Friday, January 14, 2005

Mengelola Hati Memupus Dendam

Oleh KH. Abdullah Gymnastiar

"(Orang-orang bertakwa yaitu) mereka yang menafkahkan harta di kala lapang dan sempit dan yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran, 134)

DENDAM merupakan buah dari hati yang terluka, tersakiti, teraniaya, atau yang merasa terambil haknya. Wujud dendam yang paling konkrit adalah kemarahan. Seseorang meluapkan amarahnya karena tidak suka melihat orang yang dia benci mendapat kesenangan. Dia lebih suka melihat orang itu sengsara, melebihi dirinya. Makin membara dendam seseorang, dia akan sekuat tenaga mencari jalan untuk mencemarkan, mencoreng, bahkan kalau perlu mencelakakan 'musuh'-nya sampai binasa.

Berbagai alasan memang tak jarang membuat seseorang tega melakukan balas dendam dengan keji. Ada yang balas dendam karena merasa telah ditipu atau karena takut disaingi. Perasaan iri, dengki dan disisihkan juga dapat membuat seseorang tiba-tiba ringan tangan dan tidak punya belas kasihan. Hatinya mendadak beku dan sedikit pun tidak kenal ampun. Yang terbesit dalam benaknya hanya satu: Balas dendam!

Seperti itulah ketika hati seseorang diliputi rasa dendam membara. Ia belum merasa puas kalau dendamnya belum tumpah terbalaskan. Tidur tidak terasa nyenyak, setiap hari hatinya diliputi perasaan gelisah. Di pelupuk matanya selalu terbayang sosok 'musuh' yang sedang menari-nari menantang. Itulah keadaan seorang pendendam.

Mungkin sudah merupakan sifat lumrah manusia, manakala hatinya disakiti, dia akan sakit hati lalu berujung dengan dendam. Tapi tidak berarti kita harus dendam setiap disakiti atau dizhalimi. Malah sebaliknya, jika dizhalimi maka do'akan orang-orang yang menzhalimi itu agar bertaubat dan menjadi orang yang shalih. Apalagi do'a orang yang teraniaya itu mustajab, sehingga ketika kita dizahlimi, saat itu terbuka peluang do'a kita dikabulkan. Saat itu sekalian saja meminta agar orang-orang yang zhalim itu Allah ubah menjadi shalih?

Memang pahit rasanya, mendo'akan kebaikan bagi orang-orang yang telah menyakiti diri kita. Tapi akan lebih pahit lagi jika orang itu tidak berubah lebih baik. Bisa jadi dia akan lebih memperpanjang lagi daftar kezhalimannya. Di sinilah nampaknya kita harus mulai belajar menerima sikap buruk orang lain lalu membalasnya dengan balasan sikap yang terbaik.

Kita lihat, betapa Allah memelihara Rasulullah Saw. dari sifat pendendam. Betapa pun beliau telah dihina, dicaci, bahkan berulang kali hendak dimusnahkan jiwanya. Tapi jiwa Rasul adalah jiwa yang lapang. Atas semua itu beliau memaafkan, melupakan, bahkan berdo'a baik. Dengan keluhuran akhlaknya, hati-hati manusia justru melunak lalu memeluk Islam.

Nah, di sini ada sebuah formula kemuliaan yang telah dituntunkan oleh Allah. "Idfa' billatii hiya ahsan." Balaslah sikap buruk orang lain dengan sikap yang lebih baik (ahsan). Dan ternyata sikap ahsan itu dapat merubah permusuhan menjadi persahabatan. Bagaimana orang lain akan menerima kita, jika dia hanya disuguhi kemarahan dan kebencian kita? Kita jangan memimpikan orang lain akan berbuat baik terhadap kita. Namun justru, kitalah yang harus memulainya.

Untuk mencapai derajat ahsan memang tidak mudah. Tapi, kita bisa belajar sejak sekarang dengan cara selalu bersikap baik, tanpa menghitung untung-rugi dari setiap kebaikan yang kita perbuat. Syaratnya, kita harus mempunyai kesabaran dan tetap mengharap karunia dari Allah SWT. Biarlah Allah yang akan membalas segala amalan baik yang telah kita lakukan. Adapun tentang amalan buruk orang lain, marilah semua itu kita sikapi dengan hati yang bening dan lapang. Wallahu'alam***
(am)
-------------
Sumber : Waspada.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home