Tuesday, August 30, 2005

Ikhlas

Kebijaksanaan adalah tongkat yang hilang bagi seorang Mukmin. Dia harus mengambilnya dari siapa saja yang didengarnya, tidak peduli dari sumber mana datangnya. (HR Ibnu Haban) Engkaukah, Sonia Gandhi, perempuan berhati lilin? Perempuan berusia 57 tahun itu, tersenyum dan menggeleng lemah. Pipinya merona merah. ''Saya tidak pernah berpikir menjadi lilin karena saya tidak memiliki kearifan seorang Mahatma Gandhi,'' suaranya seperti berbisik ketika mengucapkannya. ''Saya hanya keturunan Italia yang memasuki klan Gandhi, jadi apalah artinya saya di tengah keagungan Gandhi?'' Saya terpana mendengarnya. Wujudnya berupa bayang hadir di hadapanku. Ia hadir di tengah kebeningan batin, seusai merenangi keteduhan malam yang hening, dalam kontemplasi diri.

Tiada nada sesal ketika ia mengucapkannya. Saya penasaran sehingga bertanya, ''Adakah karena engkau bukan Gandhi tulen sehingga mengundurkan diri?'' Senyum keibuan memekar di bibirnya. Ia seperti tidak mempedulikan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri India yang baru terpilih pada 18 Mei 2004 menjadi sesuatu yang menggegerkan. Tidak hanya di India, bahkan, sikapnya tersebut menjadi ironi di negeriku, ketika mereka yang merasa sebagai pemimpin bersiap-siap, untuk dipilih menjadi presiden. Bukankah menjadi orang nomor satu merupakan idaman? Setiap orang yang merenangi politik, niscaya sudi berakit-rakit, demi duduk di singgasana kepresidenan ataupun perdana menteri. Sejarah, bahkan, bagaikan kehabisan tinta untuk mencatat drama politik: intrik tragis dalam perebutan singgasana. Sejarah Indonesia, misalkan, anyir darah pada setiap suksesi.

Soekarno terpaksa turun dari singgasana kepresidenan setelah revolusi berdarah yang dikenal dengan nama G30S PKI menggenangi Indonesia. Soeharto yang menggantikannya, setelah lebih 32 tahun menduduki kursi kekuasaan, "jatuh" akibat gelombang unjuk rasa mahasiswa yang merenggut nyawa mahasiswa Universitas Trisakti. Begitupun Timor-Timur menjadi lautan api membuat BJ Habibie memilih mundur. Pelbagai fragmen tersebut, bukankah merupakan refleksi, betapa kuat magnet singgasana. Magnet tersebut seringkali menyebabkan arena pemilihan disulap menjadi arena gladiator. Pertarungan berdarah-darah tidak jarang mewarnai suksesi kepemimpinan di suatu negara. Bukankah di dalam berbagai bidang kehidupan - tidak hanya dalam kehidupan bernegara tetapi boleh juga dalam perebutan kekuasaan di suatu lembaga kita seringkali menyaksikan penguasa X menduduki singgasana setelah terlebih dahulu "menghabisi" mereka yang merintangi jalannya (bila meniti jalan singgasana dengan memijak kepala orang lain, tidakkah kekuasaan itu akan menebarkan bala?).

Pihak yang menang niscaya mengikis habis lawan politik agar tidak mengusik kekuasaannya. Sedangkan pihak yang kalah, belum tentu secara satria mengakui kekalahan, tetapi dengan pelbagai cara berusaha menelikung. Semua itu karena dengan kekuasaan di tangan, seseorang mampu membuat orang lain bertekuk lutut, di hadapannya. Sihir kekuasaan membuat orang berlomba-lomba ingin memilikinya. Apalagi tradisi kekuasaan terutama di negeri ini, seringkali memberikan keistimewaan: bila rakyat bekerja dengan kesepuluh jemari, maka sang penguasa cukup hanya dengan satu ruas jari yaitu jemari telunjuk yang menuding-nuding. Thomas Hobbes merumuskan kenikmatan kekuasaan tersebut sebagai: kenikmatan memiliki kekuasaan (power), kemegahan diri (self-glory), dan kesenangan hidup (pleasure). Tidak jarang, bahkan, pemuka agama pun mengejar kekuasaan dengan dalih demi menegakkan hukum Tuhan di bumi, kendati tidak sedikit justeru untuk menikmati pelbagai fasilitas. Bila sihir kekuasaan begitu memukau, mengapa engkau menolaknya, Sonia? ''Perdana menteri bukan menjadi tujuan hidupku,'' tukasnya.

