Sukarno M. Noor
Minggu, 06 Februari 2005
Ada kisah sedih dikemukakan Rano ''Si Doel'', Karno. Dia berkisah saat-saat menjelang ayahnya Sukarno M Noor meninggal dunia. ''Hari Sabtu, 26 Juli 1986 pukul 08.00 pagi saya dibangunkan Mama setelah saya tidur pukul 06.00 pagi. Mama bilang Papa mau bicara. Saya temui beliau di tempat tidur, tampak beliau makin melemah setelah sekian lama mengidap penyakit kanker lever.
Papa bilang kepada saya: Papa tidak kuat, mau ke rumah sakit, tapi Papa tidak punya duit'', tulis Rano Karno dalam kata pengantar buku 'Sukarno M Noor Jejak Seorang Aktor' ''Begitulah beliau. Angkuh, tidak mau menyusahkan orang lain'', tulis Rano tentang ayahnya. ''Akhirnya setelah saya membawanya ke rumah sakit Islam, setelah sholat Magrib, Papa menghembuskan napas terakhir dengan sebuah titik air mata diujung kelopak matanya. Saya tidak tahu makna titik air mata itu, apakah karena beliau sedih meninggalkan kami, atau apakah beliau sedih karena tidak dapat mewujudkan keinginannya,'' penuturan ''Si Doel Anak Sekolahan'' dalam buku yang dikarang seniman/budayawan Betawi, SM Ardan.
Saya pernah membuat perbandingan kehidupan bintang film tempo doeloe dibandingkan para artis sekarang. Bedanya seperti bumi dengan langit. Para artis sekarang, mendapat bayaran sampai ratusan juta rupiah sekali manggung, dulu hanya dalam bilangan ribuan. Tidak sedikit artis masa lalu, di akhir hayatnya sangat menyedihkan. Bahkan biaya untuk berobat saja tergantung dari uluran tangan rekan-rekannya. Seperti Titien Sumarni, mojang geulis asal Sunda kelahiran Surabaya, tahun 1950'an merupakan artis paling populer di Indonesia. Tahi lalat di bibirnya membuat penonton kala itu tergila-gila kepadanya. Diakhir hayatnya, setelah tiga kali bercerai dan menjanda, ia hidup melarat tidak memiliki rumah dan uang untuk berobat.
Hal serupa dialami Tan Tjeng Bok alias si Item. Sebagai penyanyi keroncong dan pemain sandiwara (1920-1940), dia sempat mencapai puncak karirnya. Ketika jadi bintang keliling Dardanella, tonil atau sandiwara paling populer sebelum Perang Dunia ke-2, si Item, julukan Tan Tjeng Bok laksana magnet. Banyak menarik penonton wanita tempo doeloe, ketika mereka hidup pada era Siti Nurbaya. Di samping terkenal sebagai Si Item, ia juga digelari Douglas Fairbank van Java (bintang Hollywood terkenal kala itu).
Menjelang meninggal pada tahun 1982, seperti juga Titin Sumarni, ia jatuh melarat. Ketika dirawat di rumah sakit, sebuah surat kabar Ibu kota membuka Dompet Tan Ceng Bok. Padahal sebelum meninggal, ia masih menikmati bermain disejumlah film dan sinetron di televisi. Termasuk dalam Komedia Jakarta dan Senyum Jakarta di TVRI, bersama A Hamid Arif. Yang juga dikabarkan saat meninggal (1992) tidak memiliki rumah sendiri. Padahal entah berapa puluh film dan sinetron yang ia bintangi.
Dalam ''Jejak Seorang Aktor Sukarno M Noor'', Ardan (73 tahun), yang ketika masa kejayaan 'Seniman Senen' (1950'an-1960'an), telah bergaul erat dengan aktor kelahiran Padang 1931 ini. Ketika menjadi pemain utama film "Gambang Semarang' (1955), ia dibayar Rp 25 ribu. Jumlah lumayan ketika itu, karena sebelumnya sebagai figuran honornya hanya 25 perak dalam film 'Meracun Sukma'. Walau yang diterima kemudian hanya Rp 24,25 (dua puluh empat perak setalen), karena dipotong pajak tiga persen. ''Uang sebesar itu lumayan, terutama bagi Seniman Senen, karena segelas kopi harganya 50 sen (setengah perak). Kalau dibelikan kopi dapat 48 gelas,''tulis SM Ardan.
Pada tahun 1950'an, penduduk Jakarta baru sekitar satu setengah juta jiwa. Sedangkan kawasan-kawasan yang sekarang ini berdiri perumahan elite, dulunya masih kampung, persawahan atau tegalan. Barangkali harga tanah baru berkisar puluhan atau ratusan perak per m2. Kalau sekarang para selebritis bisa mendiami rumah-rumah miliaran rupiah, dulu para artis banyak tinggal indekos atau tingggal di rumah kontrakan. Soekarno M Noor tinggal di rumah kontrakan di Gang Kanari I, Jakarta Pusat.
Dari kediamannya bersama ibu dan adiknya Ismed, Sukarno berjalan ke Salemba. Dari Salemba ke Senen ada oplet (kendaraan umum yang kemudian digantikan mikrolet), trem (digusur 1961), dan becak. Tapi Sukarno selalu berjalan. Padahal Gang Kenari - Senen lumayan jauh. Selain tak punya duit, mungkin terbiasa oleh pengalaman masa kecil, berjalan dari Bonjol ke Lubuksikaping.
Sampai 1970'an, sekalipun televisi sudah hadir, tapi kehidupan para seniman jauh dari mewah. Seperti Bing Slamet (1927-1974), pelawak yang tidak tertandingi kala itu, sampai meninggal kediamannya tetap di Jl Arimbi, Tanah Tinggi. Bukan di daerah gedongan. Padahal Bing Slamet, di samping penyanyi dan pelawak, bermain di belasan film dengan peran utama. Pada tahun 1960'an, bintang film memiliki sepeda motor sudah termasuk cukup lumayan. Padahal kini, pemulung banyak memilikinya.
Sukarno M Noor dalam karirnya sejak 1950'an sampai menjelang akhir hayatnya (1986) telah membintangi lebih 60 film dan beberapa kali memperoleh piala Citra. Ketika mendirikan Karno's Film, dia sekaligus jadi sutradara untuk film produksinya : Selamat Tinggal Duka dan Yang Kembali Bersemi. Setelah Sukarno meninggal, Karno's Film mencapai sukses komersial lewat sinetron Si Doel Anak Sekolahan (1994). ''Karena ridho Allah dan kegigihan kita semua akhirnya kami dapat melanjutkan keinginan Papa. PT Karno's Film menjadi kebanggaan kami semua,'' kenang Rano Karno terhadap ayahnya.
(Alwi Sahab )
-------------
Sumber : Republika.co.id
1 Comments:
inspiratif
Post a Comment
<< Home