Wednesday, February 02, 2005

Mental Korup Lahir di Rumah

Senin, 31 Januari 2005

Ini cerita ringan tentang Abul Khair--sebut saja demikian namanya--dengan Sidik, anaknya yang baru duduk di SMP. Suatu siang Sidik pulang sekolah dengan wajah meriah. Senyumnya diobral murah. Maka si bapak, ya Abul Khair itu, tergoda buat bertanya. ''Kok kamu cengar-cengir seperti itu? Dapat nilai bagus di sekolah?''
''Ini bukan soal nilai, Pak. Ini soal duit. Asyik kan?''
''Duit bagaimana?'' Si ayah mulai serius.

''Waktu pulang naik angkot, saya tidak ditarik bayar oleh kernet. Jadi biaya transpor satu kali jalan masih ada. Ini! Lumayan, besok Bapak tinggal kasih biaya satu kali jalan lagi saja. Nah, asik kan?''
Abul Khair diam. Wajahnya beku. Sidik jadi heran. Diberi kesempatan berhemat kok ayahnya manyun? Memang Abul Khair lama manyun. Sidik jadi mulai bimbang. Namun akhirnya senyum Abul Khair cair juga. Wajahnya pun bening lagi.
''O, begitu. Begini, Dik. Bapak minta maaf karena tidak bisa ikut senang bersama kamu dalam soal ini.''
''Kenapa, Pak?''

''Ya, karena Bapak beda pendapat dengan kamu. Menurut Bapak sih, duit itu meski cuma 1.500 perak, tetap milik Bang Kernet. Mungkin tadi angkotnya terlalu penuh sehingga kamu tercecer dan tidak ditarik ongkos.'' Dahi Sidik berkerut. Alisnya merapat. Ah, tak enak rasanya berseberangan pendapat dengan Abah. Dan kalau dipikir-pikir ayahnya memang benar juga.

''He-he, Ayah benar. Tadi angkotnya penuh. Dan saya jadi yakin Bang Kernet bukan sengaja memberi tumpangan gratis kepada saya.'' ''Nah! Sekarang bagaimana?'' Abul Khair tersenyum.
''Bagaimana ya, Pak?''
''Begini saja. Besok kamu berusaha naik angkot yang kemarin, dan bayar dobel. Katakan, kemarin Bang Kernet lupa minta bayaran sama kamu. Gampang sekali. Dan kamu setuju?''

Cak Nurcholish Madjid (semoga Allah menyegerakan kesembuhannya) pernah bilang, bangsa Indonesia harus melakukan revolusi di bidang mental. Kalau tidak, bangsa Indonesia akan tetap menjadi penghuni halaman belakang di Asia Pasifik bahkan di dunia. Menurut Cak Nur salah satu yang harus direvolusi adalah mental korup, diubah dengan drastis menjadi mental jujur. Siapa pun yang berpikir normal pasti setuju akan ungkapan Cak Nur tadi. Korupsi yang menurut Mensesneg Yusril Ihza Mahendra sudah keluar dari batas nalar, jelas telah melumpuhkan bangsa ini. Namun berapa banyak ayah yang seperti Abul Khair itu. Dia amat peduli terhadap penanaman mental jujur kepada anaknya.

Sidik bilang kepada saya, ayahnya memang begitu. Kasus angkot itu hanya salah satu pengalamannya. Soal nilai pelajaran juga begitu. Ayah berharap sangat agar anak-anaknya tidak nyontek kalau sedang ada ulangan. Nilai hasil contekan itu palsu dan di sana jelas ada perilaku tidak jujur. ''Lebih baik kamu dapat nilai rendah tetapi didapat dengan jujur daripada nilai tinggi hasil nyontek.'' Sidik menirukan kata-kata ayahnya. Masih menurut Sidik; ayahnya juga serius soal uang kembalian. Kalau menyuruh Sidik membeli sesuatu, ayahnya akan mengecek apakah kembaliannya sudah benar walaupun cuma beberapa perak. Tips atau hadiah memang selalu diberikan. Tapi hal itu dilakukan setelah ada pertanggungjawaban keuangan.

Cerita ringan membuat saya sendiri malu hati. Sebab, betapa saya tidak seperti teman saya Abul Khair. Mungkin saya tak peduli bila anak saya nilep uang hak Bang Kernet. Itu pelajaran korupsi. Betapa saya tak peduli dengan uang kembalian (ironisnya karena merasa sayang kepada anak). Itu pelajaran ngemplang uang orang. Betapa saya tak peduli anak di sekolah nyontek apa tidak, yang penting masuk peringkat atas di kelas. Itu pelajaran berbohong kepada publik. Cak Nur mudah-mudahan Anda sudah sehat. Namun alangkah ngelangutnya melakukan keinginan mulia Anda melakukan revolusi mental pada bangsa ini. Karena, mental korup memang dilahirkan oleh kita sendiri. Masya Allah.
-----------------
Sumber : Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home