Senyum Pak Maksum
Kenal Pak Maksum? Tentu tidak. Ia hanya seorang biasa, dan bukan apa-apa. Dulu pekerjaannya menjual kue putu di sekitar daerah Klender - Jakarta. Kehadirannya ditandai dengan bunyi seruling uap di gerobaknya yang terdengar dari jarak beberapa puluh meter. Tapi, ia harus berhenti berjualan. Anak-anak sekarang lebih suka junk food dibanding kue putunya.
Pak Maksum lalu berjualan es buah segar. Minuman (atau makanan) seharga Rp 2.500 semangkuk itu terasa mewah bagi orang bawah. Sehat pula. Dagangannya laris manis. Namun, Jakarta kemudian diguyur hujan. Ia harus menghentikan usahanya lagi.
Kini istrinya yang ganti berjualan. Selama ini, istrinya tinggal di rumah mengurus anak. Kini istrinya berdagang penganan di pasar hingga sore. "Hasilnya alhamdulillah," kata Pak Maksum. Selain membantu istrinya menyiapkan dagangan, ia kini ganti mengasuh anak.
Sekali lagi, Pak Maksum hanya seorang biasa dan bukan apa-apa. Ia bukan sosok ternama, bukan orang kaya, dan jelas bukan eksekutif apalagi CEO sebuah perusahaan besar. Tubuhnya pendek gempal dengan kulit hitam mengkilat dan rambut keriting. Sosoknya itu mewakili potret orang bawah. Tapi, lihatlah senyumnya. Senyumnya itu sungguh luar biasa. Senyum itu yang selalu ia perlihatkan pada siapa pun, dalam keadaan apa pun, pada cuaca apa pun.
"Pak Maksum seperti tak punya rasa sedih," kata seorang tetangganya. Ia terus menjalani kehidupannya dengan riang. Ketika suatu situasi kurang menguntungkan dirinya, ia pun ringan berhijrah ke situasi lainnya. Baginya tidak ada kamus untuk mengeluh dan menganalisis untuk mencari siapa yang salah. Yang ada dalam benaknya adalah terus berusaha dan berusaha, lalu mensyukuri hasilnya.
"We must do our part, Allah will do his part," tulis Amien Rais pada setiap buku biografi yang dibagikannya. Pak Maksum tidak mengerti kata-kata itu. Tapi, ia menjalankan seluruh maknanya.
Ia sangat percaya pada Sang Khalik. Ia sama sekali tidak khawatir tidak mendapatkan rezeki. Ia tidak membanding-bandingkan nasib dengan yang lain. Ia tidak takut dipandang tidak hebat oleh orang lain. Ia tidak memendam perasaan iri. Yang ada padanya hanya rasa bersyukur bahwa Allah terus memberi kecukupan makan pada keluarganya, betapa pun sederhana di mata orang lain. Rasa syukur itu terpancar pada senyumnya yang selalu mengembang.
Kita dapat menengok senyum Pak Maksum buat memaknai hari-hari baru di tahun baru ini. Kita tentu tak sanggup menjalani proses hijrah sedramatis Rasulullah SAW. Kita tak siap berkejaran dengan maut lewat kilatan mata pedang maupun sangarnya gurun seperti 1425 tahun silam. Kita juga tidak akan tahan bila ditindih batu besar di tengah terik gurun seperti yang harus ditanggung Bilal yang bibirnya tak pernah kering mengucap "Ahad ... Ahad." Bila begitu, mengapa kita tak berhijrah untuk menjadi seperti Pak Maksum?
Pak Maksum tak akan dapat berkata apa-apa bila ditanya bagaimana berhijrah menjadi sepertinya. Ia cuma akan tersenyum. Senyum yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang sangat meyakini keberadaan-Nya. Ia telah mencapai tingkat keyakinan yang tidak lagi mengkhawatirkan kekayaan, kedudukan, popularitas, dan semacamnya. Sebuah pencapaian keyakinan yang hanya akan berbuah sukses bila diimbangi dengan upaya untuk terus menyempurnakan usaha. Ketika kita memang berhijrah ke arah sana, apa yang dapat menghalangi sukses buat menjemput kita?
Pak Maksum bukan siapa-siapa. Tapi senyumnya begitu bermakna di tahun baru Hijriyah ini.
(Zaim Uchrowi)
--------------------
Sumber : Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home