Wednesday, May 20, 2009

Ustazah yang Lelah

ETOS

‘’Miii....!’’ Teriakan melengking macam ini jadi menu sehari-hari telinga Ny Suwarni (36).


Saat kedua anaknya akan berangkat sekolah, juga ketika mereka pulang sekolah hingga lelap tertidur. Perangai bapaknya ditiru dengan baik oleh Azis dan Adinda, anaknya itu.


Dengan tertatih-tatih, ibu muda bertubuh ringkih yang dipanggil Umi Dinda tersebut, akan melayani anaknya menyiapkan seragam, sarapan, makan siang, jajan, mencarikan kaus kaki yang tercecer, dan seterusnya.


Semakin besar, si sulung Azis yang hampir masuk SMP, malah kian ‘’gede adat’’. Sedikit saja keinginannya tidak kesampaian, bakal ngamuk. Begitu pun adiknya, Adinda, tak segan-segan memukul atau menjambret jilbab ibunya bila ngambektak terpenuhi kemauan dia. Mereka tak mau tahu betapa penghasilan ibunya jauh dari mencukupi untuk sekadar makan saja tiap bulan.


Semua itu harus Umi Dinda tanggung sendirian. Sejak beberapa tahun terakhir, warga Kampung Pondokmiri, Desa Rawakalong, Kecamatan Gunung Sindur, Bogor, ini ditinggal kawin lagi oleh suaminya. Dan hingga kini, sang suami hidup bersama istri muda serta anak mereka di Tangerang. Menelantarkan istri tua bersama kedua anak dengan nafkah paling banyak Rp 400 ribu sebulan.


Pernah, beberapa kali Umi Dinda coba untuk memperjelas statusnya perkawinannya dengan suami. ‘’Kalau mau cerai, ya ayo diurus Mas. Kalau tidak, ya tolong lebih diperhatikan anak-anak kita,’’ katanya pada suami.



Tapi, lelaki itu lebih suka menggantung nasib Suwarni. Dicerai tidak, dinafkahi pun nyaris tidak. Apalagi setelah dia punya anak dari istri muda.


Sebelum itu, Azis dan Adinda masih suka diajak bapaknya ke rumah istri muda. Anakanak itu dimanja dengan bermain, pulangnya dibekali. Umi Dinda senang, sekaligus sedih.


Bahagia karena anaknya masih merasa punya bapak. Sedihnya, uang bulanan dari sang suami bakal susut lantaran dipotong langsung sebanyak pengeluaran selama mengajak anak anak. Jadi bisa tinggal 100 sampai 200 ribu saja yang bakal diterimanya untuk hidup sebulan.


Sementara, sebagai guru di TPA Al Azmy di kampungnya, honor Umi Dinda paling banter Rp 200 ribu per bulan. Ditambah sebagian hasil banting tulang emaknya sebagai buruh nyuci di Komplek Permata Pamulang, harus dicukupcukupkan untuk hidup berempat. Pokoknya asal bisa makan lah.


Maka, jika penyakit ginjal Umi Dinda kambuh misalnya, ‘’kiamat’’ lah kehidupan keluarga mereka. Nah, Azis dan Adinda mana mau tahu soal itu. Pokoknya, dalam sehari mereka masing-masing harus jajan sebanyak Rp 5000 sampai Rp 7000.


Itu sebabnya, pada suatu hari ketika beban batinnya terasa sangat menyesakkan, Umi Dinda pernah mencoba kabur sendirian ke Yogyakarta. Pergi begitu saja tanpa pamit pada siapa-siapa.


Niat lulusan SMEA ini, ingin nyantri di pesantren pamannya di Kota Gudeg. Sehingga kelak ia akan lebih pantas dipanggil ‘’Ustadzah’’. Sedangkan anak-anak, biarlah diurus suami.



‘’Saya lelah, Bude,’’ katanya dari Terminal Pulo Gadung, ketika ditelepon kepala sekolah TPA Al Azmy. ‘’Saya ingin ngademdulu, sambil nyantri barang setahun. Insya Allah nanti kembali lagi untuk mengajar para santri kita,’’ ia melanjutkan sambil terisak.


Setelah dinasehati, akhirnya Umi Dinda luluh. Dia tak jadi kabur. Kini, ia pasrah total pada aliran hari demi hari hidupnya. Kece ri aan santri TPA dan hubungan kekeluargaan para ustadzah, memang banyak menghibur. Tanpa dibayar pun misalnya, dia tetap bersedia mengajar sebisanya anak-anak kampung yang rata-rata dari keluarga dhuafa.


Tapi, tetap saja Umi Dinda tidak bisa lari dari kenyataan. Stamina tubuhnya makin sering rontok digajar beban batin dan pikiran. Seperti belum lama ini, ia kena gejala thyphus dan demam berdarah sekaligus. Untunglah Layanan Kesehatan Cuma cuma DD menyelamatkannya.


Jangankan masa depan anak-anaknya, masa depan dia sendiri pun Umi Dinda tak sanggup membayangkan.


‘’Saya capek, Bude. Mudah-mudahan lantaran amal saya mengajar di sini, anak-anak saya kelak diberi jalan agar menjadi saleh dan salihah. Saya tak sanggup menjadi ibu yang baik buat mereka,’’ curhat Umi Dinda.  fakhri

(-)

Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home