Kami Harus Kembali
Publikasi: 25/04/2004 14:12 WIB
eramuslim - Ada semburat haru ketika kami menginjakan kaki di Schiphol Airport, selatan Amsterdam. Untuk kesekian kalinya, siang itu, kami melepas keberangkatan seorang bapak yang akan kembali ke tanah air. Aroma perpisahan begitu menyengat, saat kami memasuki terminal departures. Lambaian tangan dan pelukan perpisahan menghiasi ruang dan hall di bandara.
Setelah beberapa waktu bergaul dengan bapak pendidik itu, akhirnya perpisahan menemui takdirnya. Beliau adalah teman diskusi yang setia. Hampir semua sisi kehidupan pernah kami bincangkan. Mulai dari urusan dapur pejabat yang dipolitisir, hingga 'obrolan masa depan' tentang keluarga sakinah, pernah kami bahas tuntas. Selain narasumber yang baik, beliau adalah ayah sekaligus sahabat bagi kami. Belum usai rasanya, kami meneguk gelas-gelas kebijaksanaan yang beliau hidangkan. Masih segar dalam ingatan, taujih yang membahana itu. Semoga jenak-jenak bersamanya menjadi nasehat kehidupan yang berguna sepanjang waktu.
Sejatinya, perpisahan identik dengan kesedihan. Walaupun, biasanya, manusia lebih nyaman untuk mengkambinghitamkan pertemuan. Ketimbang menyalahkan perpisahan. Seperti kata pepatah, “Bukan perpisahan yang kutangisi tapi pertemuan kusesali”. Terbersit juga pertanyaan; mengapa setiap kita berjumpa dengan hamba-hambanya yang terbaik, perpisahan selalu membayangi. Mengapa kita berkesempatan mengenal pribadi cemerlang itu, hanya dalam kisaran hari.
Masih membekas, wajah shaleh yang pernah meramaikan apartemen kami itu. Ingatan saya kembali mengadirkan wajah dosen yang baru saja kembali ke tanah air dan akan mengajar di universitas negeri kebanggaannya. Tekenang ke-ikhlasan dan kesabaran beliau membangunkan seirisi rumah menjelang sholat fajar. Teringat rutinitasnya mengisi rumah kami dengan bacaan suci Al Qur'an di pagi hari.
Bagi anda yang mencari Pahlawan Indonesia. Saya merasa telah menemukannya. Sosok patriotik, saya dapati pada kepribadiannya. Beliau adalah staf pengajar/pegawai pemerintah yang rela berjauhan dengan keluarga, demi cita mencerdaskan bangsa. Walau harus berpisah dengan anak dan istri tercinta. Meski harus berjuang melawan rasa rindu, yang kadang bisa membunuh.
Suatu saat, bapak tersebut menunjukkan sebuah foto yang baru diterimanya. Matanya berkaca-kaca.
“Ini anak saya, sewaktu saya berangkat untuk tugas belajar, dia masih dalam kandungan. Kini ibunya mengabarkan ia sudah belajar merangkak...”
Ia hampir tak mengenali foto darah dagingnya itu.
Perpisahan memang menyesakkan. Bergemuruh dada kami ketika mendengar khayalan sang bapak tentang Indonesia. Tentang 'pekerjaan besar' yang menantinya.
“Banyak yang harus dilakukan bila saya kembali ke Indonesia. Saya ingin menjadi ayah yang baik. Bapak yang melihat ketika gigi anaknya tumbuh. Ayah yang mengantar putranya ke sekolah...” ujar bapak itu menerawang.
Selama melanjutkan studi ke jenjang Strata-3 di Belanda, ia hanya mampu mengamati keluarganya lewat telepon dan surat. Beliau hanya dapat berdoa untuk melindungi anak-anaknya dari pergaulan yang salah. Berdoa agar tiba waktu menikmati kebersamaan dengan keluarganya.
*****
Cepat atau lambat. Kamipun akan pulang ke tanah air. Kami harus kembali untuk merawat taman cinta yang kini mungkin sudah ber-ilalang. Kembali merajut bingkai persahabatan yang mungkin telah berdebu dan berpasir.
<omurazza at yahoo dot com>
--------------------
Sumber : Eramuslim.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home