Wednesday, August 31, 2005

Demi Masa

Siapakah pemunggah peradaban majusi? Kita yang senantiasa membusungkan keislaman justru tanpa disadari menjadi pemunggah budaya dan peradaban non-Islam. Kita, misalkan, lebih familiar menghitung hari dengan menggunakan kalender masehi. Banyak lagi produk budaya Barat -- yang menjadi representasi peradaban non-Islam - karib dengan kehidupan kita.

Tapi, baiklah, kita jujur saja mengakui sebagai pemunggah peradaban yang kalah. Peradaban Islam memang pernah berjaya sebelum tarikh masehi. Berbagai penemuan seperti kedokteran, matematika dan fisika, bermula dari kejeniusan cendekiawan Islam. Namun, perebutan kekuasaan --- yang seringkali hingga kini menjadi virus yang menggerumus nilai-nilai keagungan Islam --- menyebabkan peradaban Islam yang agung berkubur.

Baiklah sebagai pemunggah peradaban yang kalah, kita menerima kebudayaan asing merasuki atmosfer kehidupan kita. Kita dapat menghibur diri, di tengah era globalisasi, tak lazim mempertikaikan kepemilikan budaya. Globalisasi berarti berbaurnya berbagai bentuk budaya menjadi (menjelma) bentuk budaya baru. Tapal-batas menjadi tak berarti.

Maka tak perlu terlampau menyesali diri jika kita familiar dengan perhitungan waktu melalui tarikh masehi (kendati demikian, kita selaiknya memberi salut dan respons positif kepada setiap individu maupun lembaga seperti Republika yang senantiasa berupaya mengingatkan melalui perayaan tahun baru hijriyah). Bahkan, Malaysia yang memberi ruang atmosfer yang luas bagi peradaban Islam, tetap menyisakan ruang bagi peradaban masehi.

Maka, sebagai pemunggah peradaban gado-gado, kita pun turut hanyut pada perayaan ria tahun baru masehi. Seperti penduduk di Amerika ataupun Eropah, kita begadang semalam suntuk pada 31 Desember 2003, turun ke jalan-jalan: di tengah gemertap kembang api yang menawarkan warna warni, kita hanyut pada histeria massal. Mungkin kita memiliki kelebihan uang sehingga turut hanyut pada keriaan pesta melepas tahun lama dan menyongsong tahun baru. Keriaan seringkali menawarkan kemabukan. Maka di puncak kemabukan, kita saling berpelukan, mengangsurkan pipi untuk dikecup, seusai histeria perhitungan mundur.

Perlukah histeria demikian? Bila sedia menjadi sekadar pemunggah peradaban yang kalah, kita memang gampang dihanyutkan histeria massal. Secara psikologis, mereka yang terhanyut pada lautan histeria (massal), memang tak memiliki jati diri yang kukuh. Dengan demikian, integritas diri menjadi hablur, ketika memasuki histeria massal.

Tak demikian bagi mereka yang senantiasa mempertahankan jati dirinya. Di tengah lautan histeria, mereka masih berusaha mempertahankan keagungan jati dirinya. Mereka, bahkan, masih menyisakan ruang betapa Islam bersama peradabannya merupakan keagungan hidup.

Maka, di tengah keriaan histeria melepas tahun lama dan menyongsong tahun baru, mereka menyisih ke lorong sunyi kehidupan. Mereka, para pejalan ruhani itu, memilih melakukan perenungan: hakikat sang waktu. Bukankah Allah melalui surah Al Ashr --- yang merupakan simbol keagungan Islam pada perhitungan sang waktu --- telah mengingatkan manusia menjadi sosok yang merugi jika tak pandai memanfaatkan waktu?

Maka, di tengah keriaan histeria massal, para pejalan ruhani menemukan kesejatian sang waktu. Betapa tarikh yang terus berganti, seperti pergantian siang pada malam, bukan sekadar penanda ukuran kesuksesan manusia di dunia. Kesejatian pergantian waktu justru penanda berkurangnya usia manusia di bumi. Tahun yang berganti, bagaikan keranda yang berjingkat, mengantar kita ke liang lahat.

Bila kita sebagai pejalan ruhani, memahami hakikat sang waktu, patutkah hanyut pada histeria massal? Kita justru semestinya terisak, ketika memahami betapa waktu telah menggiring kita ke liang lahat, sementara masih lalai melaksanakan amanah Allah di muka bumi.

Maka, saat menghitung hari, ketika tarikh terus berganti, selaiknya membuat kita berlomba untuk membuat amal-kebajikan. Amal-kebajikan itu merupakan jalan menghampiri-Nya. Ini agar kita tak menjadi insan yang merugi. Bukankah Allah telah mengingatkan, demi masa, sesungguhnya manusia itu merugi!




( Rudy Harahap )
----------------------
Sumber : www.Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home