Adakah yang Tersisa Ketika Tiada
Janganlah mengingat-ingat orang-orangmu yang telah wafat kecuali dengan menyebut-nyebut kebaikan mereka (HR An Nasa'i) Adakah yang tersisa ketika seseorang melipat usianya? Keluarga yang ditinggal merasa duka ditinggal pergi. Perasaan demikian pun dirasakan pemuda X. Ia melipat segenap kenangan kehangatan keluarga, dan berkemas-kemas memulai pengembaraan. `'Aku kupetik bintang di langit, ayah, untuk kusematkan di pundak,'' janjinya.
Tapi, siapa yang dapat menebak usia, ketika kesejatian masa depan hanya milik Allah? Ia, si anak muda yang berada dalam pengembaraan, tidak sempat memetik bintang di langit ketika ayahnya berpulang. Itulah suasana kematian yang pertama dirasakannya. Suasana kematian yang murung itu menyebabkannya terobsesi: hidup itu fana, hanya Allah yang maha abadi. Maka sebelum kehidupan berakhir, abadikanlah detik-detik yang tersisa.
Obsesi demikian menyebabkannya melengkapi dirinya dengan kamera maupun setiap hal yang berguna dalam pengabadiannya. Pada setiap kelahiran anaknya, ia menyiapkan masing-masing buku harian. Seperti peneliti, ia mengamati setiap tahap tumbuh kembang anak bersama kejadian yang merangsang rasa kemanusiaannya, dan mencatatnya di buku harian tersebut. Ia ingin mengabadikan tumbuh kembang anak-anaknya. Tapi, sejatinya, ia pun ingin mengabadikan bila dirinya ialah ayah yang peduli pada kehidupan anaknya. Bukankah kelak, ketika anak-anaknya dewasa dan menemukan buku catatan tersebut, akan merasakan tinta cinta seorang ayah yang mencatat keping kehidupan mereka di masa kecil. Ia membayangkan bila masa itu tiba, ia mungkin telah berada di dalam pelukan keheningan abadi, dan anak-anaknya menitikan air mata haru saat membaca catatan harian tersebut.
Catatan harian sebagai prasasti -- seperti raja-raja masa silam yang membubuhkan catatan pada prasasti -- tidak mencukupi untuk menampung genangan obsesinya. Maka ketika ia memiliki sisa uang, segera membeli kamera digital. `'Hidup lebih nyata bersama digitalcam,'' serunya seperti juru iklan. Ia pun dengan cinta menggelegak mengabadikan episode kehidupan keluarganya.
Lihatlah: anak-anak yang tersenyum ceria dengan bola mata berbinar. Atsmosfer cinta pun berpendaran di udara ketika sang ibu menciumi anak-anaknya. Semua itu terabadikan melalui kamera digitalnya. Ia seringkali diam-diam memutar video yang dibuatnya, menikmati keindahan babak kehidupan keluarganya. Di akhir menyaksikannya, ia berkata di dalam hati, sungguh proyek ini merupakan kesaksian cinta keluarga. Insya Allah, bila kelak kalian dewasa dan ayah tiada, akan menyaksikan betapa kita pernah menjadi keluarga yang dihangati api cinta.
Mungkin tidak semua kita memiliki obsesi demikian. Bahkan, kita seringkali ketika mengambil foto keluarga, lebih sekadar karena keriangan hati. Kita tidak sampai memikirkan bila foto itu kelak menjadi "sesuatu yang tersisa" ketika kita telah tiada, apalagi bila hendak dengan kesadaran penuh untuk membuat momentum "sesuatu yang tersisa".
Mengapa kita enggan memberikan ruang bagi kesadaran demikian? Penyebabnya, sebagian di antara kita khususnya mereka yang sangat mencintai dunia dan berpenyakit hati, takut untuk menghadapi kematian. Allah pun maklumatkannya: ''Kamu lihat orang orang yg ada penyakit di dlm hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yg pingsan karena takut mati.'' (QS Muhammad [47]:20).
Bukankah bagi mereka kematian berarti berakhirnya kesenangan dunia? Sementara manusia ditakdirkan sangat mencintai kehidupan dunia sehingga melalaikan kehidupan akhirat (lihat QS Al-Qiyamah [75]:20).
Di sisi lain, sakratul maut itu, sungguh pedih. Allah melukiskannya: ''...mempertautkan betis kiri dengan betis kanan...'' (QS 75:29) karena begitu takutnya meninggalkan dunia dan memasuki akhirat. Semua itu menyebabkan kita enggan memberikan ruang kesadaran bagi kematian. Bahkan tidak sedikit tabu yang melarang mengucapkan mati. Mati selalu menawarkan kemuraman sehingga sebaiknya tidak perlu dikenang.
Benarkah demikian? Rasullah SAW telah mengajarkan kepada kita: "Ambillah kesempatan lima sebelum lima: mudamu sebelum tua, sehatmu sebelum sakit, kayamu sebelum melarat, hidupmu sebelum mati, dan senggangmu sebelum sibuk" (HR Al Hakim dan Al Baihaqi). Apa maknanya? Memang, hakikat hadis tersebut agar umat Muhammad bijak menggunakan kesempatan yang bermuara kepada ibadah. Dengan demikian, semasa sehat, memiliki harta dan memiliki masa, gunakanlah untuk beribadah.
Berkait dengan itu, hadis tersebut selaiknya diberikan muatan makna, agar manusia senantiasa memegang kesadaran bahwa suatu ketika ia akan menjadi tiada. Dengan demikian, sebelum semuanya menjadi tiada, ia menebar benih amal ibadah yang dipanen untuk bekalan di kampung akhirat. Dengan mengingat-ingat kematian, maka kita senantiasa tersadar untuk berbuat amal kebajikan.
Maka, adakah yang tersisa ketika tiada? Seseorang yang obsesif, agaknya, akan merekam segenap denyut kehidupan. Seorang salik justru memanfaatkan kehidupannya dengan menebar amal-ibadah sekaligus menjadikan dirinya sebagai rahmat bagi kehidupan ini. Ia memposisikan dirinya sebagai abdi kebajikan ketika Allah yang maha abadi.
Keduanya menawarkan muara yang sama: selalu ada yang tersisa ketika tiada. Seseorang yang obsesif menyisakan keping kenangan baik dalam prasasti maupun video. Seorang salik menyisakan kenangan kebajikannya semasa hidup. Seperti bunyi amsal harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, maka seseorang yang menebar amal kebajikan semasa hayat, senantiasa dikenang karena kebajikannya. Ia tidak pernah benar benar punah dari ingatan kendati jasadnya telah berkalang tanah.
Bila demikian, mengapa kita tidak menjadi seseorang yang obsesif, tidak sekadar menyiapkan kenangan melalui digitalcam tetapi yang terutama melalui amal ibadah serta kebajikan yang ditebarkan. Semua itu menyebabkan selalu ada yang tersisa ketika tiada.-----------------
Sumber : RepublikaOnline
0 Comments:
Post a Comment
<< Home