Wednesday, January 26, 2005

Ia , yang Ingin Disapa Murist

Publikasi: 25/01/2005 07:41 WIB

eramuslim - "Panggil aku Murist". Katanya mengenalkan. Ia berasal dari Bosnia keturunan muslim Serbia, dari keluarga kaya insinyur minyak. Ia terlihat parlente. Pakaiannya pun bermerek internasional, Calvin Klain. Belum lagi aksesoris lainnya: tas, sepatu, jam tangan swatch. Sangat berkesan anak orang kaya, dan lelaki dari Eropa Timur ini selalu tampil rapi di mana saja. Walau begitu, ada banyak kebaikan yang dapat saya tangkap dari perilakunya. Nama lengkapnya Morris Jugovic. Entah mengapa ia senang dipanggil Murist yang dalam bahasa Arab berarti "yang diwarisi". Lebih banyak diam, tetapi sangat jelas dan tenang ketika harus bicara. Gaya bicaranya retorik sarat berisi ilmu juga wawasan. Dosen-dosen universitas pun banyak yang mengenalnya, bukan karena penampilannya. Tapi kecerdasan yang dimilikinya.

Kemarin saya bertemu lagi dengannya saat kuliah, sebelum pelajaran tafsir. Ia langsung mempersilahkan saya untuk datang ke rumahnya hari libur Idul Adha nanti. Saya hanya tersenyum sambil mengiyakan. Sudah beberapa bulan, saya memang belum pernah bertandang ke rumahnya di kawasan Muqattam. Tapi kali ini, ia membuat saya tertegun dalam tanya, apa yang membuat penampilannya berubah? Kini ia tampil sederhana, lebih dewasa. Bahkan terlihat islami, dengan jenggot pirangnya yang dipotong rapi. Apa yang menyentuh titik inagurasinya hingga ia berubah?

"Ya, manusia harus berubah. Itulah gunanya pendidikan" jawabnya santai mengomentari keheranan saya. Rupanya ia mampu menangkap apa yang saya katakan di dalam hati.

"Agama kita mengajarkan berpakaian sederhana. Betulkan?"

Saya menganggukkan kepala. Dalam hati saya bersyukur, Allah memang selalu membuka jalan untuk orang-orang yang ingin berubah. Dan lelaki pengagum Ali Izzat Begovic itu telah meraihnya.

***

Tepat tahun baru kemarin, ia mendapat kiriman dari Momi-nya di Bosnia. Lewat seorang temannya yang baru kembali dari sana. Dalam dus berwarna coklat muda itu ada satu buah unit handphone terbaru lengkap dengan kameranya, pakaian-pakaian baru yang bermerek terkenal, serta dilengkapi dengan beberapa lembar uang ratusan Euro. Tidak seperti kebanyakan kita yang akan gembira jika mendapatkan hadiah atau kiriman dari orang tua, ia terlihat murung dan sedih. Ada awan mendung pekat dari roman wajahnya. Ditutupnya kembali bungkusan itu, ia duduk di pojok kamar memandang ke luar jendela.

Ia berpikir keras. Ada perang batin dalam jiwanya, antara keinginan untuk menikmati dan pikiran-pikiran lain yang selama ini membuat hatinya merepih. Ada keinginan untuk berpenampilan mewah lagi layaknya pemuda seusianya, tapi bayangan kepapaan dan kehidupan buram masyarakat dunia ketiga menyesakkannya. Tak lama ia bangkit dari duduknya, lalu bergegas ke kamarnya berganti pakaian dan segera memisahkan beberapa barang kiriman itu ke dalam tas ranselnya. Tekadnya membesi untuk tidak kembali ke dalam dunia lux yang baru saja ditinggalkan. Ia tersadar apapun keadaannya harus ia kembalikan kepada Allah. Dalam hati ia berniat untuk menjual dan menyumbangkan uangnya kepada orang-orang yang lebih berhak. Rupanya itulah rahasia pemasangan bendera Palestina dan foto-foto masyarakat miskin di kamarnya, dan yang baru; foto-foto bencana Tsunami Asia Tenggara. Ia tidak tertarik untuk memasang simbol-simbol kenegaraannya. Di bawah bendera itu tertulis jelas, "Jangan Lupa Palestina!"

