Sekadar Anak Dapat Sarapan
Satu waktu, pukul dua dini hari, Sri Mulyati sempat terlelap dalam posisi duduk di lantai kamar kontrakannya, Jl. Sukaleueur, RT 06/07, Bojongloa Kaler, Bandung. Selembar karpet lusuh berhias lubang sobekan, menumpuk terpal merah di bawahnya. Sedikit menjaga posisi badan dia untuk tidak bersentuhan langsung dengan tanah.
Tak lama berselang, Sri terjaga. Matanya nanar memandang tubuh-tubuh mungil enam anaknya. Mereka bertumpuk kaki-kepala, di ranjang satu-satunya yang sudah reot, penuh tumbila. Jika semua berkumpul, ada tujuh seluruhnya. Sani, putra kedua Sri, tak ikut bergabung. Sejak kecil dia sudah diasuh oleh paman dari suaminya, yang iba melihat kondisi ekonomi mereka.
Sesekali, wanita paruh baya ini meraih sapu. Ia mengusir tikus-tikus got yang kerap dengan bebasnya wara-wiri, mengganggu tidur anaknya. Jika dirasa sudah cukup aman, ia pergi ke jamban umum, mengambil wudhu. Di atas hamparan sajadah, air mata kerap tumpah mengiring doa qiyamul lail, yang rutin ia lakoni.
Pada 2001, suami yang ia cintai meninggal. Praktis ia merangkap sebagai ibu dan ayah untuk Jaka, Santi, Rian, Hendar, Hani dan si kecil Deni, yang baru duduk di SD kelas dua. Pagi hari tak pernah ada sarapan untuk anak-anak itu. Biasanya, Jaka, putra tertua Sri yang tamatan SMP, pergi mencari barang loakan. Seperti casing telepon seluler, dan beberapa jenis barang elektronik usang. Adik-adik Jaka pergi ke sekolah, sering tanpa serupiahpun di saku celana.
Sementara anak-anaknya pergi, Sri berkeliling, menjajakan pakaian, kerudung, atau apapun yang bisa menghasilkan uang untuk sekadar makan, malam harinya. Pernah suatu ketika, ia hanya dapar Rp 10.000,-. Benaknya berhitung "sekilo beras murah, setengah liter minyak tanah, seikat kangkung, .... " Alhamdulillah, malam itu mereka bisa makan. Menu pertama, sejak pagi, siang, hingga petang.
Kemiskinan tak membuat wanita kelahiran Bandung, 43 tahun silam ini patah arang. Baginya, selama ada keinginan untuk ikhtiar, Allah pasti akan membuka jalan. Lelah, pasti. Sri bermimpi, suatu saat ia bisa jualan nasi kuning pagi-pagi. Sederhana alasannya, "Selain untuk nafkah harian, saya ingin anak-anak, bisa sesekali ikut mencicip sarapan!"
Ke Dompet Dhuafa Bandung, lalu Sri datang mengajukan modal jualan. Rencananya, gerobak dorong yang tengah nganggur milik adiknya, mau dia pinjam, untuk menjaja nasi kuning di depan Jl. Sukaleueur, Kopo, Bandung. Di sana, kata dia, biasanya cukup ramai orang lalu lalang.
Tak banyak yang bisa diberikan. Hanya seperangkat perlengkapan dan bahan jualan nasi kuning, seperti: termos wadah nasi, kompor minyak tanah, selusin piring lengkap dengan sendok-garpu, dan gelas, plus 10 Kilogram beras, ditambah sekian rupiah ala kadarnya, untuk modal awal dagang. Senyum Sri, sedikit merekah. Ada harapan baru menoreh benaknya. Harapan sederhana seorang Sri Mulyati, agar bisa sesekali menyediakan sarapan pagi untuk Jaka, Santi, Rian, Hendar, Hani dan si kecil Deni, yang selama ini hanya berjumpa makan sekali saja, sehari. rehranumurti
( )
Sumber : RepublikaOnline
0 Comments:
Post a Comment
<< Home