Wednesday, August 31, 2005

Lail

Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)...

Rahasia apakah yang tersembunyi di balik kepekatan malam? Tak seorang pun mengetahuinya kecuali mereka yang sudi menjauhkan rusuknya dari pembaringan. Imam Khomeini, agaknya, salah seorang yang mengetahui rahasia malam. Diriwayatkan, di masa pembuangannya di Prancis, mullah sepuh itu tak melewatkan malamnya tanpa tahajud. Ia berdoa demi bangsanya.

Ketika doanya disahuti Allah, maka ia melalui keheningan malam, mendapatkan kekuatan-Nya. Bayangkan: seorang mullah renta, nun, melalui tanah pengasingan mampu menggerakkan Revolusi Iran. Tak seorang semula mempercayai, seseorang renta yang kesehariannya hanya menggenggam tasbih, mampu menyulut api revolusi. Syah Iran yang menjadi representasi kekuatan Amerika Serikat (AS) pun hangus terbakar. AS yang menjadi sekutu, bahkan, tak mampu memadamkan bara api revolusi. Allah telah menunjukkan kemahakuasaan-Nya melalui mullah berusia senja terhadap dunia, bahkan, terhadap AS yang menjunjung rasionalitas.

Allah memang menciptakan malam untuk 'pakaian' hamba-hamba-Nya. Ketika malam yang menutupi cahaya siang --- yang merupakan salah satu tanda kemahakuasaan Allah --- merupakan pertanda bagi hamba-hamba-Nya untuk beristirahat ( mengenai malam sebagai saat istirahat dijelaskan di berbagai surat di antaranya, QS 6:96; 10:67; 27:86; 28:72-73; 30:23; 40:61).

Bila Allah memberikan malam untuk istirahat, mengapa IA memberikan 'kekhususan' pada malam? Selain merupakan tanda kemahakuasaan-Nya, bentuk 'kekhususan' pada malam, di antaranya dengan diturunkannya untuk pertama kali Alquran pada malam yang diberkahi (lihat QS 44:3. Di Indonesia umumnya pada 17 Ramadhan). Begitupun Allah memberikan bonus berkah yang luar biasa di salah satu malam pada Ramadhan yaitu lailatul qadar. Tak seorang pun tahu pasti bila malam seribu bulan tiba. Ketidaktahuan itu agar kita senantiasa menyisihkan rusuk dari pembaringan.


Begitu juga diriwayatkan, Allah pada sebagian malam turun ke lapis langit terendah, untuk menyaksikan apakah masih ada hamba-hamba-Nya yang beribadah dan berdoa pada-Nya. IA pun menjanjikan mengabulkan doa yang dipanjatkan pada saat itu. Janji tersebut merupakan bentuk 'kekhususan' pada malam.

Merupakan refleksi kemahakasih-Nya, Allah sesungguhnya tak menyembunyikan 'kekhususan' tersebut, di balik kepekatan gelap malam. IA, bahkan, menyuruh hamba-hamba-Nya untuk bangun pada sepertiga malam. Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat terpuji(QS 17:79. Lihat juga QS 73:20).

Almarhum Khomeini telah merasakan janji Allah. Keikhlasannya beribadah malam menyebabkan Allah mengangkatnya ke tempat terpuji: menjadi pemimpin revolusi, bahkan, menggantikan Syah Iran untuk memimpin negerinya sesuai syariat Islam. Kendati ia telah lama wafat, rakyat Iran hingga kini mengenangnya sebagai pemimpin sejati.

Dalam tataran berbeda, saya mengenal seseorang yang tekun menghiasi malamnya dengan ibadah. Dia adalah Rokhmin Dahuri. Anak nelayan di Cirebon ini, sejak muda tekun shalat lail, hingga kemudian Allah mengangkatnya ke tempat terpuji: menteri perikanan dan kelautan. Jabatan yang muskil diraihnya saking susahnya bersekolah karena lahir di tengah keluarga nelayan bersahaja.

Bila Allah memberikan 'kekhususan', atau sebutlah bonus, pada malam beralasan. Di sepertiga atau dua pertiga malam merupakan saat terlelap seseorang beristirahat. Di saat seperti itu, seseorang berjuang melawan kantuk, dan udara dingin yang meninabobokkan. Apalagi bila membayangkan betapa asyiknya orang-orang tertidur.

Tapi, bukankah keikhlasan namanya, ketika seseorang beringsut dan menjauhkan rusuknya dari pembaringan demi beribadah kepada Allah? Keikhlasan, menjadi sesuatu yang tak bertara, karena sudi menyisihkan kantuk. Padahal siapakah yang melarangmu tertidur ketika IA sendiri memberikan malam untukmu beristirahat. Di tengah konteks demikian, betapa dalam makna ikhlas, ketika kita sudi terjaga di tengah kebeningan malam di saat khusyuk lebih mudah teraih (lihat QS 73:6).

Tak mengherankan, Allah mengganjar keikhlasan hamba-hamba-Nya yang sudi menjauhkan rusuknya, dari pembaringan. Tak sekadar turun ke lapis langit terendah dan mengabulkan doa hamba-Nya yang masih beribadah, IA pun memberikan ketenangan batin. Bukankah ketenangan batin pun merupakan tempat terpuji ketika orang-orang, di hari-hari ini, remuk dan gelisah oleh ambisi duniawi?
( Rudy Harahap)

---------------------
Sumber : www.Republika.co.id