Ia tidak menghiraukan lagi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dengan dijual sebagian barang-barangnya itu. Ia tidak takut akan celoteh Momi-nya, yang selalu ingin melihat anaknya tampil necis. Atau biaya diktat kuliah yang membengkak, dan peraturan baru Universitas Al Azhar yang mewajibkan semua siswanya untuk membayar. Kesemua itu telah dilampaui oleh niat mulia dan cintanya kepada sesama Muslim.

Morris menjual sebagian barangnya itu karena ia merasa kurang membutuhkannya. "Ada orang yang lebih berhak," gumamnya pelan. HP keren kiriman Momi-nya itu ia jual juga, ia lebih senang dengan HP lamanya. Sederhana, itu kesan yang kesekian kali saya tangkap darinya. Ia lebih suka harta miliknya itu dinikmati oleh saudara muslim di belahan dunia lain. Tak ada kesan nasionalis berlebihan dalam benaknya. Baginya, kewarganegaraannya adalah aqidah, negerinya adalah negeri keselamatan, hakimnya adalah Allah SWT, dan undang-undangnya adalah Al-Qur 'an (Ar-Raqaiq hal. 146). Dengan begitu ia telah mengalahkan ego pribadinya, dan menjadi seorang muslim yang merdeka.

***

Adalah suatu yang fitrah ketika kita mencintai kesenangan dunia. Tidak lepas juga seorang Morris. Tapi itu harus dalam batas tertentu, dalam batas yang kita butuhkan dan tanpa ketergantungan yang berlebih. Jika ia melampaui apa yang kita butuhkan, maka ia berubah menjadi sifat tamak. Itulah hikmah dari perintah jihad dalam Al Qur'an yang sering didahului dengan kata amwal (harta benda) dan setelah itu nafs (jiwa), karena, fitrah manusia pada dasarnya memang cinta akan dunia. Terkadang suatu waktu kita dihadapkan kepada dua pilihan, antara menikmati dan menginfakkan sebagian harta kita kepada yang lebih berhak. Hanya satu hal yang harus kita kedepankan saat itu, yaitu: kesadaran kepada Si Pemberi kenikmatan. Dengan menyerahkan segala urusan kepada Allah, hati menjadi tenang. Orang-orang di dunia pergerakan menyadari benar akan hal itu, oleh karenanya keadaan senang, sedih, atau sakit. Kaya atau miskin selalu mereka kembalikan kepada Allah. Ada cerita singkat tentang kesan Dr. Abdul Aziz Ar-Rantisy kepada Syaikh Ahmad Yasin. "Seumur hidupku belum pernah aku melihat orang yang menyerahkan segala urusannya kepada Allah seperti ia melakukannya." Dan ternyata Allah mencatat kedua pemimpin Hamas ini dalam deretan yang syahid di jalan-Nya.

Adakah kita akan bersikap seperti itu saat mendapat keluasan rizki? Apakah kita teringat bahwa dalam harta kita ada secuil harta milik orang lain? Atau setidaknya di hari raya kurban kemarin, perasaan kita, 'berkasih sayang sesama mereka' (Q.S. Al-Fath: 29) mendekap relung-relung jiwa saudara muslim yang tertindas, didera kemiskinan, dan sedang dalam musibah bencana alam. Di hari raya kemarin, sepertinya kita jangan pernah bangga dengan hanya satu murist, kita yang harus mulai meniti dan memohon kepada Allah menjadi 'orang-orang yang di warisi'. Diwarisi sifat sederhana, dermawan, dan mencintai sesama muslim. Hari raya kurban tahun ini apa kabar Anda para murist? Sudahkah kita melepaskan ego-ego itu? Jika sudah, percayalah, saya, Anda, dan kita semua telah berusaha menjadi seorang hamba yang merdeka di hari ini.

***

8 Wahran St. Rab'ah El Adawea, Nasr City
<gaizka_kaka at yahoo at com>
M. Yayan Suryana
-------------
Sumber : Eramuslim.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home