Friday, January 14, 2005

Kalbumu, Waspadailah Selalu

Oleh KH. Abdullah Gymnastiar

Saudaraku yang budiman, sesungguhnya beruntung benar orang-orang yang selalu berusaha mengamati kondisi kalbunya. Adakah ia sedang sakit, sehat, atau malah sudah mati? Mungkinkah seseorang hatinya mati? Seperti apakah hati yang mati itu? Di antara ciri-ciri hati yang mati adalah tidak lagi merasa sedih dan susah ketika tertinggal dalam melakukan suatu amal. Sebaliknya, tidak merasa duka dan menyesal ketika berbuat suatu kemaksiatan. Lain lagi kalau memiliki hati yang sehat. Imam Syafi'i pernah menggambarkan hati yang bersih dengan perumpamaan gelas yang bening yang berisi air yang bening pula. Andai masuk ke dalamnya sebutir debu sekalipun, niscaya akan tampak jelas kelihatan dari luar gelas. Mudah melihatnya, mudah pula mengambilnya. Semakin bersih dan jernih keadaan seseorang, tergelincir melakukan maksiat sedikit saja akan mudah terguncang hatinya. Serta-merta ia pun merasakan kekecewaan dan penyesalan, mengapa sampai lalai dari berlindung kepada Allah? Dan selanjutnya, akan mudah pula untuk segera bertaubat dan berjanji akan lebih berhati-hati lagi agar maksiat serupa tidak terulang kembali. Tentu sangat berbeda dengan orang yang hatinya sakit. Ia tak ubahnya dengan gelas yang kusam berisi air keruh. Jangan kan masuk sebutir debu ke dalamnya, meski paku payung, jarum, silet, atau patahan cutter sekalipun tidak akan tampak terlihat.

Orang yang hatinya sangat kotor, hampir dapat di pastikan tidak akan peka terhadap aneka perilaku maksiat pasti membuahkan dosa. Bahkan bila pun suatu ketika terjerumus kedalam maksiat yang amat buruk dan durjana, akan sangat mungkin ia tidak merasakan sebagai perbuatan dosa, sehingga, tentu saja, tidak akan pernah membuahkan kekecewaan apalagi penyesalan. Itulah bukti betapa ruginya orang yang memiliki hati sakit. Lebih-lebih lagi yang hatinya mati, Na'udzubillah! Kalbumu, dengan demikian waspadailah selalu. Semakin peka engkau mencermatinya, maka akan semakin mampu pula kau rasakan nuansa-nuansa perubahannya, sehalus apapun. Betapa tidak! Rasulullah SAW bersabda, "barang siapa yang merasa senang dengan amal kebaikannya dan merasa sedih, kecewa, serta menyesal dengan perbuatan jeleknya, maka ia adalah seorang yang beriman." Artinya apa? Artinya riak-riak perubahan yang menimpa kalbu itu, tidak bisa tidak, adalah gambaran yang nyata dari kokoh atau rapuhnya iman seorang hamba Allah. Manakala seseorang merasakan betapa pekanya ia dalam menyikapi suatu kejadian ataupun dalam menata niat ketika timbul suatu keinginan atau rencana-rencana, sehigga sekuat-kuatnya ingin menghindari dari menaati keinginan dan rencana yang remeh dan berbau hawa nafsu, maka tidak diragukan lagi, itulah isyarat dan bukti bahwa orang itu tengah memiliki iman yang kokoh.

Sebaliknya, manakala kepekaannya mulai menipis, yang berakibat perlahan tapi pasti mulai "mempunyai" sikap, perbuatan, ataupun perkataan yang sia-sia, maka berhati-hatilah. Boleh jadi ini merupakan isyarat awal bahwa iman itu mulai terkikis pelan-pelan. Sebab, bila sudah gemar dan bahkan menikmati segala yang berbau sia-sia, langkah selanjutnya hampir dapat dipastikan akan "menenggang rasa" pula aneka maksiat yang kecil dan remeh. Terus berlanjut, hingga tak ada lagi getaran sesal di hati manakala mulai tergelincir kedalam kubangan maksiat yang lebih besar. Dan bila sudah demikian, Waspadalah, karena itu merupakan isyarat dan bukti yang amat jelas bahwa orang itu imannya tengah rapuh dan centang perenang. Walhasil, kondisi hati ternyata berbanding lurus dengan kondisi iman di dada. Salah satu buah dari senantiasa mewaspadai kalbu yang, subhanallah, amat indah dan mengesankan adalah dibukakannya pintu hikmah oleh Allah, sehingga kalbu ini selalu meyakini dengan sepenuh-penuhnya bahwa sama sekali tak ada yang sia-sia dari apap pun yang Allah tetapkan, sehingga selalu ridha dalam menerima apa pun ketentuannya. Wallahu'alam.
(am)
-------------
Sumber : Waspada.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home