Wednesday, August 31, 2005

Pipiet Senja - Tawakal Membuat Kita Kuat

Jumat, 19 Agustus 2005


Apakah yang bisa diharapkan oleh seorang gadis remaja usia 17 tahun yang mengidap penyakit thalassemia, jantung, paru-paru, dan hepatitis B sekaligus? Dokter sudah memvonisnya tidak ada harapan hidup. `'Bawa pulang saja,'' kata dokter sebuah rumah sakit di Cimahi, Jawa Barat, yang merawat gadis bertubuh ringkih itu.

Pihak keluarga pun menurut. Gadis bernama Etty Hadiwati Arief itu dibawa pulang ke rumahnya. Mekereka secara bergiliran sibuk membacakan Alquran, berharap kalau-kalau ada mukjizat bagi kesembuhannya. `'Saya di-Yasin-kan, lalu di-geprakin (diperciki) dengan air Surah Yaa Siin,'' kenang wanita kelahiran Sumedang, Jawa Barat, 16 Mei 1957.

Tiga hari kemudian ia mulai sadar. Lalu keluarga membawanya kembali ke RS. `'Saya dijadikan kelinci percobaan oleh para dokter di sana. Saya dianggap kena penyakit kanker darah. Karena itu, saya diterapi dengan kanker darah, yakni melalui sumsum tulang belakang. Sakitnya bukan main,'' tuturnya.

Padahal penyakitnya itu kini dikenal dengan nama thalassemia, kelainan darah bawaan. Penyakit yang membuatnya harus cuci darah tiap bulan sekali.

Tiga minggu lamanya, ia dikarantina di RS itu, antara hidup dan mati. `'Kadang-kadang saya merasa seperti berada di bawah jurang yang dalam. Datang kakek dan nenek (almarhum) seperti mengajak saya pergi. Mungkin yang membuat saya bertahan saat itu adalah doa-doa ibu saya. Terdengar doa ibu saya, Teh , sing cageur. Rek dibawa ziarah ke Cirebon. (Teh, cepat sembuh, nanti dibawa ziarah ke Cirebon) yang merupakan kota keramat. Saya dengar doa ibu saya, tapi saya tak bisa bilang apa-apa,'' kata wanita yang kini lebih dikenal dengan nama Pipiet Senja itu saat berbincang dengan Republika di Kairo, Mesir, awal Juli silam.

Selama enam bulan lamanya ia harus menjalani perawatan di RS dengan segala kesedihan, kesepian, dan duka tak terperi. Termasuk harus dikeluarkan dari sekolahnya, SMA Inmindam, di Jl Perwira, Kodam Jaya, Jakarta. `'Sebagai remaja, saya sangat ingin punya teman. Karena itu, saat di RS saya mulai menulis,'' kenangnya.

Buah karyanya berupa puisi dikirim ke radio-radio di Bandung. Ia memakai nama Pipiet Senja. Tahun 1974 nama Pipiet Senja sudah menggema di radio-radio di Bandung. Namun saya belum berani mengirimkan karya ke majalah,'' paparnya.

Dari mana nama Pipiet Senja? Ternyata itu pun mempunyai sejarahnya sendiri. Suatu sore menjelang petang, ia berdiri di tepian sebuah sungai sambil memandangi pesawahan dan langit barat di seberang sana. Ketika itulah ia melihat kawanan burung pipit terbang menuju sarangnya. Hal itu memberikan ilham kepadanya.

`'Pipit adalah burung kecil yang ringkih. Itu sangat cocok dengan diri saya yang kecil dan penyakitan. Senja menggambarkan diri saya yang berada di ujung harapan. Seorang yang harapan hidupnya tak banyak lagi. Supaya lebih keren, saya tambahkan huruf `e' pada pipit menjadi Pipiet,'' ujarnya.

Hasil menulis puisi, ia belikan sebuah mesin tik di tukang loak. `'Setiap kali saya diopname, mesin tik butut itu selalu saya bawa,'' tambahnya.

Dari puisi, ia merambah dunia penulisan cerpen. Setahun kemudian, cerpennya dimuat di majalah Aktuil Bandung. Waktu itu, ada dua cerpenis kembar, yakni Yudhistira ANM Massardi dan Noorca M Massardi yang karya-karyanya sangat booming di media massa Jakarta. Saya merasa sangat tertantang untuk menaklukkan Jakarta,'' kenang wanita yang saat ini merupakan salah seorang penulis fiksi Islami terkemuka.

