Sariawan Di Bibir Ini…
Penyakit sariawan di bibir saya belum lama ini benar-benar mendatangkan penderitaan ganda. Pertama adalah penderitaan fisik. Bibir ini bisa demikian pedihnya. Untuk menelan ludah saja begitu sakit apalagi untuk berbicara. Padahal saya adalah orang yang amat doyan berbicara. Jadi sudah harus menahan sakit, harus menahan bicara pula.
Harus sakit sakit bibir, harus sakit pula hati saya. Lebih-lebih ketika sakit jenis ini, dianggap masih satu rombongan dengan sakit panu, bisul dan kurap, penyakit khas orang-orang malang. Maka sakit ini juga menyakiti hati saya karena cuma mengingatkan di mana status sosial saya.
Padahal daftar kesakitan itu belum cukup, karena meskipun saya bisa menahan sakit dan menahan bicara, tapi pasti tidak bisa menahan lapar. Padahal jika untuk bicara saja sakit, apalagi jika bibir ini untuk mengunyah. Jika untuk mengunyah makanan saja sudah sakit, apalagi jika makanan itu luar biasa: harus pedas dan bersambal. Karena bagi lidah saya, makan tanpa sambal hanya akan mengurani separo dari hakikatnya.
Apapun jenis yang saya makan, perut serasa belum diisi jika belum ketemu nasi. Apapun yang saya makan, belum terasa makan jika belum ketemu sambal. Jadi, kedudukan nasi bagi perut, setara dengan kedudukan sambal bagi lidah.
Maka meskipun saya tengah sariawan, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak makan, dan makanan itu harus bersambal pula. Pikir saya, tak apalah saya sakit asal masih boleh makan. Tapi untuk apa makan jika tanpa kepedasan. Maka meskipun pedih nian sariawan ini, saya tetap harus makan dan harus tetap bersambal pula. Argumentasi saya sederhana.
Saya ini sedang sakit, sedang menderita. Alangkah lebih sakit jika di dalam kesakitan ini saya tidak boleh menikmati sedikit bahagia. Padahal kebahagiaan saya itu toh tidak berlebihan, cuma ingin makan sambal saja. Jadi apa salahnya, meskipun saya sakit, tetap boleh sambil berbahagia. Sebab jika tidak, akan makin beratlah derita saya ini.
Tapi permintaan yang logis ini kemudian juga membawa konsekuensi logis. Jika bibir ini untuk berdiam saja sakit apalagi untuk menelan ludah. Jika untuk menelan ludah saja sakit, apalagi untuk makan. Jika untuk makan saja sakit, apalagi untuk makan pedas. Maka setiap makanan itu masuk ke mulut, bibir saya langsung seperti tersengat bara. Mata ini akan nerosos secara iba-tiba, dan mulut ini, pada suapan pertama hanya bisa menghentikan gerak dan berteriak menyebut nama Tuhan…saking sakitnya.
Nama Tuhan itu saya teriakkan, benar-benar bukan dengan tendensi spiiritual layaknya orang-orang saleh dan mulia, melainkan semata-mata refleks atas sebuah rasa sakit saja. Karena di dalam kesakitan semacam itu, anak, istri, saudara dan tetangga benar-benar tak berdaya. Sakit ini adalah sakit saya sendiri dan mustahil saya bagi bahkan kepada orang yang paling saya cintai. Tapi jika Tuhan bisa kita dekati dengan cara tak sengaja seperti ini, apa salahnya!
Padahal sakit itu belum mencapai puncaknya karena pada suapan berikutnya, ketika sariawan ini terpaksa mengakomodasi kenekatan saya, setelah muka memerah karena pepedasan, kenikmatan atas makan ini tetap harus disempurnakan. Untuk apa makan pedas, jika tidak ditutup dengan minum teh panas juga. Teh panas itu sendiri adalah minuman wajib dalam keseharian hidup saya. Dan memakai minuman ini sebagai penutup makanan berpedas akhirnya menadi ritual paling penting dalam gaya makan saya.
Jadi jika untuk makan pedas saja bibir ini sudah mendatangkan sakit yang luar biasa, apalagi setelah pedas masih harus diguyur air panas pula…. Sunguh merupakan kesakitan penyempurna yang karena sakitnya, nama Tuhan kembali sata teriakkan. Karena cuma soal sariawan saja, ternyata hanya Tuhan yang bisa menjadi sandaran. Saya jadi kaget juga, betapa di dalam sariawan ini, saya malah begitu sering meneriakkan nama Tuhan, sebuah tindakan yang tak saya temui dalam keseharian. Maka saya ragu, adakah sakit ini butuh saya obati selekasnya, jika setelah sembuh, bibir ini cuma kembali untuk ngerumpi, bergunjing dan hasut sambil menjauh lagi dari Tuhan. Lagian juga cuma sariawan! Prie GS
-------------
Sumber : Suaramerdeka.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home