tapi mengapa si zalim masih terus melakukan kezaliman? Ambisinya menggelegak? Tak bahagia di rumah? Berwatak antisosial? Jiwanya membatu bagaikan sabda "sumum bukmum" yang diajarkan kiai dan kita hapal tiap hari?

Dunia ini luas, kompleks, ruwet, dan juga aneh. Sekarang, orang yang bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, dan cuma rendah harga rohani dan sosialnya, dengan mudah mengutuk dan mencerca siapa saja.

Tokoh agama, ilmuwan, budayawan, menteri, presiden, atau pejabat lain, mudah dicerca atau difitnah lewat banyak cara. Ada orang zalim yang sengaja mencari-cari terus kesalahannya. Bila secara pribadi tak ditemukan apa-apa, dia dicari sampai sekecil apa pun kesalahan administratif, atau hukum, yang dilakukannya. Kalau tak ada kesalahan, harus bisa dibikinkan sebuah rekayasa agar orang itu seolah-olah salah. Harus diakui, rekayasanya juga canggih, dan seolah meyakinkan. Kebohongan iblis, dalam kisah-kisah kerohanian, sering lebih memikat daripada keluhuran nabi-nabi.

Maka, orang-orang yang rentan fitnah, karena jabatan, karena kekayaan, karena posisi rohaniah dan keumatan, dan karena popularitas yang tinggi, diminta setidaknya memiliki dua hal yang tak terbantah. Ia harus bersih dan teruji. Moral sosialnya bagus, dan meyakinkan, moral pribadinya pun bagus, dan tak layak diragukan.

"Adakah di dunia yang kumuh ini manusia macam itu?"

Ternyata ada. Saya mencatat beberapa nama yang lama memegang jabatan tinggi, dan mengelola aset publik yang bisa dicuri, atau digelapkan, tapi mereka tak melakukannya, dan mereka pun dengan sendirinya tak menumpuk harta negara di rumah dan di dalam jiwa mereka yang sederhana.

Mereka hampir tak memiliki apa-apa selain harga diri dan kehormatan: sesuatu yang sekarang ini mahal harganya di negeri kita.

"Mereka tak doyan duit?"

"Doyan sekali."

"Tak senang kenikmatan?"

"Senang sekali."

"Tak kepingin rumah bagus dan mobil mengkilap"

"Kepingin sekali"

"Mengapa tidak mencuri?"

"Karena tak sesuai bunyi kata hati."

Keluhuran budi macam ini memang bukan senjata tajam, bukan senjata api, atau bom, bukan klenik, bukan mantera atau jampi-jampi, tapi-insya Allah-bisa menangkal segala jenis kezaliman. Fitnah kaum zalimin, apa pun yang difitnahkannya, akan lumer, dan cair di hadapan ketulusan wajah dan jiwanya.

"Everything is melted in the air" karena panas udara. Dan api fitnah tak menyala di depan kejujuran jiwa-jiwa yang "terpelihara" karena mereka juga tekun memelihara hal lain.

"Apa yang mereka pelihara?"

"Amanah."

"Apa lagi?"

"Tanggung jawab publik"

"Masih ada?"

"Masih"

"Apa?"

"Seperti disebut di atas, mereka memelihara harga diri dan kehormatan dengan cermat dan sadar sebagai dharma tertinggi dalam hidup. Mencuri, serong, menggelapkan aset publik, korup, memperkaya diri, akan menghancurkan harmoni dengan orang lain, dengan ajaran, dan dengan diri sendiri."

Rusaknya harmoni mematikan kehormatan dan harga diri. Apa lagi makna yang masih tersisa dalam hidup bila kehormatan dan harga diri hancur, dan mati? Saya mulai mengerti bahwa dalam perkara ini orang Bugis-Makassar tak sudi tawar-menawar. Mereka rela, demi menjaga dan mempertahankan siri, bertaruh nyawa. Hidup bukan apa-apa dibanding siri, karena dengan simbol siri itu jiwa mereka hidup dalam kemuliaan.

Sebaliknya, memfitnah sambil bersembunyi mungkin bisa melegakan nafsu, tapi juga bikin cemas dan takut tertangkap. Kezaliman tak pernah sempurna. Dan tak tahan lama menghadapi kebenaran yang menyilaukan, karena si zalim langsung menghadapi polisi, jaksa, hakim, dan penjara.*

Mohamad Sobary
-------------
Sumber : Kompas.com









0 Comments:

Post a Comment

<< Home