Ahlan wa Sahlan, Saudaraku!
Mengucapkan syahadat pada 8 April 2001, Ella (bukan nama sebenarnya, red) mengaku hingga kini belum berani berterus terang kepada keluarganya soal ke-Islamannya. Ia pernah mengutarakan niatnya berislam. Tapi tanggapan keluarga di luar dugaannya.
Bukan hanya pemukulan yang ia dapatkan. Lebih dari itu, ia mendapat ultimatum yang menurutnya sangat berat. ''Ayah mengancam akan bunuh diri. Keluarga akan menuntut saya karena sayalah penyebab kematian ayah,'' ungkap Ella, ketika ditemui Republika di tempat kerjanya di bilangan Jakarta Pusat, Rabu (24/8).
Ella sendiri awalnya adalah aktivis gereja di Jakarta. Namun, setelah beberapa pertanyaannya tidak mampu dijawab dengan baik oleh sang pendeta ia pun berhenti dari kegiatannya. ''Saya sempat tanya apa perbedaan Alah sama Alloh. Tapi pendeta saya tidak bisa memberi jawaban. Jawabannya muter-muter saja.''
Di tengah kebingungan, Ella tiba-tiba bertemu dengan Ir H Surya Madya, seorang mualaf yang kemudian mendirikan Yayasan AMMA. Ia kemudian aktif mengikuti pengajian yang diadakan yayasan itu. ''Jawaban-jawaban Pak Surya itu masuk di dalam logika saya,'' kata Ella.
Ella pun bersyahadat. Ketika itu, ia bekerja di perusahaan travel milik non-Muslim. Rekan-rekan yang tahu ia menjadi Muslim banyak yang mencibir. Ia juga kerap dipermainkan. Saat jam makan, misalnya, dalam menunya sengaja diberi daging babi. ''Enak enggak? Makanan tadi kan isinya babi,'' ujarnya, menirukan olokan teman-temannya.
Kini ia berpindah kerja. Pengurus AMMA membantunya mendapatkan pekerjaan baru. Ia bersyukur. Bila Ella menyembunyikan agamanya dari keluarga, tidak begitu dengan Cuncun, WNI keturunan asal Bandung. Lelaki yang kini lebih sering dipanggil Aries itu tetap diterima keluarganya kendati ia Muslim. Di rumahnya yang asri di Bandung, ia tinggal bersama lima anggota keluarganya yang menganut agama Kristen.
Sebelum menjadi Muslim, Cuncun menjadi preman jalanan. Merasa "lelah" dengan kenakalannya, ia kerap mampir ke Masjid Lautze di Bandung. Ia merasa tenteram dengan siraman rohani yang diberikan pengurus Yayasan Karim Oei cabang Bandung. Ia pun menyatakan berislam setahun lalu. ''Keluarga menerima saya, mungkin karena saya menjadi lebih baik setelah memeluk agama Islam,'' ujarnya sambil tertawa.
Cobaan bagi mualaf keturunan Tionghoa justru datang dari lingkungannya. Oleh sesama keturunan Tionghoa, dia dikucilkan. Sementara komunitas Muslim pribumi belum sepenuhnya menerima mereka. Ku Wie Han (36 tahun), yang biasa dipanggil Wiwih, mengaku prihatin dengan kondisi ini. Mualaf Tionghoa, katanya, belum pernah diposisikan sebagai asnaf dalam penyaluran zakat. Padahal, tutur dia, hampir seluruh lembaga zakat di Bandung mengetahui bila di Masjid Lautze merupakan wadah perkumpulan mualaf Tionghoa.
Bagi Wiwih, menjadi Muslim penuh rintangan. Ia berislam 18 tahun lalu, setelah kepergian ayahnya. ''Kematian hanya gerbang menuju kehidupan lain,'' ujarnya. Ia pun mempelajari semua kitab. ''Dan yang paling bisa menjamin kehidupan saya di akhirat, hanya ajaran Islam,'' tutur dia. Ia pun menyatakan diri sebagai Muslim.
Komunitas Tionghoa langsung mengambil jarak darinya. Apalagi kemudian ia menyunting gadis pribumi. Tak hanya menjauh, rekan-rekannya pun mencibir. Beruntung, ia bertemu dengan jamaah Masjid Lautze Bandung. Ia "terselamatkan" dari rasa keterkucilannya. Apalagi belakangan, ibu dan adiknya juga mengikuti jejaknya, memeluk agama Islam.
Kepedulian Muslim masih rendah
Kristolog H Kodiran Salim secara tegas mengatakan, sejauh ini tidak banyak tokoh umat Islam yang peduli terhadap pembinaan mualaf. Kalau pun kemudian berdiri lembaga atau yayasan untuk mualaf, itu sebatas inisiatif dari pribadi-pibadi yang peduli.
Ironisnya, mereka yang bergerak pada bidang pembimbingan mualaf tersebut terkesan masih bergerak sendiri-sendiri, belum ada sinergi. Walau beberapa telah ada yang menjalin komunikasi, tapi intensitasnya belum seperti yang diharapkan. Dikatakan lebih jauh, pembinaan mualaf harus segera ditangani secara serius dan berkesinambungan. Pasalnya, bukan tidak mungkin, para mualaf ini lantaran tidak mendapatkan bimbingan dan pendampingan dengan baik, justru akan kembali ke agama asalnya.
Kodiran membayangkan, ke depan harus ada sebuah lembaga atau wadah khusus bagi pembinaan mualaf, tersedia database mualaf, serta tenaga-tenaga pembimbing dengan bekal ilmu yang mumpuni. Begitu pula organisasi Islam maupun pondok pesantren diharapkan lebih aktif berperan antara lain dengan membentuk lembaga pendidikan bagi mualaf.
Saat ditanya pembinaan seperti apa yang paling dibutuhkan oleh mualaf, Kodiran mengatakan yang terpenting adalah bagaimana menanamkan akidah agar keimanan mereka benar-benar kuat. Untuk itu, harus ada pentahapan pemberian bimbingan, yakni mulai dari pembelajaran Alquran, hadis, fikih, dan seterusnya.
Pembinaan dan pendampingan para mualaf sudah jelas merupakan tanggungjawab seluruh Muslimin. Mereka sudah bersedia menyerahkan segala jiwa raga kepada Islam, dan semestinya pengorbanan itu menjadi perhatian kita semua. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?
( yus/dam/san/ren )
----------------------------
Sumber : www.Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home