Monday, January 24, 2005

Kata Hati, dan Mata Hati

DARI kamar terbaik Lantai 17 Gedung Departemen Kelautan, kamar Menteri, saya menyaksikan cahaya siang mulai melembut, dan lebih ramah, dan perbawa itu mempengaruhi suasana kejiwaan saya secara mendalam-seperti membius-seolah saya ada di tempat yang jauh, dan asing, tapi heran mengapa nyaman dan betah. Gedung itu cuma terletak di depan Stasiun Gambir yang kereta-keretanya melengking tiap detik.

Goresan warna perak, biru cemerlang, dan hitam, yang didominasi semburat merah kekuning-kuningan di lengkung langit-tempat sebentar lagi secara rutin matahari tenggelam-merupakan hadiah alam: lukisan tangan Tuhan sendiri untuk hiasan kamar kerja Pak Numberi. Menteri ini masih kukuh tubuhnya, tenang gerak-geriknya, dan lembut seperti rohaniwan tutur katanya.

Sejenak saya menyampaikan perlunya kita beraliansi untuk lebih nyaring memperdengarkan suara bangsa ke dunia luar, maupun ke dalam negeri, dengan menyajikan karya nyata di bidang kelautan, lewat berita tulis, maupun bahasa simbol foto-foto. LKBN Antara punya merek istimewa, dan beken-ini pengaruh Oscar Motuloh-dalam urusan foto jurnalistik macam itu.

Banyak yang bisa dikerjakan bersama. Dan banyak yang harus dijelaskan kepada publik. Kita butuh komunikasi agar dunia tahu bahwa Menteri bekerja keras. Juga bahwa Indonesia bukan negeri para bandit, dan teroris seperti tuduhan sontoloyo selama ini.

"Kita pun butuh moral. Tak ada pembangunan tanpa moral," kata sang Menteri. Sikapnya tampak meyakinkan.

Saya tatap wajahnya: teduh, dalam, tak terduga. Saya percaya ia bicara dengan kata hatinya, dan mewujudkan kebijakan publik dengan landasan moralitas pemimpin yang tulus untuk memenuhi idealisme dalam hidupnya. Ini rupanya yang bertahun-tahun saya cari.

Banyak orang yang bicara bahwa kita tenggelam dalam krisis karena kita mengabaikan peran kebudayaan dalam hidup. Tandanya, kita membiarkan hidup menjadi begitu compang-camping secara moral. Kita membiarkan cara hidup, sikap, dan tingkah laku kita-juga dalam birokrasi pemerintahan-kering dari moralitas, dari idealisme, dan dari pemikiran dan gagasan yang agak besar, yang menandakan kita punya gairah dan cita-cita jelas di masa depan.

Kita tenggelam seperti kura-kura menyembunyikan kepala di cangkang tubuhnya yang lebar dan keras. Tapi kita tampaknya tak merasa malu, atau risau.

Di semua kelompok-bahkan juga di dalam kelompok di mana kaum rohaniwan berhimpun-pertarungan hidup kita didasarkan pada kalkulasi kalah-menang, berorientasi pada golongan, atau pribadi tokoh-tokoh, dan bukan pada nilai yang relatif lebih kekal, dan universal. Hidup sering sekadar untuk meraih kepentingan kecil, dan sepele.

Dan kita seolah tak punya jawaban atas problem kita sendiri. Orientasi hidup seperti itu kita biarkan lama mendominasi kesadaran kita. Kapan dominasi itu digeser, dan kita ganti memahkotai cara pandang yang lebih sehat?

Jawabnya, saya kira, sekarang ini. Kini giliran kita berkiblat bukan pada apa yang temporal, terbatas, dan sempit, melainkan pada yang lebih universal, dan kekal, yaitu pada nilai-nilai (keadilan, kebenaran, kemanusiaan, demokrasi) untuk mengukur sendiri, kita ini jenis manusia macam apa, kaliber pemimpin kelas apa, dan orang beriman yang bagaimana.

Selebihnya, juga dipertanyakan kepedulian kita sebagai warga negara: apakah kita disebut committed citizens atau bukan, di saat kita berhadapan dengan tugas besar, memberantas korupsi, yang mungkin sangat menentukan nasib kita di masa depan. Kita tak boleh gagal.

Presiden SBY sudah melangkah, dan seperti sumpah para pelaut, sekali layar terkembang, pantang kita surut, dan merapat kembali ke pantai. Apa sumbangan kita agar kita bisa berkata bahwa kita warga negara yang peduli, kita orang beriman yang saleh secara sosial, kita pemimpin yang inspiratif, dan jujur, dan tulus dalam setiap langkah kita?

Mungkin, pertama-tama korupsi lebih baik kita pandang sebagai masalah lokal di kantor kita. Gerakannya bersifat lokal, dan di tiap kantor dengan sendirinya para bos tak mengidap gejala patologi sosial itu. Tiap kantor akan terhindar dari korupsi bila sang bos diakui sebagai kiblat moral dan teladan laku bawahannya.

Dan bos tidak korup bila ia dipilih secara hati-hati dari kalangan orang-orang yang punya gairah membuktikan bahwa ia layak ditiru. Ia boleh orang yang relatif telah teruji, tapi boleh orang baru yang belum berpengalaman. Tapi, sepak terjangnya sendiri, dari hari ke hari, harus menunjukkan ia hidup dengan panduan moralitas yang jelas. Dan punya kata hati dan mata hati yang melek, dan cemerlang.

Kata hati, dan mata hati, kita tahu, tempat cahaya Tuhan bersemayam, dan tak mungkin menipu kita. Cahaya Tuhan, tentu saja sangat cemerlang, dan kemilau. Bos juga harus sensitif, dan bisa melihat dengan mata hatinya, hal-hal yang absurd, remang-remang, bahkan yang agak gelap, dan meragukan, dengan jelas. Boleh kita menyebut itu berkat intuisi, atau guts feeling.

Sensitivitas ini dapat dilatih, dan memang tumbuh berkat latihan. Selebihnya, pengalaman akan menuntun kita ke sana.

Pemimpin memang diminta melatih diri untuk mencurigai ketulusannya sendiri, dan menguji seberapa jauh ia melatih dirinya bersikap zuhud, asketik, atau membatasi kerakusan pribadi.

Hal ini mungkin tak terlalu sukar karena bukankah kita terlatih berpuasa? Lebih khusus saya kira tiap kebudayaan punya ajaran "berpuasa" untuk tak memiliki, mengambil, atau menggelapkan apa yang bukan milik kita.

Aturan tegak, wibawa diakui, jika bos bersih dari cela ini dan itu. Ia memperoleh trust, dan legitimasi untuk menindak siapa pun tanpa pandang bulu. Ada kalanya datang kegelisahan, mengapa kita menghukum, dan menyulitkan orang. Tapi itu tak penting. Serahkan semua pada kata hati dan mata hati, bukan pada kecerdasan dan kepandaian. Cerdas, pandai, itu penting. Tapi buat apa cerdas dan pandai, bila kita tak punya kecemerlangan kata hati dan mata hati? *

Mohamad Sobary
--------------------
Sumber : Kompas.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home