Pemenang yang Agung
Engkaukah sang pemenang ketika fajar 1 Syawal merekah? Engkau maupun saudara seiman yang tekun menempa diri dalam peribadatan niscaya menjadi pemenang. Maka, engkau laiknya samurai dengan tradisi menyaksikan matahari pertama terbit, berdiri di beranda menyaksikan langit di ufuk timur menyemburatkan warna kemerahan.
Keteduhan alam menyatu pada keteduhan hatimu. Sisa embun di permukaan kelopak bunga menggenangi pelupuk matamu.
Betul, engkau baru menangis, sebelum fajar terbit engkau menikmati ibadah lail sembari berzikir mendekatkan dirimu pada Khalik. Selama sebulan engkau tak terus menerus mengukir malam-malam Ramadhanmu dengan ibadah. Betapa 'pekerjaan' sebulan penuh itu membekas di hatimu sehingga enggan segera terpisah dengan malam-malam Ramadhanmu.
Tapi, takbir lamat-lamat masih bersisa, dari mushala yang tak jauh dari rumahmu. Hatimu pun bertakbir. ''Allahu Akbar Allahu Akbar wa lilla hilhamd.'' Takbir memang mengagungkan Allah. Tapi, takbir di malam Lebaran ini, sejatinya mengagungkanmu: sejak fajar hingga maghrib menahan lapar dan dahaga demi Allah.
Tak sekadar menahan lapar, engkau pun melatih segenap indramu, agar tak tunduk pada nafsu amarah yang menjadi fitrah manusia. Engkau seperti prajurit Allah bertempur habis-habisan, menaklukkan ego, nafsu, dan hal-hal buruk yang hendak bersarang di hati. Ah, betapa berat perjuanganmu, terutama ketika menjadi pejalan rohani di kota besar seperti di Jakarta. Betapa kegenitan duniawi yang mengepung terus membayangi. Betapa tayangan jelita senantiasa menggoda. Menjadi salik di kota besar justru memiliki tantangan tersendiri.
Tapi, engkau adalah prajurit Allah. Semakin keras tantangan yang menggoda, membuatmu kian kuat mengingat-Nya. Dengan hanya mengingat-Nya, maupun bertawakkal, berserah diri sepenuh-Nya, godaan-godaan menghilang. Maka Ramadhan menjadi wahana membangun rasa takwa dan tawakkal. Ramadhan tak sekadar bulan pengampunan, tetapi juga menjadi momen menempa diri, agar berhasil menjadi insan yang fitri.
Sebulan penuh engkau melatih diri. Terkecuali Islam, adakah ajaran lain yang mewajibkan penganutnya berpuasa, menempa diri dan membersihkan diri dari kekeliruan-kekeliruannya. Dalam bahasa berbeda, selain Islam adakah ajaran yang begitu kasih kepada penganutnya, memberikan ruang pada kesalahan sekaligus momen pemaafan dan membangun kesalihan? Ramadhan sejatinya merupakan wahana memanusiakan manusia. Dan engkau telah menyelami hingga ke dasar dari wahana memanusiakan manusia itu.
Maka, saat 1 Fajar merekah, setelah melalui pelatihan memanusiakan manusia, maka sejatinya engkau telah menjadi manusia yang agung. Kembali kepada fitri, kepada kesucian tatkala engkau pertama dilahirkan di bumi. Dalam bahasa kekuasaan, engkau semestinya menjadi manusia superior.
Tapi, mengapa engkau maupun Muslim lainnya, pada Idul Fitri tak merasa menjadi superior? Di hari kemenangan itu, engkau justru merasa menjadi manusia lemah, lalai dan penuh kesalahan. Engkau melalui SMS maupun berkunjung ke jiran dan sanak famili hadir untuk memohon agar dimaafkan kekhilafan yang disengaja ataupun tidak disengaja. Begitu juga engkau, berbeda dengan tabiat superior pada kekuasaan, begitu welas memberikan maaf bagi orang-orang yang datang untuk meminta maaf.
Bila demikian, betapa indah Ramadhan dan Idul Fitri, yang dapat menempa setiap Muslim untuk senantiasa menyadari kekhilafannya sebagai manusia ketika menjadi superior. Betapa agung Ramadhan dan Idul Fitri ketika mampu menempa sosok superior yang welas dalam rasa memaafkan. Engkaulah pemenang yang agung: memohon dan memberi maaf ketika berada di puncak superioritas.
Tapi, akankah keindahan dan keagungan Ramadhan dan Idul Fitri itu, tak melekang pada diri ketika waktu membuat kita semakin jauh dari Ramadhan dan Idul Fitri?
( Rudy Harahap)
-----------------------
Sumber : www.republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home