Spiritualitas di Rumah Sakit
Jumat, 29 Juli 2005
Apa yang terbayang bila harus dirawat di rumah sakit? Pastilah, hari-hari yang hanya dilalui dengan pemeriksaan dokter, layanan perawat, tidur terbaring sambil nonton televisi, jarum suntik, dan tidur sampai punggung terasa sakit. Beruntung kalau pihak rumah sakit 'berbaik hati' menyediakan majalah atau televisi. Atau, belakangan ada juga rumah sakit yang melengkapinya dengan alunan musik lembut yang sayup-sayup terdengar.
Namun, menurut Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof Dr dr H Dadang Hawari, fasilitas hiburan yang disediakan pihak rumah sakit itu, tidak akan bermanfaat bagi pasien selain hanya sekedar mengisi waktu. Akan lebih baik, kata Dosen Agama Islam FKUI ini, waktu yang ada digunakan bagi hal yang bermanfaat bagi upaya penyembuhan. Apa misalnya? "Berikan kepada pasien itu layanan bimbingan rohani," kata dia.
Dadang Hawari tak asal bicara. Mengutip sejumlah hasil penelitian dan konferensi kesehatan internasional, terungkap adanya kaitan aspek religius ini dengan bidang kesehatan. Bahkan, tandas dia, aspek spiritual tersebut dinilai sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Beberapa penelitian juga mengungkapkan orang yang rajin berdoa serta berdzikir, tingkat imunitasnya akan meningkat dan ini menguntungkan bagi proses pengobatan. Sehingga kemudian muncul paradigma baru di bidang kesehatan bahwa terapi medik saja tanpa disertai doa dan dzikir tidak lengkap, sebaliknya terapi doa dan dzikir saja tanpa terapi medik tidak efektif.
Oleh karenanya, muncul istilah prayer is medicine. "Jadi obat tak hanya yang berupa zat kimia, tapi juga doa dan dzikir tadi," ujar dia. Lantas apa ukuran keberhasilannya? Pertama, jelas Dadang, dapat mempercepat proses penyembuhan. Kedua, mempercepat proses hospitalisasi (tadinya dirawat seminggu bisa tiga hari), dan ketiga, meningkatnya unsur imunitas tubuh.
Ia menaruh harapan dokter di masa depan selain menguasai ilmu kedokteran juga menguasai prinsip agama masing-masing. Dia membayangkan suatu hari nanti para dokter selain menuliskan resep obat kepada pasien, juga akan menuliskan resep doa yang harus dibaca. Menurut Dadang, pada masa Rasulullah pendekatan spiritual dalam penyembuhan sudah dilakukan.
Alkisah, ada seorang sahabat nabi yang anaknya tiba-tiba sakit. Sesudah dibacakan doa, shalat, dan dzikir, si anak tak juga sembuh. Salah seorang kerabatnya lantas melaporkan kepada nabi. Seketika Rasul bertanya kepada sahabat itu, "Apakah anak si Fulan sudah dibawa ke tabib?" Kemudian dijawab, "Belum ya Rasul." "Bawalah si sakit ke sana, kepada yang bisa mengobati dia, dan tentu disertai dengan doa dan dzikir."
Pendekatan agama turut mempercepat penyembuhan dikuatkan telaah ilmiah. Dalam Seminar Nasional Bimbingan Rohani Pasien (BRP) bertajuk Simbiosis Layanan Medis dan Spiritual di Rumah Sakit, di Jakarta (21/7), terungkap, beberapa survey membuktikan metode tersebut banyak membawa manfaat. Hanya sayangnya, masih banyak dokter belum mengetahuinya.
Pada kesempatan sama, Menteri Kesehatan RI Siti Farida Supari dalam sambutan tertulisnya mengatakan kaitan antara agama dan ilmu kedokteran sudah terjalin sejak lama. Ini antara lain ditandai dengan kiprah para ulama yang sekaligus juga berprofesi sebagai ahli kesehatan. Dan, dunia mengenal Ibnu Sina, Al-Farabi, dan lain-lain sebagai 'jagoan' dalam bidang kedoteran yang hingga kini teorinya masih dipakai.
Menurut Menkes, upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan harus terus dilakukan demi mengembangkan simbiosis religiusitas dan kesehatan di rumah sakit. Hal ini penting digarisbawahi, kata dia, untuk juga membimbing masyarakat bersikap rasional ketika mencari layanan kesehatan agar tidak terjebak dalam kesyirikan.
Sementara itu Dosen Agama Islam FKUI, Prof Dr H Junizaf SpOG, menyatakan, mengutip keputusan WHO, maka yang disebut sehat adalah sehat secara fisik, mental, dan sosial. Ketiganya ungkap Junizaf, saling terintegrasi. Namun pada perkembangannya, sebagian kalangan merasa ada sesuatu yang dilupakan yakni sehat spiritual. ''Ketika terbukti aspek kesehatan spiritual tersebut menjadi begitu penting, maka harus diperhitungkan untuk mencapai kesehatan tubuh seluruhnya.''
Mubaligh KH M Ihsan Arlansyah Tanjung mengungkapkan apa yang dialami sekarang merupakan buah perkembangan zaman yang memisah-misahkan berbagai aspek kehidupan. Proses sekularisme telah membawa paradigma segala hal harus berdiri sendiri, termasuk pemisahan urusan agama dan urusan duniawi. Hal itu ditanamkan secara terus menerus dan tanpa sadar, kata Ihsan, kini hampir semua orang berpikiran demikian. Akhirnya aspek kesehatan pun seolah terpisah-pisah urusannya, antara medis dan spiritual.
Meski begitu, dia melihat di berbagai asosiasi medis saat ini sudah terjadi perluasan definisi sehat, yang sejak tahun 1984 ditambah dengan sehat spiritual. "Tapi harus tiba saatnya sehat rohani tadi dipertegas lagi maknanya," tegasnya. Kata dia, jasmani dan rohani seseorang dikatakan benar-benar sehat bila dia mendapatkan arahan dan bimbingan ajaran yang benar. Makanya, Ihsan lantas mengusulkan agar visi bimbingan spiritual menjadi agenda di setiap rumah sakit. Jadi selain sembuh, rohani pasien juga terlayani agar terpelihara di jalan Allah.
( yus )
-----------------
Sumber : www.Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home