Nol Meter dari Masjid
Rabu, 19 Januari 2005
Ansufri Idus Tambo, relawan dari Bogor, memperlihatkan rekaman masjid-masjid yang dilanda gempa dan gelombang tsunami. Semua masjid dalam rekaman kameranya, berdiri utuh, meski sekelilingnya rata dengan tanah. Masjid Ulele -- hanya berjarak 15 meter dari laut, bangunan terdepan berhadapan dengan tsunami -- tidak mengalami kerusakan.
''Mungkin Allah ingin memberitahukan, kehilangan nyawa dan harta, jangan menjadikan manusia kehilangan iman,'' kata Tambo, pengajar di Pondok Pesantren Ulil Albab Bogor itu. Kalimat yang indah dan kesadaran kuat.
Tambo benar. Keluarga hilang, rumah-rumah telah hancur, sajadah dan mukena bersatu dengan lumpur, namun iman tak boleh hilang. Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, tidak saja menjadi tempat banyak orang berlindung ketika tsunami bergulung-gulung, tapi juga adalah simbol kekuatan. Kekuatan itu berasal dari iman.
Ketika penjajah Belanda panik menghadapi perlawanan para pejuang yang tak pernah menyerah, maka mereka membakar Masjid Baiturrahman pada bulan Shafar 1290 H (April 1873 M). Belanda berharap, perlawanan umat Islam dapat dipatahkan, seperti atap masjid yang roboh.
Tidak. Mereka keliru. Lidah api yang menjilat-jilat masjid justru membakar semangat jihad umat Islam, menjalar ke desa-desa, ke hutan-hutan, ke rumah-rumah penduduk. Belanda dapat membakar tiang-tiang masjid, sajadah, kopiah, dan mukena, namun iman para pejuang tak pernah hangus. Kini pun akan seperti itu.
Lima tahun kemudian, Belanda menyerah. Saat gelombang tsunami merubuhkan rumah-rumah dan gedung-gedung, Masjid Raya Baiturrahman -- yang didirikan Sultan Alaidin Mahmud Syah I yang memerintah tahun 1234-1267 -- dan sejumlah masjid lain adalah kekuatan yang terkirakan. Ia berdiri tidak sekadar karena bangunannya kokoh, melainkan juga sebagai pesan untuk masa datang: mulailah dari masjid.
Ketika di Madinah, Rasulullah tidak langsung mendirikan rumah atau benteng untuk menahan serangan musuh, melainkan mandirikan masjid. Di sebidang tanah yang dibeli dari anak yatim, Sahal dan Suhail, Rasulullah bersama sahabatnya Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali -- yang kemudian menjadi khalifah -- bahu membahu membangun masjid. Dari sini perjuangan dan kebajikan ditebarkan ke seluruh penjuru dunia.
Masjid menjadi titik awal, titik nol, untuk kemudian bergerak membentuk lingkaran puluhan, ribuan, jutaan kilometer menyebarkan kebajikan, keindahan, perlindungan, keteduhan, amar makruf nahi mungkar.
Di Nanggroe Aceh Darussalam, masjid-masjid tidak hancur. Ia memberikan pesan: bangunlah Aceh, makmurkan Aceh -- negeri para syuhada -- dari masjid.
Kultur, pendidikan, perjuangan para syuhada Aceh yang tak pernah menyerah, bermula dan berpusat dari masjid. Masa depan Aceh, anak-anak Aceh, moral Aceh, harus pula dari sini -- seperti Rasulullah membangun kota indah Madinah dan menyebarkan Islam ke penjuru dunia, rahmat sekalian alam.
Masjid Baiturrahman di pusat kota Banda Aceh, ketika arus bertemu, meliuk-liuk, berdiri kokoh. Orang-orang berlindung di sini. Di masjid ini, orang-orang bersujud, menyerah kepada Allah. Mereka -- berbeda aliran politik, suku, ras, warna kulit -- berdiri bersama, bershaf-shaf. Imamnya sama, sujud bersama, merendahkan diri serendah-rendahnya. Dari sini, dari masjid, Aceh harus dibangun.
-----------------
SUmber : Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home