Monday, January 31, 2005

Adegan-adegan Kematian

Minggu, 19 Desember 2004

Adegan itu tersaji singkat di layar. Sekelompok orang berdiri di jalan raya. Mereka berseragam, berwajah Melayu, dan menyandang senjata berlaras panjang. Mereka bergerak cepat saat seorang muda, berkulit gelap, berambut keriting, mencoba menghindar. Tampak kaki berlars yang berusaha menjegal; popor yang berusaha menghantam.

Anak muda itu berlari. Lalu, ''Dor ....'' Film pun berakhir dengan close up si anak muda tergeletak di jalan. Darah bersimbah, mengalir ke permukaan aspal yang lebih rendah. ''East Timor,'' kata penyaji film itu. Dulu ia wartawan; kini peneliti di Human Security Centre, University of British Columbia (UBC), Vancouver, Kanada.

Adegan itu mengawali diskusi di Liu Institute for Global Issues, UBC, musim dingin lalu. Semua tatap rasanya tertuju ke wajah. Mereka menanti reaksi saya--seorang Indonesia yang tentaranya tersaji di layar, menembak orang tak bersenjata. Saya cuma bisa tersenyum getir. Film-film dokumenter semacam itu sangat mudah menggedor pikiran dan hati kita. Bahkan, dalam sajian tanpa narasi sekalipun. Apalagi isinya menyangkut hal yang sangat dekat dengan kita; kedamaian hidup, kemanusiaan.

Itu pula yang terjadi dalam peristiwa di sebuah masjid di Fallujah, Irak. ''Dia pura-pura mati!'' teriak seorang marinir AS. Senjatanya terbidik. Beberapa sentimeter dari ujung laras, seorang lelaki terbaring di lantai masjid. ''Ia masih bernapas! Ia pura-pura mati!'' katanya lagi, kepada beberapa marinir lain di belakangnya. Gambar di televisi pun bergerak cepat, lalu, ''Bang...!'' Dan, sang marinir kembali berseru, ''Kini dia [benar-benar] mati!''

Kemarahan pun menggelegak di seluruh penjuru dunia begitu rekaman itu beredar. Kemarahan yang kurang lebih sama saat dunia menyaksikan kekejian tentara AS di penjara Abu Ghuraib. Saya tak berniat memasarkan kekejian. Tapi, rekaman peristiwa semacam itu, kalau Anda mau, bisa dengan mudah Anda dapatkan di situs-situs internet. Kita menyaksikannya dengan perasaan jijik, marah, bercampur ketidakpercayaan, ''Bagaimana mungkin manusia bisa berbuat sekejam itu.''

Ada sudut dunia yang paling banyak memiliki adegan semacam itu: Palestina. Di negeri ini, tiada hari tanpa penghinaan terhadap kemanusiaan. Pasukan Israel mempertontonkannya sesuka hati, lalu memancing kemarahan sesaat, tapi dunia dengan mudah melupakannya--karena media-media dunia pun tak begitu peduli. Saya ingatkan Anda tentang rekaman foto seorang bapak yang mendekap anaknya. Mereka berlindung di balik tong, menghindari tembakan serdadu Israel. Tiba-tiba sang bapak terpekik, membalikkan badan, karena serdadu Israel pun ada di belakangnya.

Ia memeluk anaknya, mengiba-iba, minta tak ditembak. Ia melindungi anaknya. Tapi, kita tahu, sekuel foto itu berakhir dengan rekaman bapak-anak itu terkulai diterjang peluru. Saya selalu mengingat rekaman itu--dan berpikir gambar itulah yang seharusnya tersaji di Human Security Centre di UBC. Pekan-pekan ini, saya malah menemukan rekaman lain. Ini memang rekaman audio. Tapi, tak kurang membuat kita merinding. Seorang bocah perempuan lewat di depan sekumpulan tentara Israel di Gaza. Tas tersandang di tubuhnya. Iman al-Hams nama bocah itu. Ia baru pulang dari sekolah dan sedang menuju kamp pengungsian tempat ia tinggal.

''Ada seorang gadis kecil, dia berlari menghindar ke arah timur,'' sebuah suara muncul di radio komunikasi, dari menara pengawas. ''Kita bicara tentang anak umur di bawah 10 tahunan?'' timpal suara lain. ''Gadis umur 10 tahunan. Ia di balik tanggul, kelihatan gelisah.'' Beberapa saat kemudian, sebuah peluru bersarang di kaki bocah itu. Ia terkulai tiada daya.

Lalu, mendekatlah seorang perwira, disebut dengan identitas Kapten R. ''Saya dan seorang tentara lain ... sedang mendekat, untuk memastikan ia mati....'' terdengar suara Kapten R di radio. ''Lapor, kami menembak dan membunuhnya ... Saya pastikan dia mati. Over,'' lanjutnya. Rekaman audio tak menunjukkan bagaimana si kapten membunuh Iman. Namun, saksi mata bertutur kemudian, ''Kapten R menembak Iman dua kali di kepala, berjalan menjauh, berbalik lagi, dan memberondongkan tembakan ke tubuh gadis kecil itu.'' Dokter di RS Rafah belakangan menemukan 17 butir peluru bersarang di tubuh Iman.

Peristiwa itu terjadi November lalu. Kapten R akhirnya diadili. Bagaimana dia memandang peristiwa itu? Jawabannya tergambar pada rekaman kata-kata Kapten R di radio komunikasi. ''Di sini komandan. Apa pun yang bergerak di zona ini, anak umur tiga tahun sekalipun, harus dibunuh. Over.'' Adegan semacam itu, Pembaca, tak terbayangkan pernah benar-benar terjadi. Bagaimana seorang perwira dengan darah dingin menembaki bocah kecil dan bertekad akan berbuat serupa kendati si bocah baru berumur tiga tahun! Itulah Palestina--negeri dengan nestapa sepanjang masa. Dan, dunia yang tak adil amat mudah melupakannya.

Di sebuah pos, suatu ketika, Wissam Tayem lewat membawa biola. Seorang serdadu Israel menyuruhnya berhenti. ''Mainkan lagu sedih,'' katanya kepada pebiola dari Nablus itu. Rekaman video mempertontonkan sang Palestina melantunkan nada-nada sedih lewat dawai biolanya. Sementara, sang serdadu mendengarkannya seraya terbahak.


(Arys Hilman, kalyara@yahoo.com )
-------------------
Sumber : Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home