Wednesday, January 26, 2005

BerSekolah di Rumah

Jumat, 28 Mei 2004

Jarum jam tepat menunjuk angka 06.00 pagi. Bel berbunyi. Segera kedua anak Fatima Saleem terbangun dari tidur nyenyaknya. Mereka pun bergegas ke kamar mandi.

Setelah membersihkan diri, berpakaian dan shalat subuh, anak-anak itu langsung menuju ke dapur untuk menyapa ayah dan ibunya yang telah menunggu untuk sarapan pagi.

Waktu terus berjalan, hingga pukul 08.00. Tak ada kesibukan lain bagi seluruh keluarga itu, selain bercanda sambil menikmati roti bakar buatan Fatima. Ke sekolah? Tidak ada cerita. Sudah setahun lebih, 'terminologi' sekolah sudah dihapusbukukan oleh keluarga ini.

Saleem memutuskan untuk mendidik sendiri anak-anaknya. Istilah home schooling -- aktivitas belajar model ini juga banyak ditemukan di Inggris dan negara Eropa lainnya -- kini dipakai oleh keluarga ini.

Keluarga Saleem hanya bagian kecil dari sebuah fenomena baru yang tengah tumbuh di negara adidaya, Amerika Serikat. Dari waktu ke waktu, jumlah keluarga Muslim yang memutuskan untuk menyekolahkan anak-anak mereka di rumah masing-masing, kian meningkat.

Hal tersebut tidak terjadi tiba-tiba. Adalah peristiwa 11 September sebagai pemicu, terlebih apa yang kemudian timbul pascaserangan yang menghancurkan menara kembar WTC tadi.

Bukan rahasia lagi, setelah kejadian tersebut, tudingan langsung mengarah kepada jaringan teroris Islam. Tak ayal, sejak saat itu, kehidupan umat Muslim menjadi tidak aman dan penuh tekanan.

Anak-anak Muslim yang menimba ilmu di sekolah umum, tidak luput dari cibiran dan pelecehan. Inilah yang menyebabkan para orangtua Muslim khawatir terhadap keselamatan anak-anak mereka di sekolah. Pada akhirnya ini memaksa mereka untuk menyekolahkan anak-anak di rumah.

"Kini seolah tidak ada yang bisa menjamin apakah anak-anak kita dapat bersekolah tanpa diganggu," kata Fatima. Alasan lain yang juga mengemuka adalah menyangkut sistem pendidikan sekuler yang diterapkan serta minimnya pengajaran agama di sekolah-sekolah umum.

Di rumahnya yang asri di Columbia, South Carolina, setiap hari wanita berjilbab ini setia mengajari kedua anaknya dengan matematika dan ilmu sosial. Tak lupa tentunya, pelajaran bahasa Arab dan agama Islam. "Dengan belajar di rumah, kita juga lebih yakin bahwa ajaran agama bisa ditangkap secara lebih baik oleh anak-anak."

Keluarga Sulaiman, yang memeluk Islam setelah mereka berumah tangga, juga menyekolahkan ketiga anak-anaknya di rumah. Namun belakangan, seorang anaknya yang berusia 16 tahun, sudah kembali belajar di sekolah umum.

"Kami mencoba melakukan yang terbaik saat ini," ucap Sulaiman. Hanya satu anak bungsunya, Imran, masih bersekolah di rumah yang kadang diselingi aktivitas luar seperti ke taman dan kebun binatang.

Kendati terus berkembang, namun Scott Somerville dari Home School Legal Defense Association di Purcellville, Virginia, memperkirakan dari segi jumlah, kegiatan seperti dipraktekkan keluarga Saleem belumlah terlampau signifikan. "Itu baru sekedar fenomena, belum menjadi gerakan massif," papar dia.

Scott lantas menambahkan, setidaknya ada tiga kelompok yang sudah melakukan kegiatan sekolah di rumah. Yakni ibu-ibu keturunan Kaukasia yang bersuamikan Muslim, keluarga muallaf Afrika-Amerika, serta keluarga imigran Muslim.

"Mempraktekkan metode baru pengajaran semacam ini mengakibatkan kita tidak bisa memprediksikan hasilnya kelak," tukas Scott. Dan dalam hal ini, ia menambahkan, peran ibu sangat menentukan dalam membimbing dan membelajarkan putera-puterinya sehingga menjadi generasi berkualitas.

