Wednesday, April 15, 2009

Pemilu Mpok Ani



Oleh: Arys Hilman

Hari Pemilu. Pagi-pagi, Mpok Ani sudah tiba dari kampung sebelah. ''Nyontreng mah ntar siangan aja ,'' katanya. Walaupun berniat hendak bersiang-siang ke TPS, dia tak ingin dikesankan mau golput. Dia tetap ingin menunjukkan diri punya kesadaran politik.

Tanpa diminta, dia bercerita tentang tamu yang datang ke rumahnya pukul dua dini hari. ''Saya dikasih 35 ribu,'' katanya. Ia, rupanya, lebih beruntung dibanding suaminya. ''Si Abang dikasih 20 ribu,'' katanya. Saya tidak tahu dia hendak mencontreng apa pada hari itu. Saya tak merasa berhak mengetahuinya dan saya juga bukan orang partai yang merasa perlu memengaruhinya.

Tapi, sehari kemudian, saya dapat juga laporan darinya bahwa partai yang bermurah hati memberi uang kepada dia dan suaminya ternyata kalah suara. Mpok Ani beranalisis, kekalahan itu terjadi karena partai lain memberi lebih banyak kepada warga kampungnya. '' Ngasih 60 ribu,'' katanya.

Saya tetap tak tahu apa partai pilihan Mpok Ani. Tapi, saya tahu pasti, dia sedang kecewa. Pertama, karena dia hanya dapat 35 ribu dan tak pernah dapat yang 60 ribu. Kedua, dia gagal berangkat wisata ke Yogyakarta, karena partai calon anggota DPRD yang menjanjikannya ternyata kalah.

Buat Mpok Ani, duit 35 ribu amat berarti. Dalam definisi pemerintah, dia dan suaminya termasuk keluarga prasejahtera. Dia termasuk orang yang pontang-panting saat harga minyak tanah melambung. Dia mendapatkan pembagian kompor gas, tapi tak pernah menggunakannya. Pertama, takut kompornya meledak. Kedua, duit untuk beli gas tak ada. Dia, sebagaimana beberapa tetangganya, sekarang memasak dengan kayu bakar.

Dengan kondisi seperti itu, Mpok Ani tidak akan bertanya-tanya bagaimana si calon anggota DPRD bakal menutup seluruh biaya kampanyenya, termasuk bagi-bagi duit di saat orang-orang sedang terlelap. Dia juga tak paham bahwa yang terjadi pada dirinya lazim dalam jagat politik negeri dengan julukan ''serangan fajar''.

Hanya beberapa ratus meter dari rumah Mpok Ani, sebuah spanduk putih sebenarnya berpesan kepada orang seperti dia. ''Ambil duitnya, jangan pilih orangnya,'' demikian pesan di spanduk itu. Saya agak senang membaca pesan itu. Biarlah caleg penyuap itu bangkrut, namun tak terpilih. Soalnya, kalau dia bangkrut tapi terpilih, bisa dibayangkan jadi anggota parlemen kerjanya hanyalah mencari duit untuk bayar utang atau paling tidak untuk mencapai titik impas. Bahaya.

Tapi, saya agak cemas juga membaca spanduk itu. Kalau duit si caleg terus diambil, walaupun tidak dipilih, maka tiap pemilu orang akan terus saja menganggap modus serangan fajar sebagai kewajaran. Kalau duit semacam itu tidak ditolak, calon-calon anggota legislatif tetap saja akan tebal muka menggelar serangan fajar. Akibatnya, dari pemilu ke pemilu para calon anggota legislatif tetap menabur duit. Kalau kebetulan menang dan terpilih, sudah pasti dia menganggap suap adalah cara berpolitik yang efektif dan dia juga akan berusaha menutupi biaya tabur duitnya itu lewat pekerjaan di lembaga perwakilan.

''Terima satu kali, bayarnya lima tahun,'' bunyi spanduk lain. Pesan ini lebih tegas menolak serangan fajar pemilu. Saya lebih suka pesan spanduk yang satu ini. Tapi, orang seperti Mpok Ani mungkin tidak. Mpok Ani bisa jadi pula tak begitu cermat memahami pesan spanduk ini. Sebagaimana warga sekampungnya, ia diuntungkan oleh pemilu. Seorang calon anggota DPRD, contohnya, telah membangun lapangan futsal persis di depan rumah Mpok Ani. Lebih dari itu, si calon menggelar turnamen futsal antarkampung hingga berbulan-bulan.

Beruntunglah Mpok Ani. Ia bisa membangun warung makanan kecil di depan rumahnya. Setiap pertandingan futsal berlangsung, warungnya laku. Tentulah, walau buat orang lain mungkin nilainya tak seberapa, Mpok Ani mendapat laba. Ia dan suaminya pun mulai mendapatkan pengalaman hidup dengan cara berdagang, sebuah pengalaman wirausaha yang tak ternilai dengan uang bagi orang-orang yang terbiasa bekerja sebagai buruh.

Tak tahulah, berapa si caleg harus keluar uang untuk turnamen itu. Tentu tidak hanya untuk lapangan futsal atau honor panitia penyelenggara, karena ia pun memperbaiki jalan menuju kampung Mpok Ani. Jalan yang semula tanah itu ia muluskan dengan beton. Warga kampung senang tentunya, tak perlu berbecek-becek lagi.

Sekarang, si caleg pasti sedang degdegan menanti kepastian apakah dia lolos ke DPRD. Saya ikut degdegan juga. Kalau dia lolos, berapa akan dia hargakan lapangan futsal dan jalan beton itu? n kalyara@yahoo.com

(-)

Sumbr : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home