Mengenang Air Mata Presiden
Jumat, 22 Februari 2008 16:05:00
Beberapa pekan terakhir, warga korban lumpur Lapindo, kembali menggelar aksi unjuk rasa. Mereka menuntut hak atas masa depan dan kehidupannya yang terampas.
Korban Lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, belum lupa pada bulir bening air mata, yang jatuh di pipi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hari itu, Ahad, 24 Juni 2007, perwakilan korban lumpur Lapindo yang berjumlah 20 orang menghadap SBY di kediamannya, Puri Cikeas Indah, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. Para utusan itu, difasilitasi oleh Emha Ainun Najib.
Wakil Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Jatirejo, Khoirul Huda, menyampaikan pada media massa saat itu, bahwa setelah mendengar penuturan para perwakilan korban, SBY kemudian menangis. Setelah kabar itu mencuat, tangis presiden diartikan beragam oleh berbagai kalangan.
Namun, sebagian besar korban lumpur Lapindo merasa lega, karena presiden menunjukkan empatinya dengan ekpresi menangis itu. "Saya merasa lega. Akhirnya perjuangan ini tidak sia sia," kata Imron, salah seorang wakil warga yang tidak sempat masuk ke ruang pertemuan. Imron seorang PNS, yang juga ketua RT 7 desa Kedung Bendo. Kawasan yang kini telah mati. Ia memimpin 117 KK, di desa yang sebelum lenyap oleh lumpur itu, menjadi daerah dengan taraf ekonomi mapan dan sejahtera. Kini, ia dan warganya terpencar tak tentu arah. Sebagian besar mereka, sudah berubah jadi pengangguran.
Sebagai komitmen, pada tragedi yang mengerikan ini, Presiden SBY berjanji akan turun gunung. Sebuah janji yang luar biasa. Dalam lakon persilatan tempoe doloe, seorang jawara akan turun gunung, tatkala di tengah masyarakat terjadi kecamuk. Penindasan dan ketidakadilan merajalela. Maka tampillah ia, menyelesaikan ontran ontran (kerusuhan) itu. Satu hari setelah tangis itu pecah, Senin, 25 Juni 2007, SBY memenuhi janjinya, turun gunung. Tak tanggung tanggung, ia memutuskan berkantor di Sidoarjo. Meski tak seheboh kabarnya - bahwa presiden bakal berkantor di atas lumpur - namun kehadiran SBY lebih dekat dengan korban lumpur Lapindo, membuat suasana sedikit adem, saat itu.
Mengetahui, SBY berada di Sidoarjo, korban lumpur yang mengungsi di Pasar Baru Porong, saat itu girang bukan kepalang. Mereka siap-siap menyambut. Bahkan, beberapa sepanduk bertulis tinta merah juga dibentangkan. "MANA JANJIMU WAHAI PEMIMPIN2 BANGSA JANGAN HANYA BISA MENANGIS !" Senada dengan itu, "MENANGIS MEMANG DIBUTUHKAN, TAPI YG LEBIH PENTING DATANG KE PENGUNGSIAN, BIAR TAHU LANGSUNG KENYATAANNYA TIDAK HANYA KATANYA."
Kesibukan menyambut kedatangan SBY, juga tampak di sepanjang tanggul yang melingkari luapan lumpur. Di beberapa titik, seperti di tanggul yang memenggal jalan tol Surabaya - Gempol, sudah disiapkan lima rakit drum. Menurut seorang penjaga tanggul, rakit itu disiapkan untuk menyambut rencana kedatangan SBY. Sayang, setelah ditunggu dengan harap dan cemas, SBY urung datang ke pengungsian di Pasar Baru Porong. Ketidakhadiran SBY di lokasi pengungsian, menjadi perbincangan hangat di antara para korban. Terutama ibu-ibu penggemar SBY.
"Gak kesini takut dikeroyok warga beke (barangkali) mas," kata Suryani, sehari setelah SBY kembali ke Jakarta. "Kami ini kan rakyat kecil, masak sih berani ngroyok presiden. Padahal kalo kemarin datang, saya sudah mau cium tangannya lho mas. Apalagi wonge ganteng. Eee... malah wedi gak teko (takut tidak datang)." Suryani, seorang ibu dari dua anak. Di pengungsian, sudah satu tahun lebih. Rumahnya di Renokenongo sudah lenyap. Suaminya menganggur sejak pabrik tempatnya bekerja ditelan lumpur.
Meski tak sempat menyambangi mereka, namun SBY sudah memenuhi janjinya, turun gunung. Berbagai komitmen dan kesepakatan, antara pihak PT Lapindo, korban, dan pemerintah juga sempat ditelurkan ketika itu. Namun, gelombang tuntutan pada pemerintah dan PT Lapindo tak juga surut. Perwakilan korban lumpur pun, menuntut haknya melalui demo di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka bertahan berhari-hari, mengawal keputusan yang ditetapkan presiden pasca turun gunung. Saat itu, Dompet Dhuafa Republika ikut membantu kebutuhan logistik mereka, selama di Menteng. Sayang, nasib mereka kini masih mengambang dan tidak jelas kapan derita akan berakhir.
Tak Kendur
Setelah 8 bulan tangis presiden berlalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar sidang paripurna, membahas lumpur Lapindo, Selasa (19/2). Tapi sidang kali ini, tampak menggiring kasus lumpur Lapindo sebagai kejadian alam. Debat hebat di ruang sidang itu, juga tak tampak titik temu. Keputusan bulat, bahwa lumpur Lapindo akibat kecerobohan PT Lapindo juga belum didapat. Padahal, keputusan inilah yang diharap-harap ribuan korban lumpur Lapindo yang sudah tergerus masa depannya.
Maka gelombang unjuk rasa kembali mewarnai Porong. Mereka melihat hasil rapat paripurna DPR itu, tidak memihak nasib mereka. Selain mengajak anak-anak dan ibu-ibu untuk berjuang melalui demo, mereka juga mengirim perwakilan dari lima desa untuk bertemu dengan pemerintah pusat. Para korban lumpur Lapindo berharap, pemerintah tak terjebak dalam logika Lapindo yang menggiring semburan lumpur ini sebagai bencana alam.
Demonstrasi yang kembali bergelora di Porong, juga wujud eksistensi korban lumpur, bahwa mereka masih kokoh bertahan. Mereka masih dibakar energi oleh tangis bayi, anak-anak, dan para istri yang tak jelas ujung pangkal nasibnya. Terusir dari tanah kelahirannya, pendidikan yang hancur, dan ekonomi keluarga yang remuk. Mereka memerlukan kepastian dan ketegasan, dari sekadar retorika dan proses hukum yang melelahkan.
Tugas wakil rakyat dan pemerintah, kini ditakar perannya. Demikian pula pengusaha, yang telah mengeruk untung dari dasar bumi Porong. Catatan kecil ini, mewakili empati yang gelisah pada ketidakadilan. Tiap yang lemah dan menderita, harus mendapatkan pembelaan kita semua. Sembari mengenang kembali, air mata presiden yang pernah tumpah. Kita berdoa, korban lumpur Lapindo, segera mendapatkan keadilan dan keberpihakan.
( )
Sumber : RepublikaOnline
0 Comments:
Post a Comment
<< Home