Friday, January 14, 2005

Menjaga Niat Menepis Riya

Oleh KH. Abdullah Gymnastiar

SUNGGUH beruntung bagi orang-orang yang tidak dihinggapi penyakit riya serta tidak disiksa oleh kerinduan untuk dipuji dan dihormati orang lain. Sebaliknya, kita akan sengsara manakala terlalu banyak memikirkan penilaian orang lain kepada kita. Terlalu memikirkan penilaian orang lain dalam perkara-perkara dunuiawi hanya akan membuat kita menjadi tersiksa saja. Akan tetapi, lebih tersiksa lagi jika hal tersebut dikaitkan dengan perkara-perkara ibadah, sebab semua amalan kita mungkin saja akan sirna.

Rasulullah Saw. menyatakan bahwa riya termasuk pada syirik kecil, seperti dalam haditsnya beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi Allah melihat niat dan keikhlasan dalam hatimu." "Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kamu sekalian adalah syirik kecil". Sahabat bertanya: "Apakah syirik kecil itu Ya Rasulullah?". Rasulullah kemudian menjawab: "Syirik yang paling kecil itu adalah riya."

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa orang yang riya itu dianggap telah menyekutukan Allah. Dan yang paling membahayakan dari sikap riya itu adalah akan menyebabkan hangusnya amalan yang telah kita lakukan. Seperti apa sebenarnya riya yang menghapus seluruh amalan itu? Seluruh amalan yang kita lakukan seharusnya ditujukan hanya kepada Allah semata dan hanya untuk mendapatkan ridlonya, Tapi bila tujuannya telah beralih pada keinginan untuk dipuji dan dinilai oleh manusia, maka sikap riya seperti itulah yang akan menghapus segala amal shalih yang telah kita lakukan.

Oleh karena itu, selain bisa beramal, kita harus mati-matian menjaga niat. Bagaimana cirinya orang yang tidak ikhlas atau riya itu? Intinya, seseorang itu dinyatakan telah riya, jika niatnya dalam melakukan sesuatu ditujukan untuk mendapatkan pujian dan penilaian dari manusia bukan dari Allah. Orang riya mudah dikenali, jika terjadi perubahan saat ada orang lain yang melihat perbuatannya, maka bisa dipastikan ia telah terjangkit penyakit hati yang satu ini. Saat sedang sendirian, seseorang membaca Al Qur'an dengan asal-asalan, ketika datang orang lain, ia akan merubahnya dengan bacaan yang tartil dan benar makhrajnya. Dan saat orang lain itu pergi, ia kembali pada kondisi semula yaitu membacanya dengan asal-asalan, asal bunyi, asal baca, dan tak peduli akan isi dan maksudnya. Sudah jelas orang ini tidak ikhlas walaupun yang dibacanya adalah Al Qur'an. Seperti kata Sahabat Ali bin Abi Thalib ra., ada atau tidak ada orang, jika seseorang itu melakukan amalan dengan cara yang sama, sama-sama benar, maka dinyatakan ia terhindar dari sikap riya.

Maka dari itu, jika kita beramal atau berinfak, saat ada orang lain atau pun tidak, niat kita harus tetap lurus. Jangan sampai kita berinfak dengan jumlah yang banyak karena dilihat orang lain, dan akan berinfak sedikit manakala terlewat dari penglihatan orang lain. Tapi, bukan berarti kita tidak ikhlas jika amalan kita diketahui orang. Ada saatnya amalan kita itu perlu diketahui orang lain sebagai satu cara untuk memberi contoh baik dan memotivasi orang lain untuk berbuat lebih baik lagi. Seperti kita tahu, bahwa amalan Rasulullah itu tidak tersembunyi semuanya, sebagian amalannya diperlihatkan. Jika tidak demikian, bagaimana kita sebagai umatnya mampu mencontoh beliau? Masalah utamanya ada pada niat ikhlas di dalam hati, bukankah semua amalan itu tergantuing pada niatnya?

Kita akan memnbutuhkan kunci jika ingin membuka pintu. Demikian juga jika ingin membuka pintu keikhlasan hati kita, maka kita juga membutuhkan kunci. Apa sebetulnya kunci ikhlas itu? Ternyata, Ikhlas itu berbanding lurus dengan tingkat keyakinan kepada Allah. Yakinlah bahwa balasan dari Allah tidak akan pernah tertukar. Itulah nikmatnya keikhlasan. Rasulullah Saw. tidak pernah dipusingkan oleh penilaian mahluk. Beliau selalu menjaga niatnya, tampak atau pun tidak tampak, semua amalannya hanya ditujukan kepada Allah semata. Wallahu a'lam.***
(am)
---------------
Sumber : Waspada.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home