Gaya Hidup Islami
Bulir air mata menggantung di pelupukmu. Mengapa engkau gundah ketika seseorang mengembalikan uang seringgit kepadamu? ''Saya terharu bukan karena nilai uangnya,'' suaramu tersekat kepiluan. Di depan Plaza Metro di Kajang, Malaysia pusat perbelanjaan senantiasa menjadi lambang supremasi uang di dunia engkau, seseorang yang tak bernama di negeri hijrah, merasakan kepiluan luar biasa. Satu ringgit memang tidak berarti banyak terutama ketika menginjakkan kaki ke pusat-pusat perbelanjaan. Tapi, engkau merasakan kekayaan rohani luar biasa, di balik nilai seringgit. Kekayaan rohani itu bermula ketika engkau menumpang taksi. Berbeda dengan pengemudi taksi di negerimu, supir taksi yang mengantarmu ke Metro Kajang, tidak menghidupkan argometer.
Akibatnya, engkau khawatir bila supir taksi tersebut sama dengan segelintir pengemudi taksi di negerimu: tidak menghidupkan argometer karena ingin memeras isi kantong penumpang. Agar tidak menjadi korban pemerasan, maka dengan semangat prasangka yang gampang menghuni bilik hati orang-orang di kotamu, engkau memberikan uang pas enam ringgit Malaysia (RM). Engkau memperkirakan jumlah itu pantas untuk jarak perjalanan yang ditempuh. Bahkan, dengan prasangka yang terus menguntit, engkau tergopoh-gopoh beranjak dari taksi. Sang supir segera memanggilmu. Setan dalam bentuk prasangka buruk semakin menggerumusmu. Bukankah supir itu merasa pembayaran kurang, sehingga memanggilmu untuk menambah uang pembayaran? Engkau pun bergegas hendak berlalu. Tapi, sang supir menghampirimu, sembari tersenyum mengembalikan uang seringgit.
''Jumlah ini kebanyakan untuk saya, cukup lima ringgit,'' ujar supir tersebut tanpa melepaskan senyum di bibirnya. Engkau terhenyak. Bukankah engkau terlanjur menyamakan sang supir taksi dengan para supir taksi di negerimu. Setiap supir taksi, demikian pikiran yang menjebakmu, mesti memeras keringat hingga 24 jam untuk mendapatkan uang yang dibawa pulang ke rumah. Perjuangan yang keras di jalan raya, menyebabkan mereka tega memeras ataupun setidaknya berharap tips, dari setiap penumpang. Demi memenuhi nafkah keluarga, mereka seringkali menghalalkan segala cara. Tapi, mengapa supir taksi ini, berbeda dengan pengemudi taksi kebanyakan? (Di Malaysia, pun ada juga supir taksi yang nakal). Ia seorang Muslim yang mengawal perilakunya dengan nilai-nilai keislaman.
Mungkin kelebihan seringgit akan berarti banyak baginya: mengusir rasa lapar dari perut anak-anaknya. Tapi, bagi seseorang yang senantiasa mengawal perilakunya dengan nilai keislaman, seringgit yang dapat membuatnya menjadi pahlawan di mata anak-anaknya dapat berarti merusak marwahnya sebagai khalifah Allah di bumi. Dengan demikian, ia memilih mengembalikan uang yang bukan haknya, yang dapat mencemari ibadahnya. Bukankah ia berpusing-pusing seharian di jalan raya demi nafkah keluarga? Memenuhi nafkah keluarga merupakan ibadah di hadapan Allah. Maka, wahai lelaki dari negeri korupsi, nestapa menggerumusmu. Uang seringgit dan seorang supir taksi yang jujur menjadi pembelajaran luar biasa ketika engkau menuntut ilmu di negeri orang. Betapa seorang supir taksi yang dalam strata angkatan kerja menduduki peringkat rendah justru mulia.
Ia jauh lebih bermarwah dibandingkan sebagian pemimpin di negerimu yang gemar korupsi. Tidak sekadar seorang supir taksi yang memberikan pembelajaran terhadapmu. Engkau yang terbiasa dengan gaya hidup Jakarta enggan menebar senyum dan bersikap elu-elu, gue-gue terkesima ketika orang yang berpapasan denganmu melemparkan senyum (sahabat-sahabatmu seperti Rusilanti maupun Samsul Muarif yang di awalnya menganggapmu angkuh dan berwajah dingin, tentu terperangah karena kini engkau lebih mudah senyum) terhadap orang asing. Selama ini engkau memahami bila senyum merupakan bahagian dari akhlak seorang Muslim. Tak ayal etika agama mengandaikan senyum refleksi keimanan seseorang. Bukankah junjungan umat Islam, Nabi SAW saat ditanya, ''Islam yang bagaimana yang baik?'', menjawab, ''Membagi makanan (kepada fakir miskin) dan memberi salam kepada yang dia kenal dan yang tidak dikenalnya.'' (HR Al Bukhari).
Nabi SAW pun pada berbagai kesempatan menekankan air muka yang simpatik sebagai bahagian dari akhlak seorang Muslim (lihat hadis yang diriwayatkan Adailami yang menyebutkan akhlak seorang Mukmin ialah berbicara baik, tekun menyimak pembicaraan orang, berwajah ceria saat berjumpa dengan orang, selain menepati janji. Begitupun Abu Yu'la dan Al Baihaqi meriwayatkan bahwa seseorang tidak dapat memetik simpati orang lain dengan hartanya terkecuali dengan wajah simpatik dan akhlak yang baik). Dengan air muka yang cerah dan senyum terkulum, seseorang terpelihara dari perasaan tinggi hati, sifat yang tidak disukai-Nya. Dengan memberikan ucapan salam bukankah assalamualaikum merupakan pinta keselamatan dan kesejahteraan bagi orang yang diberikan ucapan salam tersebut niscaya terjalin persatuan antarumat; sesuatu yang kian renggang di Tanah Air.
Menjalin persatuan antar-Muslim, bagimu di negeri hijrah, bukan sesuatu yang sukar. Berbeda dengan sebagian pemimpin Islam di negerimu yang sibuk mendiskusikan masalah tersebut sehingga terkesan muluk, engkau justru menemukannya dari perbuatan nyata. Misalnya, di saat engkau karena keteledoran sehingga kehabisan bensin dan mendorong motor, sekonyong-konyong seorang remaja yang mengendarai motor menghampirimu. Dengan santun ia menyapamu lalu menawarkan bantuan menarik motormu ke pompa bensin. Seorang remaja yang di negerimu identik dengan gaya hidup cuek justeru mengajarkanmu bagaimana beramahtamah dan menawarkan pertolongan. Bukankah keramahannya dan pertolongannya merupakan ibadah kecil yang membuka gerbang persaudaraan?
Puncaknya, engkau terkesima ketika mengetatkan baut kaca matamu, di kedai optik. Di saat engkau hendak membayar jasa pekerjaannya, pemilik optik yang keturunan Cina menampik. ''Itu senang saja, bukan kerja sukar,'' tampiknya, tersenyum. Engkau begitu terkesima karena di negerimu etnis seperti itu memiliki citra pantang menampik uang. Maka, wahai lelaki dari negeri yang penduduknya mayoritas Islam, engkau mengusap pipi yang basah oleh air mata. Kenapa negeriku tidak menawarkan gaya hidup Islami ketika bangga dengan jumlah penduduknya yang Islam? Bahkan, tidak sedikit yang sangat menguasai ilmu pengetahuan Islam, justru menzalimi saudara seimannya!
( Rudy Harahap )
-----------------------
Sumber : www.Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home