Monday, January 24, 2005

Sebenar-benar Haji

Publikasi: 20/01/2005 10:58 WIB

eramuslim - Satu-satunya yang menyandang gelar haji di kampung saya adalah, Haji Tami. Selain beliau, sampai sekarang belum ada lagi. Kecuali para haji yang berangkat ke tanah suci berawal dari mereka menjadi TKI di sana. Dan walaupun katanya sudah haji, mereka-mereka ini tidak pernah disebut haji atau hajjah oleh masyarakat di kampung saya. Entah mengapa.

Ketika saya berumur belasan tahun, jika ada orang lewat di depan rumah saya, dan memakai topi putih, pasti ia adalah Haji Tami. Tak salah jika ada orang yang pagi-pagi sudah mengelilingi sawah di depan rumah saya dan memakai topi putih, sudah pasti, itu adalah Haji Tami. Di kampung saya dulu, ketika saya masih kecil, tak ada orang berani memakai topi haji. Kata kakek, topi putih itu hanya dikenakan oleh mereka yang sudah pergi ke Makkah. Jadi jika ada orang belum ke Mekkah tapi sudah memakai topi haji, itu namanya meremehkan atribut haji. Sebab yang layak pakai, hanyalah orang yang sudah haji itu. Lain dengan sekarang, anak kecil sampai orang tua yang mau pergi ke kalangan orang judi pun enak-enak saja memakai pakaian mulia itu. Zaman memang telah berubah!

Kehadiran seorang haji di kampung saya, khususnya Haji Tami, memang membawa kesejukan bagi warga kampung. Dulu, ketika saya kecil, jika sakit gatal atau demam, entah kenapa ayah saya cepat-cepat membawa saya ke rumahnya. Kemudian saya diminta meminum air putih yang sebelumnya diberi doa. Dengan izin Allah, Alhamdulillah saya sembuh. Ketika sawah bapak saya diserang tikus, solusi terakhirnya juga minta nasihat beliau. Pokoknya, segala kebutuhan atau masalah kampung yang mengalami kebuntuan, warga selalu mengadukannya pada Haji Tami. Dari penyakit kudis sampai sampai penyakit jantung. Dari putus cinta sampai orang minta keturunan. Dari pelajar yang ingin lulus sampai permintaan visa TKI ke luar negeri agar cepat turun.

Ketika lebaran datang, kami-kami kecil sangat gembira. Selepas melaksanakan shalat Idul Fitri, kami anak-anak kampung, segera berduyun-duyun ke rumah Haji Tami. Bagi anak kecil seperti saya, bukan silaturahminya yang penting, tapi hidangan dari beliaulah yang selalu kami buru. Maklum, beliau termasuk orang paling kaya di kampung saya. Tanah pertanian dan sawahnya luas. Sehingga hidangan lebarannya setiap tahun pasti lebih spesial dibanding dengan yang lain. Ia memang senang sekali berbagi.

Sungguh, Haji Tami yang ke tanah suci tahun 70-an itu, sampai sekarang masih sangat berfungsi dan tempat bergantung, minimal bagi penduduk di sekitarnya. Sampai sekarangpun jika ada pembangunan masjid atau madrasah, dan kekurangan biaya, tidak ada lain, maka Haji Tami selalu menjadi pamungkasnya. Konon, sampai sekarang, satu-satunya orang yang paling banyak tabungannya di Bank BRI kecamatan kami adalah beliau ini. Mungkin berkah Allah untuk rezekinya yang selalu ia keluarkan.

Kehadiran beliau selalu menyejukkan kami warga kampung. Melihat wajahnya saja rasanya ikut merasa damai. Apalagi bisa duduk bersanding berjam-jam dengan beliau, rasanya hati kami jadi tambah tenang. Kata-katanya mampu menentramkan jiwa. Mungkin sebuah pancaran dari kualitas hajinya. Mudah-mudahan demikian.

Dan sekarang ini, ketika saya bekerja di Brunei Darussalam, sebuah negara yang warganya begitu mudah melaksanakan rukun Islam yang ke lima itu, saya sangat merindukan kehadiran seorang haji seperti Haji Tami. Yang jika saya pandang raut mukanya bisa menyejukkan, dan jika saya dekati bisa menjelma curah hujan di musim kemarau.

Namun sayang, harapan saya ini belum juga terkabul. Termasuk seorang haji yang sehari-harinya bertemu saya. Duduk bersama saya. Yang rumahnya setiap hari saya bersihkan. Yang setiap bulan menggaji saya. Belum juga mampu memberikan siraman selembut embun kepada kami para pekerjanya. Bahkan kata teman saya, jika berdekatan dengan haji yang satu ini justru hatinya seolah kian panas.

Ya, saya memang sedang rindu kepada profil haji yang banyak bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Bukan hanya shalih sendiri. Haji yang ketika di tanah suci benar-benar mensucikan dirinya dari segala nafsu busuk keduniaan. Sehingga ketika sudah di tanah air, terpancarlah sinar kesucian, sinar ke-mabrur-an. Hingga tak ayal lagi, ia adalah sebenar-benar haji dan memiliki nilai lebih dalam kehidupannya, dalam kehidupan masyarakat sekitarnya. Hajinya bukan hanya embel-embel gelar yang menjadi gengsi di mata manusia, tapi haji yang mencerminkan keimanan penuh sebagai seorang muslim.

***

Sus Woyo
<woyo72 at yahoo dot com
------------
Sumber : Eramuslim.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home