Tetanggaku
Aku punya tetangga, selalu jadi gunjingan belaka tingkahnya. Jika ia naik motor kencanglah larinya, tak peduli di jalanan tengah begitu ramai, oleh anak-anak pula. Ia tidak cuma dikutuk karena kebiasaan kencangnya tapi juga karena bentuk wajahnya.
Wajah yang kumaksud bukan karena kualitas kegantengan atau kejelekannya, tapi lebih karena ekspresi wajahnya yang beku, jarang mau bertegur sapa dan mahal senyum pula. Muka tripleks adalah julukannya.
Daftar dosanya makin memanjang saja jika ia sudah mereparasi motor atau mobilnya. Suara pedal gasnya adalah teror bagi kuping tetangga. Lebih menakutkan lagi jika ia sudah kedapatan membunyikan tape recorder-nya. Suaranya bisa bergema sejauh tiga desa. Tingkah ini benar-benar amat keterlaluan karena menganggap tape recorder adalah sebuah kemewahan yang layak dipamerkan, bukan cuma telah kuno tapi juga menyedihkan.
Oya, tetanggaku ini juga punya kucing yang suka mengumbar kegemparan. Karena kucing itu berjenis betina maka kerjanya melulu mengundang kucing-kucing jantan bertandang saja. Kucing betina ini malangnya bukan jenis hewan setia. Di malam larut, ketika para tetangga telah lelap tidur ia bisa mengundang dua tiga pejantan sekaligus. Maka mendengar tiga pejantan bertengkar merebut satu cinta betina adalah horor yang sanggup membuat orang sekampung terjaga.
Maka mendengar tetangga bangun malam sambil mengutuk kiri-kanan, mengambil kayu, batu, sandal dan apa saja untuk melampiaskan kemarahan pada si kucing adalah pemandangan malam yang biasa. Padahal si kucing ini seperti punya jadwal. Hari ini gaduh di genting sini, besok berganti di genting sana. Hampir genting siapa saja pernah menjadi ajang kegemparan kucing celaka ini.
Bukan cuma sekali tetanggaku yang lain lagi menyumpah begitu kerasnya, murka begitu jelasnya hanya biar didengar si empunya. Tapi sudah menjadi adat tetanggaku itu, jika naik motor begitu kencangnya, jika tidur begitu pulasnya. Jadi semua kegaduhan tetangga yang murka atas perilakunya itu sama sekali tak pernah menganggu ketentraman hidupnya.
Selebihnya, di pagi hari ia telah memanasi kendaraannya seperti biasa, dengan menarik gasnya kuat-kuat, tak peduli kanan kiri, dan yang lebih menjengkelkan, di saat tetangga lain sedang hidup pas-pasan, ia malah seperti begitu gampangnya berganti-ganti kendaraan. Jadi serba tidak jelas, kami ini marah karena wataknya atau karena iri atas kesuksesan hidupnya. Atau orang ini memang memiliki keburukan yang sempurna: sudah kikir sukses pula.
Daftar kutukan pada tetanggga ini mestinya masih bisa diteruskan kalau suatu hari tidak kami dengar tetanggaku yang lain lagi tiba-tiba mati. Meskipun kematian ini membuat kami berduka, tapi dalam hati kecil kami mengeluh juga. Mati ya mati tapi kenapa harus mengambil hari Minggu pagi. Bukankah ini hari yang begitu pentingnya karena anak-anak telah siap mengajak berenang dan istri juga telah merencanakan minta diantar berbelanja. Tapi demi sopan santun dan duka cita, kami pun mendahulukan berduka meskipun sambil mendongkol.
Celakanya tetangga ini begitu dekatnya sehingga tidak mungkin berduka tanpa bekerja. Sementara keluarga musibah sibuk dihibur dan berduka, kami sibuk mendirikan tenda, menata kursi, bantingan dana sana-sini untuk membeli perlengkapan sekadarnya. Untuk tetangga yang sedang berduka apalah arti semua jerih payah ini. Kami sungguh ikhlas sepenuhnya. Tapi itupun belum cukup, karena keperluan si mati tidak cuma tenda, meja dan kursi, tapi bahkan orang mati pun butuh mandi.
Kami semua saling pandang dan tegang. Berduka ya berduka, membantu ya membantu, tetangga ya tetangga, tapi bahwa mayatnya harus kami yang memandikan, tentu sebuah kengerian. Terhadap kematian diri sendiri pun kami sudah ketakutan begini, apalagi ini kematian tetangga, betapapun dekatnya dia pada kami. Maka kami hanya bisa saling melempar tanggung jawab diam-diam.
Suasana nyaris buntu dan tidak bermutu kalau tidak tiba-tiba datang tetanggaku yang menyebalkan tadi. Melihat kelebatnya, kami yang sedang kebingungan ini kembali bersiap menyemburkan kutukan baru kepadanya. Jatuhnya, orang ini pasti akan menambah kemarahan kami belaka. Walau belum sempat kami marah, si muka tripleks ini, masih dengan muka tripleksnya, langsung membuka tirai jenazah, meminta izin pada keluarga dan langsung beraksi tanpa basa-basi.
Ia bekeraja nyaris tanpa kata-kata, tanpa peduli pada kami. Meminta bantuan tidak, tapi sinis pada kami yang tidak membantunya juga tidak. Sikapnya memandikan mayat itu sama persis dengan caranya naik motor, tanpa tengok kanan-kiri. Ia tidak sedang pamer dan tidak tampak pula butuh dipuji. Sambil kembali saling pandang, ada kesepakatan diam-diam di antara kami, bahwa mulai saat itu, kutukan terhadap tetangga ini harus dihentikan.
Kami yang selama ini merasa sebagai orang-orang mulia ini, segera menggugurkan kelas kami, demi melihat orang yang biasa kami kutuk itu begitu entengnya mengerjakan soal yang kami tak kuat menanggungnya. Jangan-jangan jika kami kelak mati, dia pula satu-satunya orang yang mau memandikan jenazah kami.
Prie GS
-----------------
Sumber : SuaraMerdeka.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home