Wednesday, August 31, 2005

Menghampiri-Mu

Ia semula sosok yang necis. Kariernya mengkilap. Di usia relatif muda, ia telah menjadi orang pertama, di perusahaan X. Kendati demikian, impiannya bagai bintang berbinar, di langit malam. Ia ingin meraihnya untuk disematkan di pundak. Untuk itu, sebutlah, Tuan Z bekerja lebih keras. Dengan perencanaan matang, ia berharap, di usia 40-an dunia ada di genggamannya.




Terwujudkah impiannya? Badai krisis ekonomi bagai tsunami yang melumat banyak perusahaan perkasa di negerinya. Tak urung, perusahaan X terhempas, berantakan. Seiring dengan itu, impian Tuan Z turut tergulung. Ia yang semula supersibuk, dalam sekejap menjadi pengangguran. Kehidupannya dulu dan kini bagai bumi dan langit. Tuan Z frustasi.



Memang, tak ada yang mustahil bagi Allah. Semua rahasia langit dan bumi ada di genggaman-Nya. Dan tiada perkara yang sulit bagi-Nya. Jika Ia menghendaki, maka seperti firman-Nya, ''jadilah'' maka terjadilah. Di puncak frustasi, Allah mempertemukannya dengan seorang tua sederhana. Sisa naluri borjuis yang belum sepenuhnya hilang, menyebabkan Z semula memandang sebelah mata dengan sosok renta tersebut. Tapi, siapa menyangka, di balik kebersahajaannya, ia justru menawarkan kekayaan makna kehidupan? Z jadi senang mengobrol, bahkan, tanpa disadari orang tua itu seperti magnet yang menyedot perhatiannya.



Dengan halus, tanpa disadarinya, orang tua itu mengenalkannya pada hakikat kehidupan. Kehidupan, demikian sang kakek berwejang, tak bermuara pada dunia. Kehidupan justru bermula dari dunia. Muara kehidupan ada di akhirat, sesuatu yang sebelumnya diyakini Z sebagai ilusi indah mereka yang tersingkir dalam persaingan kehidupan di dunia. Apa dan bagaimanakah akhirat itu, bagi Z di saat menjunjung rasionalitas dan tekun mengukir karier, tak terbukti sehingga tak perlu terlampau diyakini.



Tapi, kehidupannya kini, merupakan pembuktian kenyataan dari yang tak nyata (gaib). Bukankah ia telah menapaki tangga demi tangga, sehingga secara teoritis, akan mencapai ke puncak? Di sisi lain, bukankah ia telah membuat perencanaan kehidupan yang sempurna, sehingga tidak ada lubang kegagalan. Tapi, siapa yang menyangka, krisis ekonomi --- absurditas ilmu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya - dengan mudah memporandakan perencanan kehidupan, bahkan, akhirnya kehidupannya sendiri? Siapa yang menyangka, misalkan Soeharto yang superkuat, lengser secara dramatis? Bila fakta yang kokoh bisa mendadak berubah menjadi fatamorgana, tentu ada sesuatu yang memiliki superioritas kuadrat (baca: kemahaan) yang mampu mengubahnya.



Siapakah Sang Superioritas itu? Dengan kearifannya, sang kakek membimbingnya, untuk menghampiri-Nya. Setelah mengembalikan Z kepada kebiasaan masa kecil yaitu melaksanakan ibadah wajib, secara perlahan sang kakek mengenalkan ibadah sunnah, seperti memperbanyak dzikir. Sang kakek mewejang, bagaimana kamu dapat menghampiri-Nya, jika tak mengenal dan mengingatnya. Ibadah wajib, mengaji, bahkan, mengkaji (merenungkan) kehidupan dan alam semesta merupakan upaya mengenal-Nya. Allah berfirman, ''Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran'' (QS: 16:13).



Dengan ruh milik Allah di dirimu, demikian sang kakek menasihati, yang terlebih dahulu dibersihkan niscaya kamu mengenal-Nya. Pengenalanmu ada dalam ketiadaan-Nya yang kasat mata. Mata hatimu yang melihat-Nya. Dan bila mata hatimu telah mengenal-Nya, meyakini keberadaan-Nya, niscaya engkau ingin menghampiri-Nya.




