Instant
Bila Dia menghendaki sesuatu hanya berkata kepadanya: "Jadilah" maka terjadilah ia (QS. 36:82)
Mengapa engkau membiarkan anakmu mengidolakan Doraemon? Ketahuilah, barangsiapa yang meleluasakan buah hatinya mengidolakan Doraemon, maka tanpa disadari membiarkan anak berpikir instant. Bukankah Doraemon dengan kantung ajaibnya mengajarkan "bila mampu melakukan sesuatu seketika, mengapa mesti menelusuri proses?"
Doraemon memang telah karib dengan wawasan hidup anak-anak kita. Film kartun dari Jepang ini menghadirkan Nobita yang bersahabat dengan kucing Doraemon. Maklum, kucing asal Jepang, sehingga ia memiliki kantung ajaib yang boleh menjawab pelbagai kerumitan hidup dalam seketika. Nobita tidak berjaya dalam ujian? Silakan melapor kepada Doraemon, maka, dalam seketika terselesaikan kegagalannya. Kehilangan permainan? Doraemon dengan kantung ajaibnya segera dapat menghadirkan permainan yang hilang.
Bila menyimak kisahnya, memang tiada yang ganjil. Bukankah cerita pada anak sebaiknya menawarkan kekayaan imajinasi, petualangan yang menggairahkan, agar anak yang gampang jemu senantiasa terpikat? Doraemon dengan kantung ajaibnya menawarkan semua citarasa hiburan bagi anak-anak. Bahkan, kita sebagai orangtua, merasa maklum saja: bila film kartun tidak menawarkan kekayaan imaji, jelas bukan film kartun. Bukankah setiap film kartun berperangai demikian? Lihatlah:
Tom & Jerry, Donald Bebek, hingga Power Rangers. Tom & Jerry, misalkan, tidak pernah letih saling kejar, bahkan, sekalipun tubuh sang kucing telah tercincang akan segera utuh kembali demi mengejar si tikus. Logika manakah yang mampu menerima keajiban tersebut? Tidak heran, kita enggan merenungkan hakikat Doraemon (maupun film kartun lainnya), bagi perkembangan spiritual anak. Kita merasa oke-oke saja, bahkan, ikut-ikutan bersiul mengikuti irama musik Doraemon. Siulan pertanda setuju, tidak jarang malah, turut bergabung dengan anak menontonnya. Bukankah Doraemon merupakan idiom bahasa anak-anak zaman modern?
Betul, Doraemon memang mewakili semangat, kemajuan peradaban teknologi. Setelah Revolusi Industri (teknologi) ---- seiring penemuan seperti mesin cetak oleh Gutenberg di Jerman pada tahun 1450 --- sejarah mencatat kejutan demi kejutan dari penemuan teknologi. Harap dimaklumi: penemuan ini bermula dari masa Pembaharuan (Renaissance) pada abad ke-15. Dengan tokoh seperti Nicolo Machiavelli (1467-1527) mahupun Michelangelo (1475-1564), suasana hidup di Eropah pada masa itu, diwarnai dengan memudarnya kuasa gereja. Pemikiran zaman justru mengagungkan rasionalitas dan kebebasan manusia sebagai insan berpikir. Benih yang menebar cara berpikir demikian di antaranya Descrates yang menawarkan konsep sekuler: manusia terpaksa bergantung kepada dirinya bukan kepada takdir Tuhan. Semangat zaman diwarnai pemberontakan atas pelbagai kungkungan termasuk agama (Siebert, 1956:44).
Semangat zaman demikian menyebabkan tiadanya ketabuan berpikir, bahkan, mengeksploirasi pelbagai dimensi kehidupan termasuk dalam alam semesta. Bila penyimpangan psikologis dianggap masyarakat pada zaman Yunani maupun Romawi kuno sebagai kesurupan roh jahat, maka ilmu psikologi modern berazaskan pada riset menyimpulkan sebagai penyimpangan psikologis (Davidoff, 1981). Bahkan, perkembangan ilmu pengetahuan sekuler pada akhir dekade 1990-an melalui penelitian genetik, tiba pada kecongkakan: bukan hanya Tuhan maha pencipta, ilmu genetik pun mampu membuat cloning. Bayi domba Dolly ---- yang kemudian hari mati, sekaligus membuktikan ilmu genetik manusia belum seberapa ada berbanding ilmu Allah ---- menjadi lambang keangkuhan ilmu pengetahuan sekuler.
