Hari Pertama “Kebebasan Jilbab” Turki, Masih Ada yang Menolak

Selasa, 26 Pebruari 2008
Larangan mengenakan jilbab di universitas Turki hari Senin mulai dicabut untuk pertama kali dalam dua puluh tahun terakhir. Namun masih ada yang menghalangi.
Hidayatullah.com--Senin kemarin (25/2), adalah hari pertama, di mana undang-undang yang melarang para mahasiswi Turki mengenakan jilbab di kampus telah dicabut secara resmi. Seharusnya semua universitas membuka diri bagi para Muslimah berjilbab, akan tetapi faktanya, ada beberapa universitas yang masih berpegang kepada undang-undang lama, dan tetap menutup universitas dari wanita berjilbab.
Ketika Yusuf Dziya, Ketua Majelis Tinggi Universitas menghimbau kepada seluruh kepala Universitas agar membuka diri terhadap para mahasiswinya yang berjilbab, sebagian dari para ketua universitas mendukung, kana tetapi sebagian lain masih menolak. Himbauan tersebut telah sampai kepada pihak universitas pada hari Ahad (24/2).
Walau begitu, kekhawatiran masih muncul dari mereka yang menentang amandemen itu, karena hal itu bisa merembet kepada pewajiban jilbab di universitas. Adapula yang mengkhwatirkan akan adanya konflik antara mereka yang memakai jilbab dan yang tidak memakainya.
Koran Turki, Todays Zaman menyebutkan bahwa mayoritas universitas merespon baik amandemen undang-undang itu.
“Sudah merupakan kewajiban bagi semua pihak, untuk mendukung kebebasan yang lebih baik di Turki” Kata ketua Universitas Kikirofa.
Ketua Universitas Istambul, Aril Umar, juga mengatakan, bahwa universitasnya akan memberi kebebasan kepada para mahasiswinya.
Akan tetapi sebagian dari universitas menunggu amandemen pasal 7, dari peraturan pendidikan tinggi, agar sejalan dengan penerapan amandemen undang-undang.
9 kepala univeristas pada hari Senin kemarin tetap menolak untuk menerapkan hasil amandemen. Direktur Universitas Uludaj, Musthafa Yurtikran menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengizinkan wanita berjilbab masuk ke universitas, “Amendemen yang distujui Presiden Gul tidak menggugurkan larangan tentang kebebasan berjilbab di universitas, dan kami akan tetap memakai peraturan yang lama, dan saya berpendapat bahwa jilbab adalah symbol politik, yang tidak mungkin bisa diizinkan di universitas kami”.
Hal yang sama diutarakan oleh pihak universitas Syarq Ausath, yang meminta agar pihak parlemen meninjau kembali pasal 17.
“Kami bisa membuka pintu universitas bagi mereka yang berjilbab dalam satu kondisi, yaitu amanden yang sempurna".
Sedangkan pakar hukum, professor Lifint Kukir menyatakan,” Para kepala universitas diwajibkan untuk mengkuti hasil amandemen, tanpa menunggu amandemen pasal 17 daru peraturan majelis tinggi universitas.”Pelarangan jilbab, tidak memiliki dasar pijakan hukum”.
Jumat lalu, Presiden Abdullah Gul menyetujui dua amandemen konstitusi yang diloloskan parlemen awal bulan ini dan bertujuan untuk mengizinkan mahasiswa mengenakan jilbab.
Lebih dari dua pekan lalu parlemen melakukan pemungutan suara untuk mengubah konstitusi Turki guna mengakhiri larangan pemakaian jilbab di berbagai universitas.
Tetapi reformasi itu masih menjadi perdebatan hangat di negeri ini. Kalangan secular Turki khawatir, diizinkannya berjilbab, justru semakin akan merembet ke mana-mana, dikhawatirkan akan meruntuhkan nilai-nilai secular yang dijaga selama puluhan tahun. [iol/thoriq/www.hidayatullah.com]
Sumber : HidayatullahOnline
0 Comments:
Post a Comment
<< Home