Maka, dengan kerendahan hati Sonia Gandhi, memilih mundur. Ia memilih melipat ambisi pribadi, kenikmatan yang dijanjikan kekuasaan, dan menyimpannya di laci meja. Sonia memilih demikian demi mencegah retaknya persatuan India karena ia keturunan Italia. Bila demikian alasannya, betapa mulia rasa kemanusiaanmu, Sonia. Bukankah kerelaanmu mengorbankan kepentingan pribadi padahal singgasana kekuasaan telah menyerahkan diri kepadamu merupakan kemuliaan yang kian jarang dipertontonkan. Ajaran agamaku, Islam, menamakan kemuliaan semacam itu dengan ikhlas, suatu rasa yang mengiringi keinginan berkorban demi kemashalatan orang lain. Bukankah keikhlasan namanya, ketika lilin membakar tubuhnya hingga meleleh, demi menerangi kegelapan di sekitarnya? Begitupun keikhlasan yang mendorong sepotong kayu membakar dirinya demi menghangatkan kedinginan di sekelilingnya.

Dengan rasa kasih yang luas, menyebabkan seseorang berlapang hati, memberikan miliknya untuk digunakan orang lain kendati akibatnya ia kehilangan kenyamanan. Bagaimana jalan menggapai maqam ikhlas demikian? Tasawuf mengajarkan, semua bermula dan bermuara, kepada telaga hati. Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum di bukunya As-Sair Wa As-Suluk, misalnya, mensyaratkan agar pejalan rohani yang ingin mencapai maqam ikhlas mesti memelihara khalus (kejernihan). Segala sesuatu, menurutnya, memiliki kejernihan (ikhlas) berkait dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, sesaat hendak memulai perjalanan rohani, seseorang mesti terlebih dahulu membersihkan kotoran di pekarangan hatinya. Agar cahaya Al-Haq dan panasnya cahaya alam jabarut (kekuasaan Allah SWT) terserap, maka pejalan ruhani mesti menghilangkan hijab. Ia harus membersihkan hati dari berbagai kotoran (Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum, 2000:73).

Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum membagi empat tahapan pejalan ruhani untuk mencapai maqam ikhlas. Pertama, bentuk penyerahan diri kepada Allah dan sikap tunduk terhadap perintah-perintah-Nya. Kemudian, rasa aman dan ketenangan hati. Berikutnya, hati terbimbing menuju Allah SWT dan menjauhi suasana penyimpangan dan kemaksiatan. Terakhir, terdapat pengawasan dan terjalin hubungan "mesra" serta usaha yang cepat untuk mencapai tujuan. Ah, Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum terlampau rumit, dengan jalan tasawufnya. Kita, agaknya, belum mampu menjadi pejalan ruhani: mendaki ketinggian langit tasawuf, menyusuri kelandaian lembahnya. Baiklah kita sederhanakan wejangan sang guru yang lahir di Karbala pada tahun 1155 H itu. Bukankah membersihkan pekarangan hati bermula dari keinginan melakukan kontemplasi: apa makna kehadiran kita di bumi?

Di tengah perjalanan hidup, sejauh manakah kita memberikan manfaat bagi individu lain maupun alam persekitaran? Adakah timbangan lebih condong kepada kebatilan? Betul, mungkin kita bukan sosok yang gemar merenung, ketika Allah menyuruh hamba-Nya untuk suka memikirkan terutama yang mengaitkan dengan kemahakuasaan-Nya (lihat QS 3:191). Maka, sebelum mencapai maqam ikhlas, sebaiknya kita terlebih dahulu ikhlas untuk melihat penyakit hati sendiri: egok, tamak, dan merasa superior. Maka akhirilah malammu dengan kesudian menggeledah diri untuk kemudian mengawali pagi dengan perbaikannya. Dengan demikian kita telah memulai usaha membersihkan pekarangan hati. Ketika pekarangan hati mulai bersih, maka siramilah dengan zikirullah. Zikir menggiring kita untuk menghampiri-Nya. Di saat kita kian menghampiri-Nya, insya Allah kita pun dituntun mengikuti sifat-sifat-Nya. Bukankah Ia yang maha pengasih dan penyayang?

Dengan rasa kasih yang mensifati Allah, menyebabkan kita mengasihi sosok lain, bahkan, kehidupan ini. Rasa kasih senantiasa bermuara kepada keikhlasan memberi. Sonia Gandhi mungkin tidak memahami tradisi tasawuf yang rumit untuk mencapai maqam ikhlas. Tapi, ia seorang perempuan, seorang ibu yang dicitrakan memiliki lautan kasih tiada bertepi. Hati seorang ibu semestinya menawarkan kasih pengasuhan. Maka, bayangkanlah: di saat ia lebih memilih bahasa hati seorang ibu, maka ia memilih mundur dari singgasana, karena mengkhawatirkan bila ia tetap mendudukinya akan menimbulkan prahara yang merusak. Bukankah kasih seorang ibu senantiasa memelihara? Dengan kasih seorang ibu yang senantiasa memelihara, Sonia memilih menjadi lilin ataupun sepotong pohon. Bila Sonia Gandhi mampu menunjukkan kasih dan keikhlasan seorang ibu, akankah (kaum) ibu yang siap-siap menduduki singgasana di negeri ini, sudi mendengarkan bahasa kasih keibuannya?


------------------
Sumber : www.Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home