Fatima, yang sudah memeluk Islam ketika dewasa, mengatakan dirinya belum pernah berpikir menyekolahkan anak-anaknya di rumah sampai pada saat anak pertamanya mencapai usia sekolah empat tahun lalu.

Ketika harus memasukkan anaknya ke sekolah, Fatima mengaku tidak puas dengan pengajaran yang ditawarkan oleh sekolah umum maupun sekolah Muslim yang berada di dekat rumahnya."Sekolah agama itu menarik biaya pendidikan sangat tinggi dan juga mempekerjakan tenaga pengajar belum berpengalaman," keluhnya.

Setiap hari selama empat setengah jam, Fatima menjadi guru bagi dua anaknya. Materi pelajaran umum dan agama diberikan bergiliran. Sebagai tambahan pelajaran bahasa Inggris dan matemarika, anak-anaknya belajar mengenai nilai-nilai agama dan huruf Arab yang diperlukan untuk membaca kitab suci Alquran.

"Mengajari sendiri pendidikan agama kepada anak-anak membuat kita yakin perspektif Islam tidak terdistorsi," tandas Fatima.

Pun selama masa libur bulan Desember, dia mengajarkan anak-anaknya berpuasa Ramadhan. Demikian pula saat subjek tentang keluarga diberikan, Fatima menjelaskan peran ayah dan ibu menurut kaidah Islam.

Hingga saat ini, Fatima mengaku belum memikirkan apakah akan memasukkan anaknya ke sekolah umum ketika mencapai usia sekolah menengah atas. Dia berpendapat, ada perbedaan yang amat tajam di tingkat SMA bila menyangkut sistem pendidikan sekular dan keyakinan agama. Misalnya saja, pada kelas kesehatan, kerap diberikan pengetahuan tentang seks yang sehat (safe sex).

"Kebutuhan religius bagi sementara kalangan tidak akan diperoleh pada sistem sekolah umum," tukas Ibrahim Hooper, direktur media The Council on American Islamic Relations di Washington. "Para orangtua ingin menjauhkan anak-anaknya dari pengaruh negatif."

Banyak kendala dihadapi orangtua dalam kegiatan sekolah di rumah. Sebagian kalangan menganggap, anak-anak menjadi terisolasi dari pergaulan dan lingkungannya serta akan banyak waktu terbuang percuma.

Demikian halnya belum ada penerbitan buku pelajaran berkurikulum sekolah di rumah khususnya khalayak bagi khalayak keluarga Muslim. Sehingga, jalan satu-satunya adalah para orangtua mengembangkan sendiri metode pengajarannya, atau mengadaptasi metode pengajaran sekolah di rumah yang pernah dipraktekkan pemeluk nasrani sebelumnya.

Memang, bila ditilik ke belakang, praktek sekolah di rumah tersebut bukanlah barang baru, setidaknya bagi masyarakat AS. Pada dasawarsa tahun 70-an, kata Patricia Lines, mantan peneliti pada Departemen Pendidikan AS, penganut Kristen Evangelis sudah melakukannya lebih dahulu.

Guna mengatasi kendala tadi, beberapa keluarga Muslim telah mulai menjalin kontak satu sama lain melalui fasilitas jaringan internet. Tujuannya hanya satu, yakni bagaimana membangun dan mengembangkan kurikulum yang tepat bagi kegiatan sekolah di rumah.

Seperti misalnya keluarga Sulaiman dan Saleem yang membuka website khusus dimana mereka nantinya dapat mempelajari berbagai masukan dari keluarga lain.

Website milik keluarga Saleem adalah Palmetto Muslim Homeschool Resource Network (http://www.geocities.com/pmhrn_2000/PMHRN.html). Sedangkan milik keluarga Sulaiman yakni Muslim Home School Network and Resource (http://www.muslimhomeschool.com) yang juga menyediakan buku bagi pelajar Muslim berjudul Proud to be a Muslim (Bangga Menjadi Seorang Muslim). Ibu Sulaiman mengatakan jumlah pengirim tanggapan ke website-nya makin bertambah setiap harinya.


( yus)
--------------
Sumber : Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home