Bagaimana jalan menghampiri-Nya? Allah telah menjanjikan, ''barang siapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh'' (Al Kahfi: 110). Secara umum, amal saleh, selain tak melepas ibadah wajib sekaligus memperbanyak ibadah sunnah, baik kepada-Nya maupun pada sesama insan dan alam semesta. Pernahkah terlintas di pikiran, misalkan, keikhlasan seorang ibu menyapu jalanan di depan rumahnya -- tak sekadar membersihkan jalanan, juga membersihkan taman hatinya -- untuk berjumpa pada Sang Kekasih? Sesuatu yang sepele, tetapi dikerjakan dengan keriangan hati untuk orang banyak, justru bernilai penting di mata-Nya. Sesuatu yang seringkali luput dalam perilaku keseharian kita.



Jalan khusus, demikian wejangan sang kakek, melalui tarekat. Banyak tarekat seperti Qadiriyyah, Chisytiyyah, maupun Naqsyahbandiyyah menjadi jalan untuk menghampiri-Nya. Berbeda dengan amalan umum yang terkesan ringan, laku pada setiap tarekat lebih khusus. Dengan bimbingan guru spritual (mursyid), para salik dituntun untuk berbicara (kalam), berjanji (mau'id), dan bertemu (liqa').



Melalui perjalanan yang keras dan menuntut kedisplinan diri, para salik dibimbing secara bertahap melampaui maqam demi maqam. Berbagai halangan dan cobaan, merintangi pada setiap maqam. Dengan demikian, dibutuhkan guru pembimbing, untuk dapat melampauinya. Antar tarekat, jenis dan jumlah maqam dapat berbeda, tetapi intinya mulai pembersihan ruhani, ikhlas, hingga pencapaian pada-Nya.



Melalui jalan tarekat, para salik diajarkan untuk senantiasa mengingat-Nya. Helaan napas menjadi dzikir. Dzikir menjadi wahana untuk mengingat-Nya. Allah pun telah menunjukkan hal tersebut yaitu ''Berdzikir dan ingatlah nama Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang'' (QS: 33:41-42). Masing-masing tarekat memiliki metode tersendiri untuk dzikir.



Lazimnya, dzikir itu meresapkan La ilaha illalah hingga Allah ke hati, bahkan, ke sekujur tubuh (banyak buku yang mengungkapkan metode dzikir pada tasawuf di antaranya Zikir & Kontemplasi dalam Tasawuf karya Dr. Mir Valiuddin). Pada tingkatan tertentu, seorang salik dapat mengatur hatinya untuk 'otomatis' berdzikir, kendati ia sedang bekerja, bahkan, bicara dengan orang lain. Begitu juga banyak rahasia Allah yang disingkapkan hijabnya bagi mereka yang mencapai tingkat (maqam) tertentu. Melalui upaya mengingat terus-menerus itulah, Ia menghampiri hamba-hamba-Nya. Berkaitan dengan ini, Allah telah menjanjikan, ''Maka ingatlah Aku, pasti Aku akan mengingatmu...'' (QS: 2:152).




Di tingkatan tertentu itu, seperti diungkapkan Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum di bukunya As-Sair Wa As-Suluk, hakikat keimanan menguat dan keyakinan hati mengkristal. Berbagai ketergantungan materi dan tujuan duniawi secara perlahan terhapus. Sebagai gantinya, cinta dan ikhlas pada Allah semata.



Z, melalui bimbingan guru spritualnya, kini menjadi pejalan ruhani. Ia tak lagi tertipu pada kehidupan dunia seperti yang ditamsilkan Allah pada surah Al Kahfi (ayat 32 dan seterusnya). Di saat Allah melimpahkan hidayah kepadanya, dunia justru tak sekadar di genggam seperti obsesi masa silamnya, tetapi didudukinya.
( Rudy Harahap)
-------------------------
Sumber : www.Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home