Nikmat Memberi, Malu Menerima
Senin, 07 Februari 2005
Oleh : Ahmad Tohari
Pulang menjenguk sahabat yang baru datang dari Tanah Suci, saya dan seorang teman terlibat diskusi yang hangat. Awalnya dari pengalaman kami di rumah sahabat itu. Di sana di antara para tamu, ada seorang lelaki yang sering mengusap air mata. Kami tahu laki-laki itu sudah naik haji beberapa tahun yang lalu.
Dan selalu berurai air mata bila menjenguk orang yang baru pulang atau mau berangkat ke Tanah Suci.Yang kami dengar, orang itu konon selalu teringat kembali pengalaman menunaikan ibadah haji. Terharu, dan air matanya akan berjatuhan.''Ghirah Pak Haji, atau emosi keberagamannya sangat tinggi. Dan dia dikaruniai hati serta mata yang bisa menangis. Orang seperti itu mampu merasakan nikmatnya beribadah,'' begitu kata saya pada awalnya.
''Nah, kamu sendiri sudah haji. Kok, tidak seperti dia; selalu terkenangkembali Masjidil Haram, Arafah, Mina, Masjid Nabawi dan menangis?''
''Saya juga sering terkenang semuanya. Tapi tak pernah sampai menangis.''
''Kenapa bisa begitu?''
''Mungkin dalam menunaikan ibadah haji, saya hanya mendapat
pengalaman spiritual sedikit saja. Yang banyak adalah pengalaman dalam kesadaran empirik. Jelasnya, dalam beribadah haji saya terlalu rasional. Atau hati saya memang keras. Nah, itu jelek, kan?''
''Saya kira tak ada jeleknya mengembangkan rasionalitas, bukan rasionalisme, dalam melakukan ibadah haji. Maksud saya begini. Dimensi ritual yang menyangkut syarat-rukun serta wajib-sunahnya haji jelas harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Itu urusan fikih. Dimensi ini akan menjadikan kita bisa memiliki kesalehan ritual.''
''Ya, terusnya?'' tanya saya.
''Rasionalitas ibadah haji berangkat dari falsafah kehajian. Karena, seperti rukun Islam lainnya, ibadah haji pada sisi ritualnya adalah simbol yang hanya bermatra vertikal. Sedangkan matra sosial ada maknanya.''
''Pikiranmu rumit. Coba disahajakan,'' pinta saya.
''Begini. Kalau ibadah shalat sesungguhnya(!) dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar, dan puasa akan menghasilkan ketakwaan, analoginya dapat juga ditarik dari ibadah haji. Ibadah ini akan menghasilkan sifat yang bagaimana?''
''Ya bagaimana?'' kejar saya. ''Mari kita kembali ke simbol. Ibadah haji ditradisikan sejak Nabi Ibrahim yang kita percaya sebagai bapak tauhid. Dalam kaitannya dengan ibadah haji, kita tahu beliau diminta berkurban. Yang diminta dikurbankan untuk Allah adalah sesuatu yang paling beliau sayangi dalam hidup; anak kesayangan beliau sendiri, Nabi Ismail. Dan kalau tidak dihentikan oleh Allah sendiri beliau akan melaksanakannya.''
''Ah, semua orang tahu kisah itu. Ceritamu nggak ada yang baru.''
''Memang. Tapi saya ingin mengatakan, mari kita ikuti amal Nabi Ibrahim kalau ingin jadi haji yang benar.''
''Nah, kita sudah memotong sapi atau kambing untuk kurban. Bukankah itu meniru amal Nabi Ibrahim?''
''Betul. Namun itu kan baru simbol.''
''Simbol bagaimana? Potong hewan kurban kan sesuatu yang nyata, dampaknya juga jelas terasa.''
''Iya. Tapi dengar dulu. Simbol ekstrem yang dipercontohkan Nabi Ibrahim, intinya adalah jangan mencintai dunia lebih dari mencintai Allah dan Rasulnya. Selain Allah dan rasulnya jangan disayang-sayang, dan berikan bila ada yang lebih membutuhkannya. Seperti dalam kisah simbolik itu; anakpun diberikan bila diminta oleh Allah.''
''Ya, saya setuju. Terus?''
''Jadi menurut saya sih, makna horisontal ibadah haji adalah proklamasi diri. Bahwa dengan ibadah ke Tanah Suci seseorang telah menyatakan diri sebagai manusia yang merasa nikmat ketika memberi atau berkurban kapan saja dan dimana saja. Logika kebalikannya adalah, dia akan malu menerima, apalagi mengambil sesuatu yang tidak halal baginya. Nah, kamu sudah haji. Bagaimana kalau motormu yang butut dijual dan uangnya dikirim untuk anak yatim di Aceh. Boleh? Juga jangan pernah korupsi karena itu melanggar falsafah kehajian. Mau?''
Saya malu. Ternyata kehajian saya tidak membuat saya punya kesalehan spiritual, juga tidak secara sosial.Astaghfirullah.
-------------
Sumber : Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home