Friday, January 14, 2005

Menghindari Kemiskinan Jiwa

Oleh KH. Abdullah Gymnastiar

Selama 350 tahun kita dijajah bangsa asing, dan sesudah itu umat Islam hampir tidak bertemu dengan pelajaran tentang keindahan Islam. Di sekolah-sekolah umum, pelajaran tentang keislamam hanya diberikan selama beberapa jam dalam sepekan. Kita dan anak-anak sangat sedikit mengenal keindahan dan kemuliaan Islam. Di televisi atau radio, acara siraman ruhani keislaman paling banter hanya setengah jam sehari.

Jadi, negeri ini nyaris sebenarnya terpuruk karena belum seluruh Muslimnya hidup secara Islami. Mereka mayoritas, tapi belum mendapatkan informasi dan suri teladan tentang keindahan Islam. Padahal Islam sangat mementingkan perubahan perilaku atau karakter.

Karakter itu sendiri ternyata terdiri dari empat hal. Pertama, ada karakter lemah. Misalnya penakut, tidak berani mengambil risiko, pemalas, cepat kalah, belum apa-apa sudah menyerah, dan sebagainya. Kedua, karakter kuat. Contohnya, tangguh, ulet, mempunyai daya juang yang tinggi, pantang menyerah, dan lain-lain. Ketiga, karakter jelek. Misalkan licik, egois, serakah, sombong, pamer, dan lain-lain. Keempat, karakter baik. Seperti jujur, terpercaya, rendah hati, dan sebagainya. Karakter orang-orang yang merusak negeri ini masuk ke dalam salah satu kategori tadi.

Hari ini, yang kita rindukan adalah -- meskipun secara lambat laun -- negeri ini akan bangkit kembali. Ini bisa terjadi bila ada dua karakter yang mengemuka, yaitu karakter yang kuat dan baik bersinergi. Misalkan dia tangguh, ulet tapi tetap rendah hati dan merupakan pekerja keras yang sangat gigih. Dia berprestasi gemilang tapi ikhlas. Inilah yang diharapkan dari setiap pertemuan kita. Yakni, mewujudkan manusia-manusia tangguh: berani, gigih, ulet, jujur, rendah hati, dapat dipercaya, dan sebagainya. Allahu Akbar!

Satu hal yang patut kita sayangkan kemudian adalah, karakter manusia Indonesia khususnya kaum Muslimin, tidak selalu sesuai dengan karakter yang diinginkan di atas. Ternyata, banyak manusia di Indonesia yang mempunyai kebiasaan korupsi, dari yang raksasa sampai yang kecil-kecilan. Hal ini disebabkan karena kita mempunyai jiwa miskin.

Pernah suatu ketika di Makkah, tepatnya di Masjidil Haram, di saat buka puasa ada beberapa orang pengemis membawa kain yang tampaknya penuh dan isinya terlihat berat. Mereka meminta-minta sampai kain bawaannya semakin banyak. Ternyata, mereka melakukan itu karena merasa bahwa belum tentu esok hari akan mendapatkan kesempatan yang sama.

Orang yang miskin jiwa seperti ini akan terus tumbuh. Orang-orang yang licik, koruptor, yang mengambil harta orang lain tanpa hak, sebetulnya mereka adalah orang-orang miskin jiwa. Walaupun jabatannya tinggi, kedudukan dan hartanya berlimpah, tetapi jiwanya tetap miskin. Dia akan terus mengambil apa saja yang ada di hadapannya, meski itu bukan miliknya.

Contoh kecil lagi orang yang miskin jiwa ialah, saat pembagian beras untuk orang miskin (Raskin), mereka menjadi orang pertama yang mengambil beras itu. Belum sampai kepada yang berhak sudah dimakan lebih dulu oleh oknum-oknum yang miskin jiwa itu. Atau kalau tidak, beras itu mereka timbun untuk kemudian dijual.

Orang yang miskin jiwa, bila naik jabatan akan sibuk mencari rampasan. Akibatnya, kewajibannya menjadi terbengkalai. Miskin jiwa, meski kaya harta: dia akan merusak. Oleh karena itu, jangan mencari pasangan yang kaya secara lahiriah. Carilah manusia yang kaya batin yang penuh kemuliaan.

Kekayaan lahir hanyalah topeng. Orang yang hanya mempertontonkan topeng adalah kekanak-kanakan. Harta yang didapat dengan tidak halal tidak akan membuahkan kebahagiaan. Bahkan bisa jadi akan meracuni seluruh keluarga.

Wahai sahabat, hindari jangan sampai kita menjadi orang yang miskin jiwa, yang berlindung dibalik topeng duniawi, yang memiliki karakter yang sebenarnya sangat lemah. Wallahu a'lam bishshawaab.
(am)
-------------
Sumber : Waspada.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home