Ketika itulah, wanita yang pendiam namun punya selera humor tinggi itu, mulai menyadari ada sesuatu yang Tuhan berikan kepadanya di balik penyakit yang dideritanya, terutama thalassemia yang menyertainya sepanjang hidup. `'Saya akhirnya menyadari bahwa saya diberi kesempatan oleh Allah. Pasti penyakit ini ada maknanya. Saya harus mencari tahu makna tersebut,'' ujar aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) dan saat ini duduk di Majelis Penulis FLP.

Sejak saat itu, ia tidak pernah membuang waktu walau sedetik pun untuk selalu berkarya. `'Di mana pun ada kesempatan, saya selalu menulis,'' kata cerpenis dan novelis yang kini ke mana pergi selalu ditemani laptop kesayangannya.

Tantangan hidup yang harus dilewat oleh Pipiet Senja sangat berwarna. Tahun 1981, saat ia hamil delapan minggu, dokter memerintahkannya agar mengeluarkan janin tersebut. Alasannya, selama ini tidak pernah ada pasien thalassemia yang hamil. `'Pulang dari RS, saya menangis. Untuk apa saya menikah kalau tidak boleh punya anak.''

Akhirnya Pipiet nekad. Ketika itu ia bekerja sebagai reporter di tabloid Mutiara (Sinar Harapan Group). `'Saya minta job kepada kantor untuk ditugasi meliput ke Nusakambangan, dengan didampingi suami. Saya tidak peduli dengan omongan dokter. Saya yakin Allah Maha Penolong dan Pengasih,'' tegas penulis yang kerap diminta oleh sejumlah penerbit untuk menjadi editor tamu.

Seminggu di Nusakambangan, ternyata kehamilannya tidak mengalami gangguan. Saat usia kandungannya 8,5 bulan, anak pertamanya lahir. `'Dengan segala keterbatasan dan ketunaan diri, kalau kita yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, apa pun bisa kita lewati. Tawakal itu yang membikin kita kuat,'' tandasnya.

Setelah anak pertama lahir, badai menimpa rumah tangga Pipiet. Ia bercerai dengan suaminya selama tiga tahun, dan harus menjalankan peran sebagai orang tua tunggal. `'Saya pontang-panting harus merawat bayi yang baru berusia setahun sambil mempertahankan keadaan saya yang harus transfusi darah setiap bulan dan menulis.''

Pernah setahun lamanya Pipiet tidak melakukan transfusi darah. Ajaib, ia tetap hidup. Dokter sampai terheran-heran. Paling telat, harusnya tiga bulan sekali ia melakukan transfusi. `'Secara manusia, saya tidak mungkin bertahan. Ini betul-betul kekuatan Tuhan,'' ucap Pipiet penuh syukur.

Kini hampir 30 tahun sejak divonis mati oleh dokter akibat komplikasi penyakit, Pipiet masih hidup dan terus berkarya. Ia pun sangat energik. Selain sangat produktif menulis - lebih 70 buku novel dan cerpen yang telah ditulisnya --, ia pun tak pernah segan membagi ilmunya kepada siapa saja, khususnya para penulis pemula. Bersama suami, HE Yassin, dan dua anaknya, yakni Haekal dan Azimatinnur Siregar, ia saling berlomba menulis cerpen dan novel. Baik diterbitkan sendiri-sendiri maupun bersama.

Bukunya yang terkenal antara lain Lukisan Rembulan, Menggapai Kasih-Mu, Namaku May Sarah, Tembang Lara, Rembulan Sepasi, dan Meretas Ungu. Bukunya diterbitkan oleh berbagai penerbit, antara lain Mizan, Gema Insani Press, Zikrul, dan Senayan Abadi.

Ia telah keliling Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri, untuk menularkan kiat-kait menulis cerpen dan novel. Ia menganggap penyakit thalassemia adalah "teman" yang mendorongnya untuk memanfaatkan sisa umur dengan berkarya sebanyak mungkin dan berbagi ilmu dengan orang lain.

''Dengan segala keterbatasan saya, saya bisa keliling Indonesia bahkan sampai ke manca negara, hal itu sesuatu yang hampir tidak mungkin. Bagi manusia, musykil. Namun bagi Tuhan, tidak ada yang musykil,'' tambahnya. Untuk semua kenikmatan yang telah dan akan Allah berikan kepadanya, ia mengaku hanya bisa mengucap syukur yang tak habis-habisnya kepada Allah SWT.


( irwan kelana )
---------------------
Sumber : www.republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home