Monday, January 24, 2005

Simpati Kita pada Aridi

Aridi bukan siapa-siapa. Dia hanyalah warga masyarakat biasa yang tinggal di sebuah kampung di Cirebon, Jawa Barat. Kamis dini hari (20/1), pria berusia 45 tahun ini meninggal dunia. Allah SWT telah memanggilnya lebih dulu dari kita. Innalillahi wa innailaihi raji'un.

Tentu tak banyak yang meratapi meninggalnya Aridi. Mungkin hanya kerabat dekat, tetangga, serta rekan-rekan sejawat almarhum di Front Pembela Islam (FPI). Bukan pula kita ingin menangisi kepergiannnya yang memang sudah kehendak Allah. Namun, doa serta simpati patut kita berikan kepada almarhum serta sanak saudara yang ditinggalkannya. Ini tak lain karena, mungkin, dialah relawan pertama untuk bencana di Aceh yang meninggal dunia.

Seperti relawan lainnya, Aridi masuk ke Aceh bersama rekan-rekannya di FPI begitu bencana tsunami meluluhlantakkan sebagian besar daerah di provinsi tersebut. Sebelum turun ke daerah-daerah bencana, dia harus melewati lima hari lima malam dalam perjalanan dengan kapal laut ke Lhokseumawe. Kemudian menumpang truk terbuka menunuju Banda Aceh. Selama 12 jam perjalanan, hujan lebat mengguyur seluruh tubuhnya. Hanya mampu bertahan seminggu di Banda Aceh, Aridi yang jatuh sakit akhirnya dipulangkan ke kampung halamannya. Di situlah dia menutup mata untuk selama-lamanya.

Aridi telah meninggalkan pelajaran serta rasa persaudaraan yang layak kita tiru. Dimensi kemanusiaannya untuk membantu sesama manusia --tanpa pandang agama, ras, dan suku-- bisa mejadi panutan bagi kita semua. Apalagi di tengah kehidupan yang serba materialistis dan individualistis, Aridi serta ribuan lagi relawan di Aceh dan Nias mau mengorbankan waktunya semata-mata untuk sebuah panggilan kemanusiaan.

Jujur saja tak banyak kita yang memiliki keberanian seperti Aridi serta ribuan relawan lainnya yang sudah berada di Aceh dan Nias sejak hari pertama bencana datang. Di sini memang diperlukan keberanian mental untuk mengalahkan perasaan takut dan waswas terhadap ajal. Terlebih lagi medan yang dihadapi cukup berat, ketika mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana dan menebar bau busuk yang tak terkira. Dalam kondisi yang tidak normal itu sudah barang tentu penyakit pun mengancam. Tapi itu semua dapat dikalahkannya semata karena niat tulus untuk membantu sesama manusia yang tengah lemah dan berduka.

Niat tulus disertai keikhlasan kepada Allah SWT merupakan modal utama. Tanpa niat tulus dan keikhlasan tentunya keberangkatan hanya sia-sia saja. Dengan modal dua modal itulah Aridi rela melewati hari-harinya dalam kesusahan sebelum sampai ke lokasi bencana. Hal ini sebenarnya sudah dapat dibayangkan sebelum memutuskan untuk menjadi relawan. Namun, sekali lagi dengan niat tulus serta ikhlas, rintangan-rintangan tersebut sudah siap untuk dihadapi.

Keikhlasan juga datang dari para keluarga relawan. Dengan medan berat yang sudah dapat dibayangkan, keluarga-keluarga relawan seperti halnya keluarga Aridi, tentunya diperlukan keikhlasan pula untuk melepas salah satu anggota keluarganya menuju Aceh atau Nias. Di sinilah kita juga menyampaikan rasa simpati kepada keluarga-keluarga relawan yang mau mengalahkan rasa egonya untuk sebuah misi kemanusiaan. Aridi sudah pergi selamanya. Tapi dimensi kemanusiaan yang ditinggalkannya kepada kita akan terus membekas. Semoga almarhum mendapat tempat yang layak sisi Allah SWT.
--------------
Sumber : Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home