Perkembangan sains dan teknologi melahirkan budaya baru: berkat sihir teknologi, kita boleh melakukan apa saja dalam masa seketika. Serba instant, seperti pengertian kata tersebut: jenak, saat segera; instantly: serta-merta. Bila dahulu untuk berkirim kabar melalui surat pos memerlukan waktu berhari-hari, bukankah kini dapat seketika melalui e-mail?
Sihir teknologi yang disifati massal dan seketika, menciptakan budaya pop yang serba instant.
Budaya instant ini secara psikologis memanjakan, membuat orang malas pada proses (jika boleh melakukan sesuatu dalam hitungan menit, mengapa mesti menunggu hari). Puncaknya ialah membuat seseorang yang tersihir budaya instant secara psikologis memuja kenikmatan dan enggan bersusahpayah. Tak heran, budaya instant yang lahir dari rahim budaya Barat ketika menyihir bangsa, justru menimbulkan gegar: semasa memiliki kuasa, mengapa tidak mengambil keuntungan, agar seketika kaya. Bukankah budaya materialisme yang juga lahir dari budaya Barat, menyebabkan pemujaan pada kebendaan?
Tapi, apa hubungan semua itu dengan Doraemon? Doraemon mewakili semangat budaya semacam itu. Di balik suguhan kekayaan imaji yang membuat kita merasa senang -- bukankah anak kreatif ialah anak yang memiliki kekayaan fantasi -- sejatinya Doraemon menawarkan budaya instant bagi jiwa belia yang belum tahan menghadapi gempuran psikologis. Bila sejak dini mereka dikenalkan pada budaya instant melalui tontonan, bukankah seperti air yang menetes di atas batu, mampu mengikis moral Islami yang ditanamkan orangtua?
Bertentangankah budaya instant dengan moral Islami? Saya bukan ahli agama yang boleh menjawab dengan tepat. Tapi, bukankah Islam mengajarkan kepada penganutnya, untuk sabar dan tawakkal? Budaya instant tidak memberi ruang pada kesabaran ketika mencetak penganut budaya instant menjadi pribadi yang bergegas. Ketawakkalan, ah budaya instant tidak mengenal pengertian itu, ketika penganutnya diharapkan tidak perlu melalui proses rumit, agar seketika mendapatkan hasil. Bukankah sabar dan tawakkal itu hanya untuk sosok yang tertatih-tatih mengikuti jalan rumit, jatuh-bangun, untuk mencapai tujuan?
Begitupun bukankah penciptaan Adam, moyang manusia di bumi, melalui serangkaian proses: bermula dari tanah, kemudian ditiupkan ruh. Bahkan, proses penciptaan Adam seperti di buku As-Sair Wa As-Suluk dilukiskan: Maka selesailah fermentasi tanah Adam as, bapak manusia, selama empat puluh hari. Dalam bilangan ini, dia melewati alam dari alam-alam kesiapan (Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum; 2000:33). Bila Allah memiliki ilmu yang maha-instant yaitu kun fayakuun, mengapa melalui proses dalam menciptakan Adam? Begitupun bila kita merenungkan, mengapa ayat suci Al-Quran diturunkan bertahap, ketika kita memahami dalam proses penurunannya Allah mempertontonkan kemahaan-Nya: di suatu masa mengutus Jibril untuk mengajarkan (menggunakan proses dan tahap mediasi melalui Jibril) dan kali lain "mewahyukannya" ke hati Muhammad (proses seketika). Allah pun telah berfirman: Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur (QS Al Insaan [76]:23)
Mengapa mesti berangsur-angsur ketika Ia memiliki kun fayakuun? Allah yang maha, mengetahui serba keterbatasan hamba-Nya. Bukankah Allah berfirman: ''Dan Alquran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia (QS Al Isra [17]:106). Dengan demikian, ada nuansa proses kekhidmatan: anggun dan tenang di saat "menghadapi" Alquran. Di sisi lain, Allah yang maha, mengetahui bila hamba-Nya tidak melalui proses yang bertahap, dapat menggoyang keimanan. Bukankah di saat keterbatasan terlampaui (tidak menggunakan proses yang rumit), hati manusia seringkali merasa superior, sehingga mengabaikan-Nya?
--------------------
Sumber : www.Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home