Farid
Widi Yarmanto
AKAL dan emosi bocah itu gampang terombang-ambing, mudah goyah, dan menggelapar. Ayah bilang, ''Kamu tidak usah berkelahi, bisa babak-belur, dan malah nambah musuh.'' Betul juga. Tapi, rekan saya ngompori, ''Jadi laki-laki itu tidak usah penakut. Nanti aku bantuin.''
Kesetiakawanan itu lebih mengena di hati. Apalagi, ada iming-iming bakal ditraktir jika mau bergelut. Semangat saya mencari lawan pun menggelora. Anak sepantaran yang berani menatap mata pasti saya tantang: ''Ngapain lu liat-liat.'' Kalah-menang urusan nanti. Menciutkan nyali lawan itu menyenangkan.
Tubuh saya yang kerempeng bak melar kayak Hercules. Jalannya pun mekengkeng, merasa di bawah ketiak menggumpal daging. Dan, agar otok-otot lengan terbentuk sempurna, barbel milik om saya lebih sering saya angkat, sembari bercermin. Hebat, euh!
Anak-anak bergaya jagoan juga dialami keluarga Umar. Cerita berawal dari pemalakan antarmurid. Adalah anak Umar yang murid SLTP dikompas oleh murid SLTP lain. Teman-teman bocah itu tak bisa berkutik. Maklum, kelompok pemalak lebih siap mental dan dilengkapi ''atribut'' perkelahian.
Esoknya, aksi balas dendam pun tak terelakkan. Anak Umar dan rekan sepermainan dikerahkan menyerbu SLTP si pemalak. Tanpa pandang bulu lagi, sejumlah murid digebuki. Bonyok. Anak Umar puas karena berhasil menyalurkan kemarahannya.
Rupanya, perbuatan itu berbuah langsung. ''Dia mendapat karma pula,'' kata Umar. Jadi, pulang sekolah, anak Umar berlarian mengitari sebuah mobil BMW yang diparkir. Rupanya, pemilik mobil itu seorang pengacara marah besar. Mungkin BMW-nya tersenggol.
Leher anak Umar kontan dicengkeram, dan dihajar hingga bengap. Sekitar matanya bengkak. Istri Umar dan familinya tidak menerima perlakuan tersebut. Utang pukulan harus dibayar pukulan pula. ''Dia harus diberi pelajaran,'' ujar saudara Umar.
Umar yang sedang di Banten dikontak. HP-nya menyahut: ''Di luar area.'' Sorenya, barulah SMS buat Umar diterima. ''Saya bersyukur, karena tidak terprovokasi oleh SMS itu,'' kata Umar. Emosinya tak terpancing, karena sepanjang jalan ia mampu mengilasbalik ''kebrutalan'' anak kandungnya.
Jika saja, waktu itu, Umar di Jakarta, mungkin kisahnya bisa lain. Ia akan mencari si pengacara. ''Bisa saya tusuk dia. Bahkan, mungkin, saya sudah berada di sel,'' kata Umar. Ia bersyukur, walau hatinya trenyuh melihat wajah anak laki-lakinya berubah seperti petinju bengap yang turun dari ring.
Rupanya, merasa jagoan bukan cuma milik bocah. Reporter radio Hot FM Serang, Rahmat Suardi, jadi bulan-bulanan di ruang Humas Pemerintah Kota Cilegon, Serang, bulan lalu. Perut dan mata kirinya dihajar oleh dua orang berseragam PNS. Ia dipukuli karena diduga memberitakan kasus korupsi di Cilegon.
Kisah senada juga menimpa Palopo Pos di Sulawesi Selatan. Sejumlah wartawan harian itu dihajar, termasuk bosnya. Tindakan main hakim yang mencederai kebebasan pers ini diduga berkait dengan pemberitaan koran tersebut. Kekerasan terhadap jurnalis sepertinya tak pernah surut kendati sudah dibentengi UU Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Yang paling gres adalah bogem mentah pada Farid Faqih, Koordinator Government Watch (Gowa), pekan lalu. Ia dihajar Kapten Syuaeb dan anggota Provos TNI-AU di Lanud Sultan Iskandar Muda, Aceh. Ia babak-belur karena diduga menggelapkan barang bantuan logistik untuk korban gempa dan badai tsunami di Aceh. Ia mengeluarkan barang dari Lanud, yang, menurut arapat, di luar prosedur.
Farid mengaku bukan menilap, tapi mengamankan barang-barang itu, setelah berkoordinasi dengan Kapuspen Mabes TNI Mayjen Syafrie Syamsuddin. Namun, dialog kedua pihak ini tak ada titik temu. Masing-masing ngotot merasa diri benar. Kedua pihak merasa membawa amanah, yang dibarengi dengan amarah.
Buntutnya, Farid ditangkap dan dihujani bogem mentah. Mata kirinya lebam 7 x 11 cm, dan mulut bagian kirinya memar 4 x 11 cm. ''Selain itu, dada kiri memar 6 x 4 cm, dan luka memar di dekat pantat,'' kata Daniel Panjaitan, kuasa hukum Farid dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Bias isu pun bermunculan. Dari mulai kesalahpahaman administratif, Farid kena batunya karena dianggap tertangkap basah nyolong logistik yang sudah jelas pengirim dan tujuannya, sampai yang menjurus: ''Farid Faqih merupakan target operasi pembungkaman aktivis.''
Bahkan, Wakil Ketua DPD Laode Ida memandang kasus ini merupakan gertakan untuk kalangan aktivis supaya tidak terlalu berani mengkritisi dan memperjuangkan pemberantasan korupsi, transparansi, dan keterbukaan pemerintah.
Siapa yang benar? Selama manusia masih menyimpan dendam, ''ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya,'' maka kebencian itu tak akan pernah berakhir. Kebencian itu menimbulkan niat untuk membalas, menimbulkan korban baru, dan kesedihan baru. Kebencian itu tiada habis, walau --kasarnya-- telah ''berkuah'' darah.
Bola masih bergulir di pentas. Ada lho, koruptor yang ikut berteriak nyaring: ''Berantas korupsi!'' Ada juga pembunuh yang pura-pura sibuk mencari dalang pembunuhan, padahal dia sendiri pelakunya. Ada lagi aparat yang bertugas memberantas uang palsu, eh dia pula yang menjalankan pemalsuan uang.
Dunia sebagai panggung sandiwara itu, memang bukan omong kosong. Orang bijak mengatakan, ''Harumnya bunga tidak dapat melawan angin, tapi harumnya kebajikan mampu melawan arah angin, dan bahkan menyebar ke segenap penjuru dunia.'' Jadi, siapa yang menabur harumnya kebajikan dari Aceh?
[Esai, Gatra Nomor 13 Beredar 4 Februari 2005]
------------------
Sumber : Gatra.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home